BAB 25

258 40 1
                                    

Evan melangkah pelan di lorong rumah keluarga Shim yang megah. Kediaman itu begitu sunyi, hanya suara langkah kakinya yang bergema di marmer dingin. Ketika dia sampai di ruang tamu, hanya ada Jessi, istri dari Vincent, yang duduk dengan tenang di sana. Wanita cantik itu tampak terkejut namun lantas tersenyum lembut, menyambut kedatangannya dengan ramah, seolah sudah tahu jika dirinya akan datang.

"Evan, kau datang," sapa Jessi dengan nada lembut, menyiratkan rasa syukur yang mendalam. "Jake ada di kamarnya, di lantai dua, pintu putih ujung kanan. Kau bisa langsung masuk, dia pasti membutuhkanmu sekarang."

Evan mengangguk dengan canggung, hatinya terasa berat. Setelah mengucapkan terima kasih kepada Jessi, ia melangkah menuju kamar Jake. Setiap langkah terasa semakin menekan batinnya, seolah ada beban besar yang ia bawa. Sesampainya di depan pintu kamar, Evan menghela napas panjang sebelum mengetuk pelan, namun tidak ada jawaban. Dengan hati-hati, ia memutar kenop pintu dan masuk.

Pemandangan di depannya membuat jantungnya seolah berhenti. Jake terbaring lemah di tempat tidur, wajahnya yang biasanya tampan dan bersinar kini terlihat pucat pasi. Matanya terpejam, alisnya sedikit berkerut, menandakan bahwa tubuhnya sedang berjuang melawan demam yang tinggi.

Evan perlahan duduk di tepi kasur, memperhatikan napas Jake yang terdengar berat. Ia mengulurkan tangannya dengan ragu, jari-jarinya menyentuh pipi Jake yang terasa panas akibat demam. Rasa bersalah yang sudah lama ia pendam kini menyeruak kembali, menyergap seluruh hatinya.

"Maaf...," gumam Evan dengan suara yang nyaris tak terdengar. Air mata mulai menggenang di matanya, kemudian jatuh, membasahi pipinya. Semua perasaan yang ia simpan rapat-rapat selama ini terasa seperti badai yang tiba-tiba menerjang, membuat dadanya sesak.

Tanpa diduga, Jake mengerang pelan. "Tidak apa-apa..." ucapnya lirih, suaranya serak dan nyaris tak terdengar. Mata Jake terbuka sedikit, menatap Evan dengan pandangan lemah.

Evan terperanjat, matanya membulat melihat Jake yang ternyata sudah sadar. "Jake..." bisiknya kaget, namun segera terdiam saat melihat Jake tersenyum tipis. Meski lemah, senyum itu masih sama-hangat dan penuh kasih sayang.

Jake mengangkat tangannya dengan susah payah, menyentuh wajah Evan, mengusap air mata yang terus mengalir. "Aku juga minta maaf," kata Jake dengan suara yang lebih parau. "Karena membuatmu menangis."

Evan menggeleng kuat, rasa penyesalan memenuhi dadanya. Ia menggenggam tangan Jake yang terasa panas di pipinya. "Ini salahku... semuanya salahku," ucap Evan pelan, penuh penyesalan. "Aku yang seharusnya meminta maaf. Karena terlalu takut dengan perasaanku sendiri, aku malah berusaha melarikan diri dari semua ini..."

Jake menatapnya dengan lemah, mencoba bangkit untuk duduk. Melihat usaha Jake yang tampak kesulitan, Evan segera membantunya, dengan hati-hati menyandarkan tubuh Jake ke kepala ranjang. Meski hanya gerakan sederhana, setiap gerakan Jake tampak berat, seolah tubuhnya menolak untuk bergerak lebih banyak.

Evan menggigit bibirnya, menahan air mata yang kembali ingin tumpah. Setelah membantu Jake duduk, ia menghela napas berat. "Jake... kali ini biarkan aku yang bicara," katanya sambil menatap dalam-dalam ke mata Jake. "Aku minta maaf. Maaf karena berusaha melarikan diri dari perasaanku sendiri selama ini."

Jake terdiam, mendengarkan dengan saksama. "Aku... aku mencintaimu, Jake," suara Evan semakin rendah, namun penuh kejujuran. "Aku mencintaimu... sangat mencintaimu," lanjutnya, kata-katanya menggantung di udara, memenuhi ruangan yang hening.

Jake tersenyum tipis, dan tanpa ragu, ia menarik Evan ke dalam pelukannya. "Aku juga mencintaimu...," bisik Jake pelan, suaranya terhenti sejenak, di dalam hatinya, Jake menambahkan kata yang tak ia suarakan, "Sangat mencintaimu...Heeseung."

FATETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang