21. Fikri

16 14 0
                                    

"Rantai tak hanya mengikat leher, tapi juga jiwa. Rasakanlah jerat penindasan yang membelenggu."—Shaga Arsenio.

___

Syahirah merasakan bulir-bulir air mata hangat menetes di pipinya; bukan air mata amarah yang membara, melainkan air mata pemahaman mendalam atas beban berat yang dipikul Jovita

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Syahirah merasakan bulir-bulir air mata hangat menetes di pipinya; bukan air mata amarah yang membara, melainkan air mata pemahaman mendalam atas beban berat yang dipikul Jovita. Ia menyadari bahwa sahabatnya bukanlah seorang pengkhianat, bahwa Jovita tak pernah sekalipun ingin melukai persahabatan mereka, tetapi kewajiban yang diembannya terhadap kerajaan yang selama ini telah menjadi tempat berlindung dan sumber kebahagiaan mereka berdua, kini berdiri sebagai penghalang besar yang tak tertembus di antara ikatan persahabatan yang telah mereka jalin selama bertahun-tahun. Kerajaan yang telah memberikan begitu banyak kesempatan dan kehormatan kepada mereka, kini justru menjadi penyebab keretakan hati.

Dengan langkah tenang dan tegas, seorang lelaki berpostur tinggi dan tegap memasuki ruangan yang dipenuhi aroma harum bunga melati. Jubah kerajaan yang dikenakannya, seputih salju dan dihiasi sulaman benang emas yang rumit, berkilau lembut di bawah cahaya lilin. Pandangannya langsung tertuju pada Syahirah yang tengah menangis tersedu-sedu, Jovita duduk di sampingnya, tangannya terulur seakan memberikan penghiburan. Di seberang mereka, Shaga terduduk dengan leher yang terikat rantai besi yang dingin dan berat. Kehadiran lelaki itu tak mengubah suasana tegang yang sudah menyelimuti ruangan; Jovita, Syahirah, dan Shaga tetap terpaku pada situasi mereka masing-masing, masing-masing tenggelam dalam pikiran dan perasaan mereka sendiri, tak seorang pun yang mengalihkan pandangan atau memberikan reaksi terhadap kedatangannya. Suasana hening, hanya diiringi isak tangis Syahirah yang memecah kesunyian, menciptakan kontras yang tajam dengan kemewahan jubah putih emas yang dikenakan lelaki tersebut.

Jovita, dengan tatapan yang sulit diartikan—campuran hormat, kewaspadaan, dan mungkin sedikit keraguan—menoleh ke arah lelaki yang baru saja memasuki ruangan, langkahnya tenang, tetapi aura kepemimpinannya begitu terasa. “Selamat datang, Tuan Fikri Satria Wicaksana. Kehadiran Tuan di sini, di tengah pusaran permasalahan yang—bagaimana mengatakannya dengan tepat? Masalah ini sangat pelik dan kompleks ini, jauh melampaui harapan kami. Kami telah berjuang keras, mencoba berbagai jalan keluar, tetapi semuanya terasa sia-sia. Oleh karena itu, kami berharap Tuan, dengan kebijaksanaan dan wewenang yang Tuan miliki, dapat memberikan pencerahan dan solusi yang komprehensif atas permasalahan yang tengah kami hadapi. Kehadiran Tuan di sini bukan hanya berarti bagi kami semua, tetapi juga menjadi sebuah titik terang di tengah kegelapan yang baru-baru ini menyelimuti kami,” ucapnya terdengar formal. Sebuah sapaan yang menunjukkan pengetahuannya akan identitas lelaki tersebut, tetapi juga mengindikasikan adanya hubungan tertentu di antara mereka yang tak terungkap secara jelas. Senyum tipis terukir di bibirnya, mencoba menutupi kekhawatiran yang terjadi.

Tatapan Fikri yang dalam dan penuh pertimbangan, seakan tak mendengar sepatah kata pun dari Jovita. Pandangannya tetap terpaku pada Syahirah yang masih menangis tersedu-sedu, isak tangisnya mengiris hati, membuat suasana semakin mencekam. Ia mengamati setiap helaan napas Syahirah, seakan mencoba memahami sumber kesedihan yang begitu mendalam itu, mencoba membaca cerita di balik air mata yang membasahi pipinya, mencoba menemukan jalan untuk meredakan duka yang mencengkeram hati perempuan itu. Kehadiran Jovita seakan tak mampu mengalihkan fokusnya, seolah hanya Syahirah dan kesedihannya yang mampu menarik perhatiannya.

“Syahirah.” Fikri memulai, suaranya berat,  tatapannya tajam, tetapi di baliknya terpancar kepedulian yang tulus. Ia menatap Syahirah dalam-dalam, mencoba menembus lapisan air mata yang membasahi pipi perempuan itu, mencoba melihat jauh ke lubuk hatinya. “Jawab aku dengan jujur, tanpa ragu dan tanpa menyembunyikan apa pun. Kau baik-baik saja? Aku tidak suka melihatmu seperti ini, terluka dan rapuh. Ada apa sebenarnya? Apakah ada sesuatu yang terjadi? Jangan menyembunyikannya dariku, karena aku ingin membantumu. Beri aku kesempatan untuk mengerti, untuk menjadi bahu tempatmu bersandar, dan untuk berbagi beban yang tengah kau pikul.”

Pertanyaan Fikri yang dilontarkan dengan penuh perhatian, tetapi tetap tegas, justru menjadi pemicu bagi Syahirah. Air mata yang semula menetes perlahan kini mengalir deras membasahi pipinya, membuat riasannya luntur. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan, jari-jarinya mencengkeram erat, seakan mencoba menahan luapan kesedihan yang begitu hebat. Isak tangisnya semakin menjadi-jadi, suara pilu yang tertahan-tahan terdengar di antara tangisnya yang pecah. Tubuhnya bergetar hebat,  bahu-bahunya terguncang-guncang, menunjukkan betapa besarnya beban yang tengah ia pikul, sebuah kesedihan yang begitu mendalam hingga mengguncang seluruh jiwanya. Ia tampak rapuh, terombang-ambing dalam lautan duka yang tak bertepi.

Fikri menyesali pertanyaannya itu, pertanyaan yang sebenarnya sudah ia ketahui jawabannya, tetapi rasa penasaran yang membuncah bagai gelombang pasang telah menyeretnya untuk melontarkannya. Kini, tatapannya yang kosong dan hampa, dipadu raut wajahnya yang muram bak langit mendung di senja hari, menjadi saksi bisu betapa dalam penyesalan yang menggerogoti hatinya.

Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibirnya tanpa berpikir panjang, terasa seperti sebilah pisau beracun yang tak hanya menusuk hatinya sendiri, tetapi juga melukai perasaan orang yang sangat ia hargai. Keheningan yang mencekam di sekelilingnya seakan memperkuat derita batinnya, menggemakan kesalahan yang telah ia perbuat dan mengingatkannya akan konsekuensi dari tindakan impulsif yang didorong oleh rasa ingin tahunya yang tak terkendali.

Di seberang sana, Shaga hanya mampu menatap mereka dengan tatapan kosong, rantai besi berat yang masih terikat di lehernya terasa semakin mencekik, bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara metaforis, membelenggu kebebasannya untuk berbicara, bergerak, bahkan sekadar mengekspresikan apa yang sebenarnya ia rasakan di dalam hatinya yang terimpit beban pun berat. Tatapannya yang sayu dan hampa seakan mencerminkan jiwanya yang telah patah, tanpa secercah harapan untuk masa depan. Ia hanya pasrah, menerima takdirnya yang pahit, tanpa tekad untuk melawan atau mengubah keadaan. Berat rantai itu, baik secara fisik maupun psikis, telah sepenuhnya menghancurkan semangatnya, dia sudah pasrah dengan itu.

“Syahirah, demi keselamatan kerajaan kita, ubahlah aku menjadi iblis yang paling mengerikan sekalipun. Aku rela menanggung kutukan abadi, menerima siksaan, bahkan mengalami penderitaan yang melampaui batas kemampuan manusia untuk memahaminya, asalkan kau tidak perlu meneteskan air mata lagi. Lihatlah air matamu, Syahirah, bagaikan tetesan embun pagi yang dingin dan menyayat hatiku—lebih pedih daripada ribuan pedang yang menusuk jiwaku. Jika menjadi iblis adalah harga yang harus kubayar untuk menjaga kerajaan ini, untuk melindungi rakyat yang tak berdosa, dan untuk menghentikan air matamu yang begitu menyakitkan, maka aku rela. Aku rela menjadi perisai untukmu, bahkan jika perisai itu terbuat dari duri neraka yang menyala-nyala dan dihantam gelombang api yang tak pernah padam. Aku akan menjadi benteng terakhir, yang melindungi keamanan dan kebahagiaanmu, meskipun itu berarti aku harus selamanya tersiksa dalam kegelapan,” ujar Shaga.

 Aku akan menjadi benteng terakhir, yang melindungi keamanan dan kebahagiaanmu, meskipun itu berarti aku harus selamanya tersiksa dalam kegelapan,” ujar Shaga

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Capek banget sama drama kerajaan ini 😭

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 2 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Luka Jubah Putih Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang