BAB 8

489 59 3
                                    

Peringatan 🔞: Bab ini mengandung konten dewasa yang tidak sesuai untuk pembaca di bawah umur. Bagi yang belum cukup umur, disarankan untuk segera meninggalkan bab ini dan melanjutkan ke bagian lain yang lebih sesuai. Mohon kebijaksanaannya dalam membaca.

______________________________________

Jake masuk ke dalam rumah dengan langkah gontai, pintu dibantingnya tanpa peduli siapa yang mungkin mendengar. Aroma alkohol tajam tercium dari setiap helaan napasnya. Wajahnya yang biasanya tegas kini terlihat kosong, seakan jiwanya tertinggal di klub tempat ia baru saja meneguk berpuluh-puluh gelas minuman keras. Hatinya remuk, kepalanya penuh dengan bayangan Somi yang memutuskan hubungan mereka. Rasa kehilangan itu membuatnya limbung, memunculkan kemarahan yang tak dapat ia salurkan.

Heeseung, yang sedang duduk di ruang tamu, terkejut melihat keadaan suaminya. Matanya berkaca-kaca melihat Jake yang terlihat begitu rapuh, meskipun bibirnya terkatup rapat. Tanpa sepatah kata pun, Heeseung bangkit, berniat membantu Jake yang hampir jatuh karena langkahnya yang tidak stabil.

Namun, sebelum Heeseung sempat menyentuhnya, Jake menarik tubuhnya kasar, menyudutkannya ke dinding. Nafas Jake berat, penuh kemarahan yang bercampur dengan kesedihan mendalam. "Ini salahmu!" gumamnya dengan suara parau. "Karena kau... semuanya hancur."

Heeseung hanya diam, menerima setiap kata kasar yang keluar dari mulut Jake. Dia tahu Jake tidak dalam keadaan sadar sepenuhnya, namun kata-kata itu tetap menyakitkan. Air mata mulai mengalir di pipinya saat Jake memeluknya erat, ciuman kasar jatuh di bibirnya. Heeseung tidak melawan, bahkan ketika Jake menariknya menuju kamar mereka. Setiap langkah yang diambil Jake, Heeseung ikuti tanpa kata.

Di dalam kamar, Jake melemparkan Heeseung ke ranjang, menyusulnya dengan gerakan yang tidak teratur. Suasana di kamar itu gelap, hanya diterangi oleh lampu tidur yang temaram. Jake menatap Heeseung dengan mata yang setengah tertutup, dikuasai oleh alkohol dan emosi yang meledak-ledak. Tanpa banyak bicara, dia mulai menanggalkan pakaian mereka berdua, mengabaikan air mata yang masih mengalir di pipi Heeseung.

"Jake..." Heeseung berujar lirih dengan tubuh bergetar, berusaha menahan pergerakan tangan Jake yang berusaha menanggalkan pakaiannya. Mata bambinya yang basah menatap Jake dengan ketakutan yang jelas, kepalanya menggeleng pelan seakan berkata jangan. Namun, Jake tampak tidak peduli dan terus menanggalkan pakaian keduanya hingga tidak tersisa sehelai benang pun.

Mata sayu Jake memandang setiap inci tubuh Heeseung yang telanjang, rahangnya mengeras menahan kesal saat Heeseung tampak berusaha menutupi tubuhnya, kakinya yang semula terbuka lebar kini berusaha ditutup rapat-rapat, mencoba menyembunyikan sesuatu yang sejak tadi menyulut hasrat Jake.

Heeseung hanya bisa pasrah, meski setiap sentuhan Jake terasa menyakitkan, baik fisik maupun hati. Dalam kondisi mabuk, Jake melampiaskan semua perasaannya yang bergejolak, mengabaikan keberadaan Heeseung sebagai individu yang juga memiliki perasaan. Heeseung sadar sepenuhnya, merasakan setiap inci tubuh Jake yang menyatu dengan tubuhnya, tetapi hatinya terluka dalam oleh kata-kata yang keluar dari mulut suaminya.

"Kau... kau yang menghancurkan semuanya, aku kehilangan Somi karena dirimu," gumam Jake lagi, suara seraknya terdengar lebih seperti ratapan. "Aku tidak pernah ingin ini. Hidupku... sudah hancur karena kau."

Kata-kata itu bagaikan pisau yang menusuk hati Heeseung, namun dia tetap bertahan, berharap Jake akan sadar suatu saat nanti. Malam itu berlalu dengan lambat, penuh dengan rasa sakit yang tak tertahankan bagi Heeseung.

Jake maju, tubuh telanjangnya menyentuh tubuh Heeseung, wajahnya menyusup di perpotongan leher Heeseung. Heeseung mendongak, menggigit keras bibir bawahnya saat merasakan kecupan dan jilatan lembut dari bibir dan lidah Jake. Setiap sentuhan itu menambah rasa tidak nyaman yang sudah mendera.

FATETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang