BAB 23

244 43 4
                                    

"Aku akan pergi membeli minuman ringan untuk Jake. Persediaan camilan kita sudah habis," Jerry menambahkan sambil mengambil jaketnya yang tergeletak di atas sofa.

"Belikan aku dua kotak susu pisang," ujar Evan, mencoba meredakan kegelisahannya sambil memberi Jerry tugas tambahan.

Jerry hanya mengangguk pelan, sudah terbiasa dengan permintaan Evan yang satu itu. Saat dia hendak beranjak pergi, sebuah suara terdengar dari arah lain, menghentikan langkahnya.

"Itu lukisan apa?" tanya Jake tiba-tiba, matanya tertuju pada sebuah bingkai besar di pojok ruangan, tertutup kain putih yang tampak mencolok di antara lukisan-lukisan lain. Ada rasa penasaran di dalam suaranya yang membuat Evan langsung merasakan darahnya mengalir lebih cepat.

Panik mulai merambat dalam diri Evan, membuat detak jantungnya semakin kencang. Jerry, sebaliknya, hanya menahan tawa. Sahabatnya itu, seperti biasa, mengambil kesempatan untuk menikmati kekacauan yang akan segera terjadi.

"Jangan dilihat, Jake. Kau akan kaget," kata Jerry sambil tertawa, melirik sekilas ke arah Evan yang wajahnya sudah memerah. Tanpa menunggu balasan, Jerry dengan cepat berlari keluar gedung, meninggalkan Evan sendirian menghadapi situasi yang tidak diinginkan.

"Brengsek," umpat Evan dengan suara rendah, matanya tak lepas menatap pintu yang baru saja ditutup Jerry. Ia sudah bisa merasakan tubuhnya mulai dipenuhi kecemasan.

Sementara itu, Jake mulai berjalan perlahan mendekati lukisan misterius itu, dan setiap langkahnya membuat Evan semakin panik. Tanpa pikir panjang, Evan berlari lebih cepat, berusaha mendahului Jake sebelum pria itu mencapai lukisan yang ditutupi kain putih.

Tiba-tiba, Jake terkejut ketika Evan mendadak berdiri di depannya, menghalangi jalannya dengan ekspresi yang tak bisa disembunyikan lagi. Kegugupan Evan semakin terlihat jelas, dan Jake yang biasanya tenang mulai menangkap ketidaknyamanan yang dirasakan Evan.

Jake tersenyum tipis. "Kenapa kau tiba-tiba panik begini? Aku cuma ingin lihat apa yang ada di balik kain itu."

Evan menggeleng dengan cepat. "Tidak ada yang menarik di sana, sungguh. Kita lihat yang lain saja, yang ini jauh lebih bagus," ujarnya tergesa-gesa, menunjuk ke sudut lain ruangan, meskipun jelas dari caranya berbicara bahwa dia sedang berusaha menutupi sesuatu.

Namun, Jake sudah tidak tertarik pada apa pun selain kain putih yang menutupi lukisan besar itu. Rasa penasarannya semakin bertambah melihat bagaimana Evan mencoba mati-matian mengalihkan perhatiannya. "Aku tetap ingin lihat yang ini dulu," tegas Jake sambil mencoba melangkah maju.

"Jangan!" Evan berteriak, suaranya terdengar lebih tinggi dari yang dia maksudkan. Dengan cepat, dia kembali berdiri di depan lukisan itu, mencegah Jake menyentuh kain penutup. Dalam kebingungan dan kegugupannya, Evan kehilangan keseimbangan, dan sebelum dia sempat menyadari apa yang terjadi, tubuhnya jatuh ke belakang, menabrak bingkai lukisan besar itu. Kain putih yang menutupi lukisan meluruh jatuh ke lantai, mengungkapkan isi yang selama ini Evan coba sembunyikan.

Jake terdiam, tatapannya terpaku pada lukisan besar di hadapannya. Dalam diamnya, dia mencerna pemandangan itu-sebuah lukisan yang begitu indah, jelas menggambarkan dirinya. Detail wajahnya yang terpahat sempurna dalam goresan kuas Evan membuatnya merasa terkesan sekaligus tersentuh.

"Jadi... kau melukis diriku?" tanya Jake dengan nada menggoda, seolah berusaha memecahkan keheningan yang tiba-tiba memenuhi ruangan. Tatapannya beralih ke arah Evan, yang wajahnya sudah memerah setengah mati, tampak malu dan gugup.

Evan tidak menjawab. Dia terlalu sibuk berusaha menenangkan detak jantungnya yang semakin tak terkendali. Rasa malu yang menjalar di seluruh tubuhnya membuatnya ingin melarikan diri secepat mungkin. Tanpa banyak berpikir, dia melangkah cepat hendak meninggalkan ruangan.

FATETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang