BAB 9

454 53 3
                                    

Dua bulan setelah malam itu, suasana di antara Jake dan Heeseung tampak tidak banyak berubah. Meskipun insiden intim mereka telah terjadi, hubungan mereka tetap dingin dan kaku. Heeseung tampak semakin menjauh, dan Jake merasa ada sesuatu yang menyesakkan di dalam hatinya setiap kali melihat sikap dingin Heeseung. Perasaan ini semakin mempengaruhi Jake, dan dampaknya bisa dirasakan oleh dua sahabatnya, Jay dan Sunghoon.

Saat ini, Jake, Jay, dan Sunghoon sedang duduk di sebuah kafe dekat kampus mereka, seusai menghadiri kuliah. Jay melirik Jake yang tampak muram dan lelah, wajahnya menunjukkan kekacauan emosional yang jelas. “Lo udah hampir dua bulan begini terus, Jake. Lo kelihatan nggak punya semangat hidup. Bahkan lo sering ditegur dosen karena nggak fokus di kelas,” ujar Jay dengan nada cemas.

Sunghoon, yang duduk di samping Jay, menatap Jake dengan tatapan serius. “Lo itu cinta sama kak Hee, kan?” tanya Sunghoon, suaranya penuh dengan kekhawatiran. “Gue udah lama ngeliat ini, dan gue bener-bener capek ngeliat lo kayak gini terus.”

Jake hanya diam, tidak membenarkan, tapi juga tidak menyangkal. Jawaban yang sering dia berikan pada pertanyaan serupa dari kedua sahabatnya adalah kebisuan yang sama. Ia tahu betul bahwa perasaannya terhadap Heeseung telah berubah. Namun, ia juga enggan membahasnya lebih jauh.

“Jake, lo sadar nggak sih, kalau hidup lo sekarang kacau banget?” Jay melanjutkan dengan nada yang lebih mendalam. “Gue belum pernah ngeliat lo sebegini hancur bahkan waktu lo putus sama mantan-mantan lo. Ini malah lebih parah dibandingkan saat lo putus sama Somi.”

Kata-kata Jay membuat Jake sedikit tersentak. Dia tahu bahwa Jay benar. Dalam hati, Jake merasa bahwa kekacauan emosional yang dia alami kini lebih berat daripada yang pernah dia rasakan sebelumnya. Ia membuka mulutnya untuk memberikan jawaban, tetapi ponselnya yang tergeletak di meja berdering dan membuatnya mengurungkan niatnya untuk berbicara.

***

Suatu sore, setelah jam pelajaran terakhir usai, Heeseung sedang merapikan bukunya ketika Nicholas, seorang junior yang belakangan ini cukup sering menghabiskan waktu bersamanya, datang mendekat dengan senyum ramah di wajahnya. Nicholas adalah sosok yang ceria dan penuh energi, seseorang yang dengan mudahnya membuat orang lain merasa nyaman di sekitarnya. Meski begitu, Heeseung tetap merasa ragu saat Nicholas memintanya untuk ikut pergi ke suatu tempat yang disebutnya sebagai ‘tempat indah’ yang ingin dia tunjukkan.

“Ayo, Kak. Sebentar saja,” pinta Nicholas, suaranya terdengar penuh harap.

Heeseung sempat berpikir sejenak, namun akhirnya mengangguk setuju. Dia tak ingin mengecewakan Nicholas, yang tampaknya begitu antusias dengan rencananya itu. Mungkin ini hanya sekadar perjalanan singkat saja pikirnya. Lagipula, dia butuh sesuatu untuk mengalihkan pikirannya dari masalah yang tak kunjung usai.

Nicholas tersenyum lega melihat persetujuan Heeseung, dan tanpa banyak bicara lagi, dia segera membuka pintu mobil untuknya. Saat Heeseung masuk ke dalam mobil, Nicholas menutup pintu dengan hati-hati, namun tanpa disadari oleh Heeseung, senyum di wajah Nicholas berubah menjadi senyum licik yang penuh rencana tersembunyi.

Di tempat lain, Somi sedang dalam perjalanan pulang dengan sopir pribadinya. Mobil mereka berhenti di lampu merah ketika matanya tak sengaja menangkap sosok yang familiar di dalam mobil yang berhenti tepat di sampingnya. Mata Somi menyipit, mencoba memastikan siapa orang itu. “Kak Heeseung?” gumamnya, merasa tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Dia kemudian memperhatikan lebih seksama, mengenali sosok Nicholas yang duduk di kursi pengemudi. Keningnya berkerut, merasa ada sesuatu yang tidak beres.

“Kak Heeseung kenal Nicholas?” tanyanya pada diri sendiri. Kecurigaan segera muncul di benaknya, merasa ada sesuatu yang aneh dengan situasi tersebut. Tanpa berpikir panjang, Somi segera meminta sopirnya untuk mengikuti mobil Nicholas dari belakang, menjaga jarak agar tidak ketahuan.

Somi menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri sebelum menghubungi seseorang yang sudah hampir dua bulan ini tidak bertegur sapa dengannya. Tangannya gemetar saat dia memencet nomor Jake, berharap lelaki itu mau menjawab panggilannya.

Butuh beberapa detik sebelum panggilannya tersambung. Suara ragu Jake terdengar dari seberang, membuat Somi merasa sedikit lega. Dia tidak mau membuang waktu, segera menjelaskan situasi yang dilihatnya dan meminta Jake untuk datang ke lokasi yang terasa tidak masuk akal baginya—sebuah hutan terbengkalai di dekat kampus mereka.

Jake segera mengakhiri panggilan dan bergegas menuju mobilnya, mengambil kunci dengan tangan gemetar. Rahangnya mengeras saat dia memasukkan titik lokasi yang Somi kirimkan beberapa saat yang lalu. “Bajingan,” umpatnya pelan saat melihat lokasi yang ditunjukkan—sebuah hutan terbengkalai di dekat kampus mereka.

Kepanikan Jake tak luput dari perhatian Jay dan Sunghoon, yang kebetulan sedang bersamanya. Mereka langsung tahu ada sesuatu yang serius terjadi. Tanpa menunggu penjelasan lebih lanjut, mereka segera ikut berlari masuk ke dalam mobil Jake, meski tak diundang.

Jay dan Sunghoon saling bertukar pandang, merasa bingung namun tak berani bertanya saat melihat raut wajah Jake saat ini, yang penting mereka ikut membantu, apapun yang terjadi.

***

Somi dengan gelisah duduk di dalam mobil, tatapan matanya tak lepas dari ponsel yang ia genggam erat. Ketakutan dan kecemasan menyelimuti hatinya, terutama saat ia melihat dari kejauhan bahwa mobil Nicholas menerobos masuk ke dalam hutan yang gelap dan lebat. Awalnya, Somi berniat mengikuti mobil itu, berharap bisa menemukan jawaban dari keresahan yang mengganjal di pikirannya. Namun, sang supir yang mengemudikan mobilnya menghentikan niatnya dengan tegas.

“Nona, hutan ini sangat berbahaya. Jalannya semakin sulit ditembus, apalagi saat malam tiba. Kita mungkin bisa masuk, tapi keluar dari sana bisa sangat sulit, terutama dengan tanah yang mulai berlumpur,” kata sang supir, suaranya penuh kekhawatiran.

Somi menggigit bibir bawahnya, terpaksa mengakui kebenaran dari kata-kata supirnya. Meskipun hatinya terus memohon agar bisa mengikuti Nicholas lebih jauh, akalnya mengatakan untuk menunggu. Dengan napas tertahan, wanita cantik itu akhirnya menyerah, memilih untuk menunggu di perbatasan antara jalan setapak dan hutan, berharap dengan putus asa agar Jake segera datang.

Sementara itu, di dalam mobil yang kini semakin dalam memasuki hutan, Heeseung merasakan kegelisahan yang semakin menguasai dirinya. Tatapan matanya menelusuri setiap pohon besar yang mereka lewati, perasaan takut mulai merayap ke dalam benaknya.

“Nicholas, kita mau kemana?” tanyanya dengan suara bergetar, mencoba menyembunyikan ketakutan yang mulai menguasai dirinya. Pandangannya terus tertuju ke luar jendela, seolah berharap ada sesuatu yang bisa memberinya jawaban atas situasi yang tak terduga ini. Ia bertanya-tanya dalam hati, apa yang sebenarnya diinginkan Nicholas dengan membawanya ke tempat yang terasa begitu jauh dan asing.

Namun, Nicholas tidak menjawab pertanyaan Heeseung. Sebaliknya, ia menghentikan mobil setelah merasa mereka sudah cukup jauh masuk ke dalam hutan. “Ayo turun,” ucapnya dengan nada yang datar, hampir seperti perintah.


TBC...

FATETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang