[10] Putus Asa

0 0 0
                                    

~C A N Y O U L I S T E N T O M E ~
~B A N D A A C E H ~
~ S A B T U , 7 S E P T E M B E R 2 0 2 4~

Tak ada yang dapat di pertahankan. Bahkan untuk sekedar mempertahankan kehormatannya saja Luna tidak bisa. Apa lagi yang dia harapkan dari hidup ini. Mengapa terasa sangat sulit.

Dengan mata yang terus mengeluarkan air mata, seolah air mata yang Luna punya selama ini ingin ia kuras sampai habis. Setelah kejadian malam itu Luna tak benar-benar bisa tertidur. Banyak hal yang ia pikirkan. Mulai dari masa depannya, bagaimana reaksi sang Ibu jika tahu sang anak sudah tidak lagi perawan, dan masih banyak lagi.

Jika dulu sang ayah menyebutnya jalang, Luna sangat pantas marah dan juga benci, karena ia bukan jalang. Namun untuk sekarang apakah itu semua harus di lawan, atau di biarkan. Karna lihatlah ia sekarang tidak lagi perawan. Siapa yang mau dengan gadis tidak perawan?
Apa lagi yang patut ia banggakan kepada semua orang?

Jika menjaga tubuhnya saja ia tidak bisa.
Tidak bisakah dunia lebih baik lagi kepadanya?
Sudah hampir seharian Luna terkulai dalam keadaan dan posisi yang sama. Saat sang Ayah, ahh bahkan memanggilnya Ayah saja Luna tidak sudih. Lelaki tua itu lebih baik disebut bajingan berwujud manusia.

Luna berusaha bangkit dari tempat tidurnya dan mulai duduk di ujung ranjang. Membutuhkan waktu sekitar 10 menit baginya untuk benar-benar kuat menahan rasa nyeri dan rasa lengket di sekujur tubuhnya.

Dengan perlahan Luna bangkit dari tempat tidur dan menatap cermin yang sudah tinggal setengah, dan terlihat sangat mengerikan dengan ujung kaca berbentuk lancip yang dengan mudah dapat menggores kulit siapa saja dengan mudah.

Sejenak Luna memandangi tubuhnya yang tidak menggunakan sehelai pakaian. Dengan mata yang memerah, gadis itu tak tahan untuk tidak mengeluarkan air matanya. Namun yang berbeda kali ini wajahnya terlihat datar. Seolah tak ada ekspresi yang harus di keluarkan.

Dengan tangan yang lemas, Luna menyentuh lehernya yang terlihat banyak tanda-tanda kebiruan, sambil terus menatap pantulan dirinya di cermin seolah sedang menatap orang lain. “Kau gadis yang kotor, lihatlah dirimu. Tak ada bedanya dengan kotoran. Apa yang kau harapkan dari hidup ini?”

Luna terus menatap dirinya yang ada di depan cermin. Sebuah senyum tiba-tiba muncul, lebih tepatnya smirk. Jika orang lain melihatnya pasti mereka akan mengatakan jika itu bukan Luna yang mereka kenal.

Yang tadinya berwajah datar, tiba-tiba Luna tertawa dengar suara yang lantang dan menggelagar seolah sedang menertawakan orang lain.

“HAHAHA,” setelah tertawa, tiba-tiba Luna mengeluarkan teriakan yang tidak kalah kuat, “AKHHHHHHHHHHH, BAJIANGAN.”

Craangg!!

Kaca yang tadinya tinggal setengah sekarang sudah hancur berkeping-keping.
Representasi kaca yang pecah tadi seolang menggambarkan keadaan diri Saluna. Yang tadinya sudah terluka dan hampir menyerah. Hingga di satu titik semua bergejolak menjadi satu sehingga tidak kuat untuk ditahan dan akhirnya pecah menjadi serpihan yang tak bisa kembali keadaan kemula.

Masih dengan serpihan kaca yang berserakan Luna luruh ke lantai. Serpihan yang masih berserakan tak khayal langsung dengan mudah bersemayan di dalam kulit Luna yang menyebabkan darah segar kembali keluar dari tubuh Luna.

Jika ada yang bertanya bagaimana keadaan tubuh Luna?

Tak ada yang bisa membayangkan tubuh seorang gadis yang dulunya kulitnya berwarna sawo matang bersih, sekarang terdapat banya luka gores, bahkan lebam membiru. Seolah sudah mati rasa Luna terdiam dengan keadaannya sekarang.

Pandangan Luna terarah ke sebuah pecahan kaca yang terlihat lebih besar dari serpihan kaca yang lain. Dalam pantulan kaca itu memperlihatkan seorang gadis dengan rambutnya yang panjang dengan wajah yang ancur.

Luna meraih hoodienya yang berwarna hitam tergeletak di lantai. Perlahan Luna memakai hoodie yang memiliki banyak kenangan dengan sang Ibu. Setelah hoodie itu terpakai di tubuhnya Luna mulai berjalan ke arah kamar mandi yang sebelumnya juga meraih serpihan salah satu serpihan kaca.

Luna berjalan menuju kamar mandi. Di dalam kamar mandi Luna menatap dirinya di caermin dan melihat bayangannya sendiri. Dengan perlahan ia mengambil setengah rambutnya dan menariknya kedepan. Setelah itu ia menaikkan tangan satunya lagi bersiap memotong rambutnya dengan serpihan kaca yang di pegangnya.

Setelah semua rambutnya terpotong dengan ukuran sebahu, gadis itu mulai menatap kembali dirinya di cermin sambil memiringkan kepala seolah sedang menilai penampilan barunya. Dengan keadaan sadar atau tidak sadar, Luna secara perlahan mengarankan potongan kaca itu tepat di area lehernya.

Setelah berhasil menggores area lehernya yang kemudia mengeluarkan darah segar, entah mendapat dorongan dari mana Luna mengambil darah segar itu menggukan jari telunjuknya dan mulai menjilatnya.

“Manis,” ujarnyarnya di sertai menyeringai.
Dengan dorongan iblis dalam dirinya Luna kembali menggoreskan potongan kaca ke area goresan yang tadi hingga dalam. Setelah darah mengalir hingga mengenai hoodie.

“The end of story.”

~'~'~'~'~'~

Cahaya bulan seakan menambah kehangatan malam, namun seakan kehangatan bulan tersebut tidak di rasakan seorang gadis yang sedang manatap kosong ke arah langit-langait sebuah ruangan. Tak ada objek pasti yang dilihat oleh gadis itu. Hanya sebuah atap berwarna putih.

Kreek

Terdengar sebuah pintu terbuka dan terlihat seseorang sedang masuk kedalam ruangan itu. Gadis yang menatap langit-langit ruangan itu seakan tidak terganggu dengan kedatangan seseorang itu.

“Luna udah sadar,” ujar wanita itu.
Wanita itu mengusap surai rambut gadis yang masih terbaring di brankar, “ada yang sakit Nak,” ujar Hilya dengan nada bergetar sambil menatap Luna.

“I…ibu minta maaf. I..ibu gagal jaga Luna. Ma….maafin Ibu,  hikshikss.” Hilya tak kuat menahan sesak saat memandangi Luna yang hanya terdiam dari tadi.

Tangisan yang seakan terdengar sangat sakit bagi siapa saja yang mendengarnya, “maafin Ibu. Hikshiks Ibu terlalu egois selama ini. Kalau aja Ibu bisa lebih cepat bawa Luna keluar dari rumah itu. Mungkin sekarang Luna gak bakalan kayak gini,” jeda Hilya.

“Maafin Ibu udah jarang ada waktu buat Luna. Ibu jarang ketemu Luna, Ibu malah ninggali Luna dan berujung Luna yang jadi pelampian bajingan itu. Ibu gagal…. I…Ibu gagal jaga Luna..” Hilya memukul dadanya yang terasa sesak sambil terus memegang tangan Luna dan menelungkupkan kepalanya di lipatan Kedua tangannya.

Akhhh…… hiks…..,” erangan rasa sesak keluar dari mulut Hilya seakan ada batu besar yang menghantam dadanya.

Luna sedari tadi hanya terdiam dengan posisi yang hanya menatap kearah langit-langit kamar. Tak ada sedikit pun ia melihat ke arah sang Ibu. Bahkan tangisan sang Ibu seperti angina yang berlalu baginya. Karna sebelum sang Ibu merasakannya Luna sedah lebih dulu merasakan hal itu. Rasa sesak yang teramat hingga rasanya ingin menhgilang dari dunia ini.

Jangan Lupa Vote dan Komen

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 07 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ᴄᴀɴ ʏᴏᴜ ʟɪꜱᴛᴇɴ ᴛᴏ ᴍᴇ?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang