BAB 22

242 34 0
                                    

"Nona, apa jantungmu berdebar kencang saat kakak menatap matamu?" tanya Evan tiba-tiba, membuat Mauren yang sedang asik membaca buku terdiam sejenak. Pertanyaan mendadak itu menggantung di udara, menuntut perhatian. Keduanya saat ini berada di ruang baca yang tenang, dipenuhi aroma buku dan sinar matahari yang lembut, menembus melalui jendela besar yang menghadap taman rumah mereka.

Mauren perlahan menutup bukunya, meresapi setiap kata yang baru saja keluar dari bibir Evan. Ia menatap punggung Evan, yang berdiri membelakangi dirinya, menatap keluar jendela seakan mencari jawaban dari hamparan langit yang biru. Sambil tersenyum tipis, Mauren akhirnya menjawab dengan suara lembut namun penuh makna, "Tentu saja, Ev. Saat seseorang yang kita cintai menatap dalam mata kita, hati ini akan merespon... dengan debaran yang menggila, tak bisa dihindari."

Evan tampak diam, tidak bergeming dari posisinya. Sementara itu, Mauren meletakkan bukunya di meja kecil di samping sofa, lalu bangkit perlahan. Ia melangkah mendekati Evan dengan tenang, seolah tak ingin merusak ketenangan momen tersebut. Tangannya terulur lembut, menyentuh surai abu-abu Evan yang tampak begitu menawan dalam pancaran sinar matahari. "Kau sedang jatuh cinta, ya?" tanyanya dengan nada menggoda, seolah-olah rahasia besar baru saja terkuak.

Evan terperangah. Ia segera menoleh, menatap Mauren dengan raut wajah terkejut, seolah tak percaya bahwa perasaannya telah terbaca begitu mudah. "A-aku... aku tidak..." ujarnya tergagap, kata-katanya berhamburan dengan panik, membuat Mauren tak bisa menahan diri untuk tidak terkekeh geli.

"Tidak salah lagi," ujar Mauren sambil tertawa semakin keras, melihat wajah Evan yang memerah layaknya mawar yang sedang mekar. "Pesona Jake memang tak bisa diabaikan, ya?" lanjutnya, makin mempermalukan Evan yang sudah salah tingkah.

"A-apa yang nona katakan... aku tidak mengatakan apapun soal Jake," bantah Evan dengan nada terburu-buru, berusaha keras membela diri. Namun, dari caranya berbicara, semakin jelas bahwa ada sesuatu yang disembunyikan.

Mauren hanya tersenyum tenang. Ia menatap Evan dengan tatapan lembut penuh pengertian. "Kau tidak perlu mengatakan apapun, Ev. Matamu yang bicara," jawab Mauren dengan tenang, suaranya terdengar yakin dan penuh kepastian. "Tidak ada yang salah dengan itu," lanjutnya lagi, kali ini suaranya lebih lembut, seolah ingin menenangkan kegelisahan yang tengah melanda hati Evan.

Evan terdiam, matanya menerawang sejenak, seolah sedang bergulat dengan perasaan yang telah lama ia coba simpan rapat-rapat. "Tapi aku berbeda... Nona tahu itu..." ujarnya dengan suara nyaris seperti bisikan, ada kesedihan dan keputusasaan yang terselip di sana. Bahu Evan sedikit menunduk, seolah beban yang ia rasakan terlalu berat untuk ditanggung sendirian.

Mauren melihat kesedihan itu. Ia tidak bisa membiarkan Evan merasa sendirian dalam kebimbangannya. Dengan lembut, ia menyentuh pipi Evan, menangkup wajahnya dengan kedua tangan yang hangat. "Evan, jika dia mencintaimu, dia akan menerima dirimu apa adanya," bisiknya lembut, suaranya penuh dengan kehangatan yang tulus. "Kau berhak untuk bahagia, sayang. Jangan pernah ragukan itu," lanjutnya lagi, matanya menatap langsung ke dalam mata Evan, mencoba menyalurkan keberanian dan cinta melalui setiap kata.

Evan menghela napas pelan. Ada banyak perasaan yang berkecamuk di dalam dirinya-ketakutan, harapan, dan keraguan bercampur menjadi satu. Namun, di tengah segala kekacauan itu, kata-kata Mauren terasa seperti pelukan hangat yang perlahan menenangkan jiwanya.

***

Jerry menjatuhkan rahangnya kaget, matanya yang bulat dan khas seperti mata kucing melebar tak percaya. Pupil-pupilnya membesar, menyiratkan keterkejutan mendalam saat pandangannya tertuju pada pria yang kini berdiri di samping sahabatnya. Dia seolah tak bisa berkata-kata, terpaku pada sosok tampan yang berdiri di hadapannya.

FATETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang