BAB 10

492 64 6
                                    

Heeseung dengan enggan mengikuti instruksi Nicholas. Namun, saat ia baru saja melangkah keluar dari mobil, tubuhnya menegang saat merasakan sentuhan tangan Nicholas yang tiba-tiba mengusap pinggangnya dengan cara yang tidak pantas. Refleks, Heeseung mengayunkan tinjunya, menghantam wajah Nicholas dengan kekuatan penuh. Napasnya memburu saat kesadaran akan situasi berbahaya ini mulai meresap. "Apa yang kau lakukan, Nicholas?!" seru Heeseung dengan nada penuh kemarahan dan ketakutan yang tertahan.

Nicholas hanya menatap Heeseung dengan ekspresi dingin, mengusap pipinya yang memerah akibat pukulan itu. "Beraninya kau..." gumamnya sebelum dengan cepat menyusul Heeseung yang mencoba melarikan diri. Heeseung berlari secepat mungkin, namun tanah yang berlumpur membuatnya sulit bergerak dengan cepat. Ketakutannya berubah menjadi kepanikan saat ia merasakan tangan Nicholas mencengkeram lengannya dengan keras, memaksa tubuhnya berbalik menghadap lelaki itu.

"Beraninya kau, bajingan!" teriak Nicholas dengan marah, sebelum melepaskan tamparan keras ke pipi Heeseung. Pukulan itu begitu kuat hingga membuat Heeseung terhuyung ke belakang, merasakan rasa sakit yang menyengat di pipinya yang kini memerah, dan sudut bibirnya terasa perih akibat darah yang mulai mengalir.

Heeseung mengangkat tatapan matanya yang penuh dengan air mata, tubuhnya bergetar ketakutan. "J-jangan mendekat..." bisiknya, suaranya nyaris tidak terdengar, namun jelas menunjukkan ketakutan yang ia rasakan. Heeseung mundur perlahan, berusaha menjaga jarak dari Nicholas yang semakin mendekat dengan senyum penuh kebencian.

Nicholas tertawa kecil, meremehkan upaya Heeseung untuk menjauh. "Sayang, tenang saja. Menurutlah padaku, dan semua ini akan berakhir dengan mudah. Aku tidak akan memukulmu lagi jika kau patuh," katanya, suaranya licik dan penuh tipu daya. Namun, Heeseung bisa melihat niat busuk di balik mata pria itu.

"Aku tidak sudi! Tidak akan pernah, bajingan! Meski di dunia ini hanya ada dirimu, aku lebih baik mati!" teriak Heeseung dengan suara bergetar, namun penuh dengan tekad. Air matanya semakin deras mengalir saat Nicholas mendadak menarik rambutnya dengan kasar, membuat kepalanya terdongak ke atas. Rasa sakit dari tarikan itu begitu menyiksa, tapi Heeseung menolak untuk menyerah.

"Sialan! Beraninya kau berbicara seolah-olah aku yang menjijikkan di sini! Sadarlah, orang seperti dirimulah yang justru rendah dan menjijikkan. Bersyukurlah aku tertarik untuk bersetubuh dengan tubuhmu yang sialan ini. Bahkan mungkin suamimu sendiri tidak sudi melakukannya... jadi diam dan nikmati saja," ujar Nicholas penuh kebencian, suaranya terdengar semakin liar dan tidak terkendali. Nicholas mendekatkan wajahnya, berniat mengecup leher Heeseung yang putih dan halus.

Namun, sebelum Nicholas bisa melanjutkan perbuatannya, Heeseung dengan cepat melayangkan tendangan keras ke arah vital Nicholas. Lelaki itu langsung mengerang keras, rasa sakit yang luar biasa membuatnya terjatuh dan tanpa sadar melepaskan cengkeramannya pada rambut Heeseung. Melihat kesempatan ini, Heeseung tidak membuang waktu dan segera melarikan diri lagi.

Semakin jauh Heeseung berlari, semakin ia tersesat dalam hutan yang tampak tak berujung. Langit yang semakin gelap menambah kesulitan untuk menemukan jalan keluar, Ia terus berlari, namun semuanya tampak sama di matanya-hanya pohon-pohon besar yang berdiri tegak di sekelilingnya, seakan membentuk labirin yang menjeratnya.

Heeseung mulai merasa putus asa, tubuhnya lelah dan hatinya penuh ketakutan. Namun, ia tahu satu hal, Ia tidak bisa menyerah. Meskipun harapan tampak tipis, ia terus berlari, berharap ada keajaiban yang bisa menyelamatkannya dari kengerian yang sedang dihadapinya.

Heeseung masih terus berlari tanpa arah, ketakutan yang membara menguasai dirinya. Langkahnya semakin tidak menentu ketika tiba-tiba, rasa sakit yang tajam menghantam perut bagian bawahnya.

"Akhh...." Suara Heeseung tersendat, bibir bawahnya tergigit kuat saat rasa sakit itu semakin tajam. Tangannya mencengkeram erat perutnya, seolah berharap dengan melakukan itu, rasa sakitnya akan sedikit mereda. Namun, nyatanya justru semakin parah. "Ibu..." gumamnya lemah, air mata menetes deras dari sudut matanya, jatuh ke pipinya yang pucat.

FATETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang