Keesokan harinya.
Nada terbangun saat alarm berbunyi. Spontan tangannya sibuk mencari dan mematikan alarm di handphone-nya yang mengganggu kenyamanan.
Dia bangkit dan duduk di ranjang. Rasa kantuk masih menguasainya karena semalam Nada tak bisa tidur pulas. Pikirannya terlalu disibukkan dengan kejadian semalam.
"Hufffh ... tapi sudah pagi, sudah jam lima! Baiklah. Selamat pagi, Nada! Semangatlah! Hari ini pasti lebih baik dari hari kemarin! Keep your smile as bright as the sunshine!" gumamnya sambil tersenyum menyemangati dirinya sendiri.
Meski selangkangannya sakit, tak menyurutkan keinginan Nada segera ke kamar mandi untuk membersihkan diri, lalu beribadah dan mengganti pakaiannya.
"Bosan!" keluh Nada. Tak ada yang dapat dilakukannya di kamar itu. Nada pun kepikiran hal lain.
"Ayah,. sini aku bantu!"
Ayah Nada bekerja sebagai tukang kebun dan pagi itu dia sudah beraktifitas di kebun belakang.
Tanpa menunggu jawaban dari ayahnya, Nada mengambil gunting untuk memotong daun-daun bunga yang sudah layu. Nada ingin melakukan banyak kegiatan agar pikirannya tak lagi terganggu oleh kisah semalam.
"Kamu, baik-baik saja, Nada?" Padri, ayah Nada tak pandai mengutarakan rasa. Dia jadi kikuk kalau menghadapi masalah perasaan. Padri frustasi.
"Iya ayah," ucap Nada yang mengerti sekali kesulitan ayahnya, "Aku cuma bosan di kamar, aku ingin membantu Ayah. Lagian, udara pagi dan matahari pagi kan sehat untuk tubuh, hehe!" kilah Nada sembari tersenyum ceria, seperti tak ada beban yang terjadi padanya.
Begitulah Nada, dia tak pernah ingin menunjukkan kesedihannya pada orang yang dicintainya.
"Nada -" Suara ayahnya pun terdengar.
"Eh, ada apa, Ayah?" ucapnya dengan tangannya masih sibuk menaruh pupuk di pot-pot bunga dan tanaman hias yang natinya akan diletakkan di dalam rumah.
"Apa tuan muda memperlakukanmu dengan baik?" Padri bertanya dengan suara yang terbata-bata.
Pertanyaan ayahnya seketika menghentikan aktivitas Nada. Rasanya, dia belum siap untuk menjawab. Tapi Nada tak mau membuatnya khawatir.
"Dia baik. Ayah tenang saja dan foku jaga Ibu dan Didi. Aku akan berusaha semaksimal mungkin memberikannya keturunan, lalu kita bisa berkumpul seperti dulu," tapi jawaban putrinya hanya membuat hati Padri makin perih.
"Maafkan ayahmu yang tak berguna ini, Nada."
"Ish, Ayah jangan bilang begitu. Sudah banyak yang Ayah berikan padaku. Aku baik-baik saja Ayah.”
Padri pun mengangguk sambil mengelus dengan sayang pucuk kepala putrinya dan tersenyum. Meski hatinya tak sepenuhnya percaya kalau putrinya baik-baik saja.
“Oh iya, pot-pot ini harus ditaruh kembali ke tempatnya, kan?" tanya Nada pada ayahnya mengalihkan topik pembicaraan.
Padri pun mengangguk. "Nada, kamu bisa menaruh dua pot kecil ini di meja taman itu, lalu ambillah beberapa kuntum bunga untuk di meja makan." Padri menjelaskan apa yang harus dilakukan Nada.
"Iya Ayah," satu demi satu bunga mawar pun dipetik Nada. Hingga menjadi satu rangkaian bunga mawar yang memenuhi genggaman tangannya.
Nada suka bunga. Dia tersenyum karena mood-nya kembali baik berada di taman bunga itu. Sayangnya, kebahagiaannya tak bisa bertahan lama.
"Mbak Nada, Anda ditunggu di meja makan untuk sarapan pagi bersama!” ucap bi Siti yang memaksa Nada menuruti perintah ayahnya untuk kembalii ke dalam, menemui keluarga Prayoga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cuma Istri Bayaran
RomanceTerpaksa merelakan keperawanan dan rahimnya untuk benih sang pewaris sepertinya hanya alasan klasik yang ada di novel-novel drama rumah tangga. Nada tak suka membaca novel penuh intrik seperti itu. Tapi apa jadinya kalau kisah novel yang dibencinya...