[4] Melanjutkan Hidup

1 1 0
                                    

Tolong berikan alasan untukku terus melanjutkan hidup yang sudah seperti neraka. Tak ada bahagia, tawa, haru, bahkan sekedar apresiasi. Apa arti hidup jika segalnya terasa menyakitkan bahkan tak ada sisa.

Bukankah tuhan memberi cobaan sesuai dengan kemampuan manusia?

Lalu, batas seperti apa yang ia berikan kepadaku sehingga semua ini terus mengalir?

Tak adakah sedikit kebahagiaan yang tercipta untukku?

Mengapa hanya luka, dan luka yang terus hadir pada alur hidupku.

Benar adanya, jika yang namanya luka tidak mungkin dapat sembuh seperti sedia kala. Adanya obat hanyalah sebagai pereda nyeri yang menyamarkan rasa sakit sehingga perlahan memudar.

Hilang, bukan berarti tak meninggalkan bekas. Begitu juga dengan rasa sakit.

“I-ibu hiks,” dengan air mata yang masih terus mengalir Luna berusaha membantu sang Ibu bangkit dari posisi tidurnya.

Setelah berhasil mendudukkan dan bersandar pada dinding, Luna tak kuasa menahan air matanya yang terus mendobrak untuk terus keluar, “u-udah jang-ngan nangis lagi, nanti cantiknya ilang,” ujar Hilya sambil menghapus air mata yang terus mengalir di pipi Luna.
“Luna takut Bu, Luna takut hiks,” Luna meremas ujung baju sang Ibu.

“Ibu di sini sama Luna, Luna gak perlu takut.” Hilya mengelus surai rambut sang anak.

“Kita kenapa gak pergi aja dari sini sih Bu, Luna udah gak perduli lagi sama Ayah. Luna cuma butuh Ibu aja. Luna mau hidup berdua aja sama Ibu. Luna gak butuh siapa pun lagi Bu.”

“Maafin Ibu belum bisa kabuli permintaan Luna ya, Ibu janji bakalan kerja lebih keras lagi biar kita cepat keluar dari rumah ini. Tapi untuk sekarang tahan-tahan dulu ya. Ibu masih kumpuli uang sambil cari kontrakan yang baru.”

Hilya menatap mata sang anak dengan penuh keyakinan membuat Luna tersentuh akan ucapan sang Ibu. Luna tau sekarang, bukan hanya ia yang merasa tertekan ada di posisi ini.  dan sang Ibu sama-sama tersakiti dan keduanya harus terus saling bersama dan tak boleh ada yang menyerah apalagi berpikiran bodoh dengan mengakhiri hidup.

“Ibu tau Luna anak yang kuat, Ibu mohon sama Luna sabar ya Nak. Ibu bakalan terus berusaha,” Luna yang mendengar peuturan sang Ibu pun mengangguk dan langsung menghamburkan pelukannya.

Keduanya saling berpelukan melepas semua beban. Baru saja kedua tertawa sambil menikmati nasi goreng. Namun seakan tuhan sedang mempermainkan keduanya dimana saat sedang bahagia, seketika leyap di ganti dengan luka yang kembali tertore dengan sangat jelas.


~'~'~'~'~'~


Bagi Luna tak ada hari yang spesial selama 15 tahun menjalani hidup ini. Seakan kehidupan yang di jalani sekarang sudah terancang dan tak ada di ubah, dimana kehidupan Luna hanya berputar dari sekolah dan rumah yang terus menerus di jalani.

Seperti biasa Luna akan berangkat sekolah lebih awal dari teman-temannya yang lain karena jarak rumah dan sekolah yang lumayan jauh sekitar 30 menit perjalanan. Namun, perjalan di pagi hari bisa di bilang merupakan part yang melegakan, tidak ada keributan, tenang, segar dan juga matahari yang masih terlihat malu-malu untuk memancarkan cahayanya.

Saat ini jam menunjukkan pukul 6.50 dimana sekolah masih terlihat beberapa orang saja yang sudah datang ke sekolah. Karena hari senin merupakan jadwal Luna untuk membersihkan kelas. Setelah sampai di sekolah Luna bergegas membenarkan kursi yang sedikit berserakan dan mulai menyapu seluruh ruangan kelas. Setelah semuanya bersih Luna bergegas ke kamar mandi dan mulai mengambil air yang akan digunakan untuk menyiram tanaman.

Setelah di rasa semuanya beres Luna kembali duduk ke kursi yang memang berada di ujung ruangan yang berhadapan dengan jendela.

Brak

Sebuah buku melayang tepat di kepala Luna dengan cukup keras. Luna langsung melihat siapa yang melempar buku itu, setelah mengetahui siapa pelakunya Luna hanya terdiam sambil menunduk.

“Lo cari gara-gara sama gue,” ujar Celyn.

Celyn menarik rambut Luna sampai membuat gadis itu dapat beradu tatap langsung, “ lo sengajakan buat nilai gue gak sempurna biar lo kira gue bakalan berhenti nyuru lo ngerjain tugas lagi, Iyaaa kan!!!” Celyn langsung mengempaskan kepala Luna, yang mengakibatkan kepala Luna menatap pinggiran meja.

“Sa….saya gak tau kalau buat ke…kesalahan. Waktu ngerjain itu udah malam jadi…” Celyn dengan cepat langsung menendang kaki Luna.

Akh

“Gak usah banyak alasan lo.” Terdengar suara bel yang menandakan upacara akan dilangsungkan.

“Urusan kita belum selesai,” Celyn dan teman-temnnya langsung keluar dari kelas itu.


~'~'~'~'~'~


Seperti perkataan Celyn tadi yang seolah belum puas menyiksa Luna. Setelah bel istirahat berbunyi Celyn dan kedua temannya langsung menyeret Luna ke arah kamar mandi dimana sebelum ketiganya masuk kamar mandi masih terlihat sunyi. Dengan keadaan tersebut ketiganya dengan leluasa menyiksa Luna.

Di karenakan hari senin merupakan hari bersih-bersi yang biasanya dilakukan petugas kebersihan dimana memanfaatkan waktu upacara. Para petugas kebersihan biasanya akan membersihkan lorong kelas.

Dapat dilihat dengan masih banyaknya sisa air yang belum di buang. Air itu terlihat sangat keruh dan memiliki aroma yang tidak sedap. Dengan sekali siram tubuh Luna sudah basah kuyup dengan air itu, tidak lupa bau tak sedap yang langsung menyeruak keluar karena genangan air yang sudah memenuhi hampir setengah kamar mandi.

Dengan menggunakan ujung sapu, Celyn mendorong tubuh Luna hingga menabrak tembok, “ini belum ada apa-apanya kalau lo berani berbuat lebih dari ini. Sebagai hukumannya lo harus kerjain semua tugas kita bertiga dan harus udah siap besok sebelum kita bertiga sampai di sekolah. Kalau sampai lo gak bisa selesaian tepat waktu lebih dari ini gue bakalan siksa lo. DENGER LO GUDIKK,” Celyn masih dengan sapu yang di pegang mendorong kepala Luna sampai menabrak tembok.

Valeria- teman Celyn juga ikut ikutan menendadang tulang kering Luna yang di tekuk guna melindungi kepalanya. Seakan belum puas Siska- juga ikut mendorong bahu Luna menggunakan kakinya.


~'~'~'~'~'~


Kalau di tanya mengapa Luna tidak perna melawan Celyn dkk?

Jawabannya Luna perna melawan bahka sampai berkata baik-baik kepada ketiganya. Tapi apa yang Luna dapatkan selain siksaan yang lebih dari ini.

Mengapa Luna tidak perna melaporkan hal tersebut kepada pihak sekolah?

Kalau pertanyaan seperti itu di jawab dengan pertananyaan yang lebih logika, apa yang lebih di butuhkan dari uang atau membela orang miskin yang gak punya apa-apa? Bukankah uang adalah segalanya, bagi orang yang tidak punya rasa kemanusian.

Luna yang melanjutkan sekolah dengan kemampuannya dalam bidang pendidikan yang dapat digunakan pihak sekolah untuk menaikkan akreditas. Karena selama 3 tahun Luna sekolah si SMP Cendrawasi, jika dijumlahkan gadis itu sudah menyumbang sebanyak 10 mendali emas dan juga 3 mendali perunggu dalam kategori bermacam-macam mulai dari olimpiade kimia , fisika, sampai matematika dari tingkat kota sampai nasional.

Bahka sudah banyak sekolah SMA Swasta yang melirik bakat gadis itu dengan tujuan yang tidak jauh beda, yaitu untuk menaikkan akreditas sekolah swasta tersebut agar dapat bersaing dengan sekolah swasta lainnya.

“Akhirnya siap juga,” Luna mengangkat kedua tangannya guna merenggangkan otat pingganya yang mulai kaku karena sudah duduk di selama hamper 5 jam. Berkutat dengan ratusan soal. Bukan menjadi masalah besar bagi Luna untuk menyelesaikan ratusan soal ini karena gadis yang sudah memiliki banyak pengalaman dalam melahap ratusan soal dalam satu malam.

Masalah tugas Celyn yang dimana salah satu soalnya salah itu bukanlah kesalahan Luna, jika di teliti lebih detail lagi sebenarnya ada kesalahan dalam mengoreksi soal tersebut karena Luna yang memang lebih terbiasa merombak rumus sendiri agar lebih mudah dan cepat dapat menyelesaikan.

Tok..tok..tok

Ketukan yang menandakan bahwa sang Ibu telah pulang membuat Luna dengan semangat langsung menuju pintu. Dengan senyum yang lebar Luna membuka pintu, “ Ibuuu,” seakan sedang menyambut hadia yang mewah seyum Luna tak luntur sedikit pun.

Setelah keduanya duduk di meja makan, Hilya langsung membuka makanan yang memang di bawa selepas pulang kerja. Luna dengan wajah yang sumringa menyambut setiap makanan yang di berikan sang Ibu.

“Hari ini Ibu cuma bawa gorengan, Maaf.” Hilya menundung seakan malu menyajikan makanan yang menurutnya tidak memenuhi gizi untuk tumbuh kembang Luna saat ini.

Senyum yang sedari sang Ibu mengetuk pintu tidak perna pudar. Luna menggenggam tangan sang Ibu yang ada di atas meja, “gak papa bu, banyak orang di luar sana yang belum bisa makan. Apa pun yang Ibu bawa Luna ucapin banyak terimah kasih. Luna gak bisa janji sama Ibu tapi Luna bakalan usahaain buat bales semua yang udah Ibu kasih ke Luna.”

.
.
.
Bismillah yaa cerita ini tamat sebelum habis tahun ini.

Jangan Lupa vote dan komen

Banda Aceh, 27 Agustus 2024

ᴄᴀɴ ʏᴏᴜ ʟɪꜱᴛᴇɴ ᴛᴏ ᴍᴇ?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang