BAB 17

311 42 4
                                    

Di Los Angeles International Airport (LAX), seorang lelaki berwajah tampan baru saja turun dari pesawat. Topi hitam menutupi sebagian wajahnya, sementara mata tajamnya menelusuri keramaian bandara dengan tenang, mencari sosok kakaknya yang sudah dijanjikan akan datang menjemput. Tak butuh waktu lama, ia melihat Vincent, berjalan dengan langkah santai ke arahnya.

Vincent memandang adiknya dari atas hingga bawah. Penampilan lelaki itu sangat sederhana, hanya memakai kaos hitam polos yang dilapisi leather jacket hitam, celana jeans yang sedikit robek di bagian lutut, serta sepasang sepatu sneakers yang tampak nyaman. Meski enggan mengakui, adiknya itu tetap memancarkan pesona yang sulit diabaikan.

"Aku tahu aku tampan," ucap lelaki itu dengan nada datar, melepaskan earphone bluetooth dari telinganya sambil memasukkan ke dalam kantong jaketnya. Tatapannya yang acuh tak acuh membuat Vincent mendecak malas.

"Pede sekali," balas Vincent, merangkul pundak adiknya yang bertambah tinggi dan menyeretnya keluar dari bandara. "Tapi aku lebih tampan," tambahnya sambil tersenyum sinis.

Lelaki itu hanya mendengus kecil, sebelum berujar pelan namun cukup keras untuk didengar Vincent. "Tapi kakak ipar lebih suka padaku..."

Mata Vincent membulat dengan cepat, lalu ia memukul bahu sang adik dengan kesal. "Sialan!" umpatnya, sementara lelaki itu hanya terkekeh puas, senang melihat Vincent kesal.

***

Setibanya di rumah, tepatnya di rumah Vincent dan Jessi yang berada di kawasan elite Los Angeles, wajah Vincent tampak semakin kusut. Bagaimana tidak, sesaat setelah mereka masuk, Jessi langsung menyambut adik iparnya dengan semangat yang berlebih. Wanita cantik itu melompat kecil dan langsung memeluk adik iparnya dengan hangat, sementara Vincent hanya bisa berdiri di sana, merasa diabaikan.

"Suamimu aku atau dia sih?" tanya Vincent dengan nada kesal, melihat bagaimana Jessi tampak begitu perhatian pada adik iparnya.

Jessi hanya tertawa kecil, lalu melepas pelukannya. "Naiklah ke lantai dua," ujarnya kepada adik iparnya, sambil menunjuk ke arah tangga. "Ada pintu berwarna putih di ujung sebelah kanan, itu kamarmu. Mandi dulu, lalu turun untuk makan malam."

Adik iparnya mengangguk patuh, tapi tidak sebelum menjawab dengan nada menggoda. "Baik, nona. Kau bisa mengurus bayi besar mu yang sedang merajuk dulu," balasnya dengan senyum miring, membuat Vincent melotot marah.

"Sialan," gumam Vincent lagi, sementara Jessi hanya menggeleng dan terkekeh pelan, menikmati tingkah dua lelaki dalam hidupnya yang selalu berseteru dengan cara yang lucu.

"Dia adikmu, sayang," ucap Jessi sambil mencubit pipi Vincent dengan gemas, membuat sang suami menggerutu tidak puas.

"Dia memang adikku, tapi terkadang aku merasa seperti dia lebih mirip adikmu," balas Vincent sambil mendesah, namun senyum tipis akhirnya terlukis di wajahnya, sadar bahwa meskipun ia selalu kesal dengan adiknya, di dalam hatinya, ia peduli pada lelaki itu.

***

Evan mendongak dari posisi berbaringnya, kepalanya bersandar nyaman di atas paha seorang wanita cantik. Mata pemuda itu berbinar penuh rasa ingin tahu, menatap lembut sosok di atasnya.

"Nona..." panggil Evan dengan suara pelan.

"Hm?" Mauren Dyson, wanita berwajah cantik dengan senyum anggun, merespons. Jemarinya yang lentik masih sibuk menyisir rambut Evan, menciptakan suasana yang begitu nyaman. Wanita itu adalah istri dari Derick Dyson, kakak ipar kesayangan Evan, dan saat ini mereka sedang berada di kamar Mauren dan Derick, menikmati momen kebersamaan yang penuh keakraban.

Mauren menatap adik iparnya dengan perhatian. "Ada apa?" tanyanya lembut, suaranya serupa dengan angin sepoi yang menenangkan.

Evan terdiam sesaat, seolah mencari kata-kata yang tepat. Kemudian dengan suara lirih, dia bertanya, "Kok Nona bisa jatuh cinta sama Kak Derick sih? Kakak itu kan galak..." Nadanya terdengar sedikit takut di bagian akhir kalimatnya, yang membuat Mauren tak mampu menahan tawa.

FATETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang