BAB 1

886 62 7
                                    

Lee Amera menatap kosong ke dalam cangkir kopi di depannya. Matanya yang biasanya berkilau penuh kehidupan kini tertunduk dalam kesedihan yang tak terlukiskan. Tangannya yang bergetar menyapu air mata yang jatuh tanpa henti, membuat Maretta, sahabat baiknya, semakin khawatir. Keduanya duduk di sudut sebuah kafe yang selalu menjadi tempat mereka berbagi cerita, baik suka maupun duka.

“Ada apa denganmu, Era?” tanya Shim Maretta, menatap sahabatnya dengan penuh kekhawatiran. Wanita setengah bule itu terlihat bingung, tidak terbiasa melihat Amera, yang biasanya kuat dan ceria, tampak begitu rapuh.

Amera mengangkat matanya yang basah, menatap Maretta dengan tatapan yang penuh dengan kepedihan. “H-Heeseung...” ujarnya lirih, suaranya hampir tidak terdengar di tengah isak tangisnya. Ia mengusap wajahnya, berusaha menahan air mata yang terus mengalir, tapi upayanya sia-sia. Kesedihan terlalu mendalam untuk disembunyikan.

Maretta terdiam, mencoba memahami apa yang terjadi. Tangannya yang lembut mulai mengusap punggung Amera, mencoba menenangkan sahabatnya yang semakin larut dalam kesedihan. “Apa yang terjadi dengan Heeseung?” tanyanya, suaranya penuh dengan keprihatinan.

Amera menggenggam tangan Maretta dengan erat, seolah mencari kekuatan dari sentuhan sahabatnya. “Dia... Heeseung putraku... Bagaimana masa depannya nanti jika aku mati?” ucap Amera, suaranya bergetar, mencerminkan ketakutan yang mendalam.

Maretta terbelalak mendengar kata-kata Amera. “Apa maksudmu, Era?” tanyanya dengan suara bergetar, berharap apa yang baru saja didengarnya hanyalah salah paham.

Amera menunduk, air matanya jatuh lebih deras. “Aku... aku sakit, Metta. Kanker otak, dan sekarang sudah masuk stadium akhir...” Bisikan itu terdengar seperti petir di siang bolong bagi Maretta.

Tubuh Maretta terasa lemas, seolah kekuatan meninggalkan tubuhnya. Ia menggeleng tidak percaya, air matanya mulai mengalir tanpa bisa dihentikan. “J-jangan bercanda, Era...” ucapnya penuh harap, meskipun ia tahu dalam hati bahwa sahabatnya tidak sedang bercanda. Namun, melihat gelengan lemah dari Amera, harapannya runtuh seketika.

“Kamu pasti bisa sembuh,” Maretta berusaha meyakinkan diri sendiri lebih dari sahabatnya. “Aku akan membawamu berobat ke luar negeri, kita bisa cari dokter terbaik.”

Amera menggeleng lemah, senyumnya pahit. “Sudah terlambat, Metta... Yang aku khawatirkan hanyalah Heeseung... Bagaimana nanti hidupnya tanpaku... Dia hanya punya aku... Bagaimana aku bisa meninggalkannya sendirian?”

Maretta memejamkan matanya, mencoba menenangkan badai emosi yang berkecamuk dalam dirinya. Ketika ia membuka mata, tekad telah terbentuk dalam benaknya. “Jake akan menikahi Heeseung,” ujarnya tegas, suaranya penuh dengan keyakinan.

Amera menatap sahabatnya dengan pandangan terkejut. “Apa yang kau katakan, Metta?”

“Jake akan menikahi Heeseung,” ulang Maretta, lebih yakin dari sebelumnya. “Putramu akan menjadi menantuku.”


***


Jake Shim menatap gelas di tangannya dengan pandangan penuh kekesalan. Minuman keras dalam gelas itu tidak lagi memberikan kenyamanan yang ia harapkan. Dengan gerakan kasar, ia meletakkan gelas tersebut ke meja, suara dentingnya terdengar keras di tengah kebisingan klub malam yang penuh sesak.

“Sialan,” umpat Jake pelan, namun cukup keras untuk menarik perhatian kedua sahabatnya, Jay dan Sunghoon, yang duduk di seberangnya.

“Kenapa, Lo?” tanya Sunghoon, alis tebalnya berkerut melihat wajah Jake yang tampak jauh lebih kusut dari biasanya. Sejak mereka masuk ke klub malam ini, Jake tampak tidak seperti dirinya yang biasanya santai dan tenang.

Jake berdecak kesal sebelum akhirnya menatap Jay dan Sunghoon yang menunggu jawabannya dengan penasaran. “Gue mau nikah,” ucapnya datar, tanpa emosi.

Sunghoon dan Jay kompak melotot kaget mendengar pengakuan itu. “Hah?! Lo ngehamilin Somi?!” seru Sunghoon heboh, menatap Jake dengan ekspresi tidak percaya. Namun sebelum ia bisa melanjutkan, sebuah bantal sofa terlempar ke wajahnya, membuatnya mengerang kesakitan. “Anjing!”

“Lo anjing,” balas Jake dengan nada kesal. “Bukan sama Somi.”

Jay menatap Jake dengan alis terangkat, jelas sekali tidak mengerti arah pembicaraan ini. “Maksud lo?”

Jake menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri sebelum menjawab. “Bunda minta gue buat nikahin anak tante Amera.”

Hening sejenak menyelimuti mereka bertiga. Sunghoon dan Jay hanya bisa saling pandang dengan ekspresi bingung, mencoba mencerna kata-kata Jake. Namun begitu mereka berhasil memproses informasi tersebut, Sunghoon kembali berseru, “A-anjing, lo nge-gay?!”

Jake mengatupkan rahangnya dengan kuat, mencoba menahan amarah yang semakin membara. “Dia intersex,” jawabnya dingin.

Sunghoon dan Jay terdiam, perlahan-lahan memahami situasi yang sebenarnya. “Kak Heeseung...” Jay akhirnya berbicara, namun segera dipotong oleh Jake.

“Secara fisik, dia emang cowok... Secara fisik,” ulang Jake, menekankan pada kata “fisik” seolah ingin memastikan sahabatnya memahami betul maksudnya.

Sunghoon menelan ludah, mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Berarti... lo sama dia bisa...”

Sekedar informasi, Jay dan Sunghoon sama-sama tahu mengenai Tante Amera, sahabat baik ibu Jake. Wanita itu beberapa kali datang ke kediaman keluarga Shim saat Jay dan Sunghoon kebetulan sedang berkunjung. Namun, mereka hanya tahu bahwa wanita cantik tersebut memiliki seorang putra bernama Lee Heeseung yang jauh lebih tua dari mereka bertiga.

Sebelum Sunghoon bisa melanjutkan, Jake menyela dengan cepat. “Enggak, gue enggak bisa dan enggak akan pernah.” ucap Jake dengan nada begitu jelas, membuat Sunghoon dan Jay saling pandang dengan perasaan ngeri.


***


Di sisi lain, Lee Heeseung duduk di depan cermin besar di kamarnya, menatap bayangan dirinya sendiri dengan pandangan kosong. Pikirannya dipenuhi kekalutan yang sulit diatasi. Beberapa menit yang lalu, ibunya baru saja memberi tahu bahwa bulan depan ia akan menikah dengan putra sahabat ibunya. Perasaan campur aduk menghantam dirinya, mulai dari ketidakpercayaan hingga kecemasan yang mendalam.

Heeseung cukup mengenal keluarga Shim. Ibunya sering bercerita tentang sahabat baiknya, Maretta, dan dua putranya. Namun, dari semua cerita itu, Heeseung tahu bahwa putra bungsu Maretta, Jake Shim, adalah orang yang akan menjadi suaminya kelak.

Heeseung tahu siapa Jake Shim, meski hanya sebatas nama dan fakta bahwa mereka berada di universitas yang sama. Namun, perbedaan jurusan dan semester serta jarak antar gedung fakultas yang berjauhan membuat mereka tidak pernah berpapasan. Heeseung bahkan tidak tahu bagaimana rupa Jake, meskipun cerita tentang kepopuleran Jake di kampus tidak pernah lepas dari telinga siapa pun. Namun, Heeseung tidak pernah peduli tentang hal itu. Ia tidak pernah tertarik dengan kehidupan kampus yang hingar bingar, terutama yang berkaitan dengan popularitas seseorang.

Tapi sekarang, takdir telah menuntunnya pada perjodohan yang tak pernah ia bayangkan. Ia akan menikah dengan seseorang yang hampir tidak ia kenal, seseorang yang mungkin tidak pernah bisa menerima dirinya apa adanya.

Heeseung menarik napas panjang, mencoba menenangkan hatinya yang berkecamuk. Ia tahu bahwa hidupnya akan berubah selamanya, dan meskipun ketakutan menyelimuti hatinya, ia tidak punya pilihan lain selain menerima keputusan ini. Ibunya, satu-satunya orang yang ia miliki, sedang berada di ambang kematian. Dan jika menikahi Jake Shim adalah satu-satunya cara untuk memastikan bahwa ibunya tidak khawatir tentang masa depannya, maka ia akan melakukannya, meskipun itu berarti mengorbankan kebahagiaannya sendiri.

TBC...

FATETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang