“Suamiku, kepalaku sakit sekali!”
Radit yang mendengar Viola tampak kesakitan segera melepaskan genggaman tangannya dari tangan Nada lalu membuka kursi penumpang depan dan mengambil sesuatu yang tertinggal.
Baru setelahnya Radit berlari menghampiri Viola yang tadi didudukkannya di ruang tamu.
Viola lupa, tadi dia meninggalkan handbag-nya di mobil. Sementara itu Viola bukan orang yang mudah percaya pada pembantu. Jadi dia meminta Radit mengambilkan tasnya yang ditaruh di bagian tengah diantara kursi penumpang depan dan pengemudi.
Tadi Viola yang tak suka dengan Nada buru-buru meraih leher Radit, minta digendong. Jadi saja dia lupa dengan tasnya dan sudah sampai tangga, dia minta Radit mengambilkannya.
“Ayo kita ke kamar, biar kamu bisa istirahat,” lalu Radit beralih menatap Nada yang masih terdiam di tempatnya.
"Denada! Kamu jangan mengangkat koper. Jangan bahayakan benihku! Biar nanti Ningsih atau Parjo yang mengurus!" perintah yang menyadarkan Nada kalau dia baru saja mengharapkan sesuatu yang hampa.
Radit hanya peduli pada calon bayinya. Dia juga datang hanya ingin mengambil barang Viola yang tertinggal. Nada malas. Dia pun tanpa bicara, mengikuti Ningsih yang memandunya ke kamar di lantai dasar, yang membuat mood Nada kembali baik setelah tadi di rusak Radit.
"Betul kamar sebagus ini untukku?"
"Ya betul Nyonya Muda."
"Eh, panggil saja aku Nada, Bi," koreksi Nada. Jengah dengan panggilan itu.
"Tapi kan-"
"Sudah, gapapa Bi. Kita teman."
"Baiklah, Selamat istirahat Mbak Nada. Kalau butuh apa-apa nanti kabarin saja. Bibi selalu ada di dapur. Kamar Bibi dekat sana."
Nada mengerti. Tapi dia tidak butuh apapun. Nada melakukan tour kamarnya sejenak dan mengagumi kamar barunya yang mewah. Apalagi, ada pintu kaca yang juga menghubungkannya ke arah taman belakang. Hijau rumput terlihat asri. Nada suka.
Dan Nada yakin, kamar semewah ini seharusnya jadi kamar utama. Tapi, apa kamar Radit lebih mewah? Nada tak berani memikirkannya. Dia bersyukur dengan kamar yang didapatkannya dan setidaknya dia bisa merasa tenang berada di dalamnya. Nada yang moodnya sudah baik, mulai merapikan barang-barangnya yang tak banyak itu. Hanya beberapa pakaian, tak lebih dari selusin. Lalu merapihkan laptop, alat make up sederhana a ala mahasiswi, perlengkapan mandi dan buku pelajarannya.
Kurang dari satu jam untuk Nada menyelesaikannya, lalu dia bersantai dulu sejenak menikmati ranjang yang nyaman, nonton tv, hingga menjelang siang Nada memakan bekal yang dibawakan Riyanti sembari menitikkan air mata. Banyak beban di kepalanya yang tak bisa diuraikannya satu persatu.
Hingga ketukan pintu mengganggunya.
"Mbak Nada, ditunggu tuan Radit di meja makan untuk makan siang bersama."
"Bi, saya sudah makan." Nada menunjukkan makanan yang tadi dibawanya dari rumah keluarga Prayoga. Baru seperempat dihabiskannya.
"Aduh, datangi saja dulu Mbak. Nanti jelaskan sendiri. Bibi ndak berani."
Nada tahu temperamen Radit dari peristiwa semalam. Wajar jika pelayannya takut. Dia yang tidak mau menyusahkan Ningsih akhirnya menutup kotak bekalnya dan menaruh di meja belajar sebelum menghampiri Radit yang sudah duduk di kursi makan bersama Viola.
"Duduklah! Setiap jam makan kamu harus ikut makan bersama. Ini peraturan di rumah ini. Mengerti?"
"Baik Tuan!" jawab Nada pasrah. Dia yang melihat ada dua kursi kosong, memilih duduk di sampig Viola, ketimbang di samping Radit. Jengah dirinya. Tapi, ini tak disukai oleh Viola, karena dia merasa Nada sengaja memilih duduk di sana supaya bisa berhadapan duduknya dengan Radit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cuma Istri Bayaran
RomanceTerpaksa merelakan keperawanan dan rahimnya untuk benih sang pewaris sepertinya hanya alasan klasik yang ada di novel-novel drama rumah tangga. Nada tak suka membaca novel penuh intrik seperti itu. Tapi apa jadinya kalau kisah novel yang dibencinya...