BAB 18

283 44 0
                                    

"Tampan sekali," ujar Jerry tiba-tiba, seraya mengagumi sosok yang tergambar di atas kanvas di hadapannya. Evan, yang tengah fokus pada lukisannya, terlonjak kaget ketika mendapati sahabatnya sudah berdiri di belakangnya tanpa ia sadari.

"Kau sudah datang? Aku tidak mendengar suara motormu," kata Evan, mencoba mengendalikan keterkejutannya.

Jerry hanya mendengus, senyumnya melebar. "Kau yang terlalu tenggelam dalam lukisanmu. Dia tampan sekali, kalau dia nyata, rasanya ketampanannya bisa menyaingi kakakmu," canda Jerry sambil tertawa kecil.

Evan tersenyum tipis dan mengangguk pelan. "Dia memang nyata," jawabnya dengan suara tenang, matanya tetap terpaku pada setiap goresan kuas yang ia torehkan di atas kanvas.

Mendengar jawaban itu, tawa Jerry seketika berhenti. Ia langsung tersedak, matanya melebar, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Apa? Jadi... dia benar-benar ada?"

Evan mengangguk lagi, kali ini dengan sedikit lebih banyak perasaan dalam gesturnya. Namun, ia tetap tidak mengalihkan pandangannya dari lukisan tersebut. Tangannya terus bergerak, mempertegas detail wajah pria yang tampak begitu mempesona di atas kanvas.

"Ingat waktu aku bilang kalau aku ingin mencari novel di mall kemarin?" Evan bertanya dengan santai.

Jerry mengangguk cepat, ingat percakapan singkat mereka sebelumnya. "Ya, aku ingat. Kau bilang kau ingin mencari inspirasi, kan?"

Evan tersenyum kecil, lalu melanjutkan, "Aku bertemu dengannya di sana."

Mata Jerry langsung berbinar, dan dia berteriak kegirangan tanpa sadar. "Oh God! Jadi dia benar-benar tampan seperti yang kau lukis?"

Evan hanya tersenyum kecil sambil menatap lukisannya. "Ya, sangat tampan," jawabnya pelan, seolah sedang berbicara dengan dirinya sendiri.

"Siapa namanya?" tanya Jerry penuh antusiasme, berharap mendengar nama dari pria misterius yang berhasil menarik perhatian sahabatnya. Namun, Evan hanya menatapnya sekilas dengan senyum malu-malu yang membuat Jerry semakin penasaran.

"Aku lupa menanyakan namanya," jawab Evan dengan tawa ringan, terlihat sedikit canggung. "Dia pergi sebelum aku sempat bertanya."

Jerry menatap Evan dengan ekspresi tak percaya. "Serius? Kau lupa menanyakan namanya, tapi kau bisa melukis wajahnya dengan detail seperti itu?" Jerry menunjuk lukisan yang hampir selesai, terpesona dengan ketepatan setiap detail yang tergambar di sana. Wajah pria di kanvas itu terlihat sempurna, dari alis tegas, mata tajam, hingga garis rahang yang kokoh.

Evan mengangkat bahu, tampak tak terlalu memikirkannya. "Entahlah, wajahnya terus terbayang di pikiranku sejak pertama kali aku melihatnya. Rasanya, aku tidak bisa melupakannya," gumam Evan pelan, suaranya nyaris tidak terdengar.

"Apa yang kau katakan?" tanya Jerry, bingung karena tidak mendengar dengan jelas.

Evan tersentak, menyadari bahwa ia menggumam terlalu pelan. "Ah, tidak, tidak ada. Lupakan saja," ujarnya cepat-cepat. Ia kemudian mulai membereskan peralatan lukisnya, merasa waktunya untuk pulang sudah hampir tiba.

"Kau mau pergi sekarang?" tanya Jerry, sedikit terkejut melihat sahabatnya mulai merapikan barang-barangnya. Ia melirik ke arah jam dinding, merasa ini terlalu awal bagi Evan yang biasanya pulang larut malam dari Palette House, tempat favorit mereka untuk berkarya.

Evan mengangguk sambil memasukkan kuas-kuasnya ke dalam tas. "Iya, aku harus pulang sebelum makan malam. Kakak bilang, rekan bisnisnya akan datang bersama istrinya dan adiknya malam ini. Aku harus ada di rumah, atau kak Derick akan menjual Axel," jelas Evan dengan nada kesal, merujuk pada motor kesayangannya yang sering dijadikan alat ancaman oleh kakaknya.

FATETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang