BAB 16

347 43 6
                                    

Evan terhuyung-huyung, menumpukan berat badannya pada kedua lututnya dengan kedua tangan, mencoba mengatur napas yang tersengal-sengal karena berlari. Keringat menetes dari pelipisnya, membasahi leher dan kerah jaketnya.

"Anda sudah kembali, Tuan? Apa ada masalah?" Seorang pelayan segera menghampirinya, tampak bingung dan khawatir melihat kondisi tuan muda mereka. "Anda ingin saya ambilkan minum?" tawarnya, bahkan sebelum Evan sempat menjawab pertanyaan yang pertama.

Evan menggelengkan kepala, masih berusaha menetralkan napasnya. Dengan cepat, dia menyapukan pandangannya ke seluruh sudut rumah. "Dimana kakak? Dia sudah kembali, kan?" tanyanya, lebih terdengar seperti pernyataan yang memerlukan konfirmasi.

Pelayan itu mengangguk, membenarkan ucapan tuan muda mereka sebelum menjawab, "Tuan muda Derick sudah kembali dari Jerman pukul delapan pagi tadi. Tapi, tuan muda pergi lagi sekitar tiga puluh menit yang lalu."

Kening Evan berkerut, kebingungan jelas tergambar di wajahnya. "Kemana dia pergi?" tanyanya lagi, berharap mendapatkan jawaban yang lebih jelas.

Namun, sebelum pelayan itu sempat menjawab, sebuah suara lembut namun tegas menginterupsi dari belakang. "Kamu pulang lebih awal, sayang? Tumben," suara itu milik Hana, ibu mereka. Wanita itu terkekeh kecil melihat putra bungsunya yang terengah-engah.

"Dimana kakak, Mom?" Evan balik bertanya, mengabaikan pertanyaan sang ibu.

"Arena," jawab Hana singkat, namun cukup untuk membuat Evan terkejut. Kebingungan semakin mendominasi raut wajahnya.

"Dia ingin menemui teman-temannya, katanya rindu," lanjut Hana dengan nada jahil. Dia kemudian mencubit pipi gembil putra bungsunya, membuat Evan mengeluh kecil.

Evan memandang ibunya dengan ekspresi memelas, seolah meminta pertolongan. "Aku pasti dalam masalah, kan, Mom..." ujarnya dengan nada lesu. Dia kemudian berbalik, berjalan cepat keluar rumah, bertekad untuk membujuk kakaknya yang mungkin sedang merajuk. Hana hanya terkekeh gemas, menyemangati putranya dari belakang.

"Semoga berhasil, sayang!" serunya, melihat punggung Evan yang semakin menjauh.


***


"Apa?" Derick menatap datar Evan yang memelas di depannya. Pria tampan itu baru saja memenangkan balapan satu lawan satu dengan Kenzo, sahabatnya.

"Kakak... maaf," cicit Evan pelan, suaranya terdengar sangat menyesal. Dia menarik ujung jaket kulit yang dikenakan Derick, seperti anak kecil yang memohon pada ibunya untuk membelikannya sesuatu. Derick, yang berdiri dengan tenang dalam pakaian arena-nya-kaos hitam tanpa lengan dan jaket kulit senada-terlihat lebih gagah dari biasanya. Pakaian kasual ini memamerkan tubuh berototnya, membuatnya terlihat lebih menarik dibanding saat mengenakan kemeja dan jas yang selalu membuatnya tampak serius dan tak terjangkau.

Di sisi lain, Kenzo tertawa geli melihat raut wajah memelas Evan. "Sudahlah, Derick. Anak itu akan menangis sebentar lagi, hahaha," ujar Kenzo sambil menggoda, matanya memancarkan kegembiraan melihat penderitaan Evan.

Evan mendengus dalam hati, merasa sedikit kesal dengan Kenzo yang selalu suka menggoda, tidak jauh berbeda dengan adiknya Jerry. "Huh, untung tampan," gumamnya dalam hati sambil melirik Kenzo yang masih tertawa.

Derick menghela napas panjang, merasa kasihan pada adiknya yang telah satu jam mencoba membujuknya tanpa henti. "Hm..." gumamnya pelan, membuat Evan mengerutkan dahi tak mengerti. Mata besar Evan menyipit lucu, menatap sang kakak dengan tatapan bingung.

"Hm apa?" tanya Evan dengan nada jengkel yang disembunyikan, matanya tetap tertuju pada wajah kakaknya yang tampak datar.

"Hm, ku maafkan..." ujar Derick akhirnya, suaranya tenang namun tegas.

FATETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang