BAB 14

388 47 5
                                    

Jake Shim duduk sendirian di taman rumah sakit, di bawah bayangan pohon yang tampak seolah menutupi hatinya yang sedang dirundung gelap. Kemeja kerjanya kusut, rambutnya berantakan, dan matanya sembab-seolah-olah ia telah kehilangan segalanya. Pandangannya hampa, menatap kosong ke depan tanpa benar-benar melihat apapun. Beberapa jam yang lalu, dunia Jake terbalik sepenuhnya saat dokter dengan nada penuh penyesalan memberitahunya bahwa mereka telah kehilangan anak yang sedang dikandung Heeseung.

Bahkan saat Jay mendekat, Jake tidak menunjukkan reaksi. Hanya keheningan yang menyelimuti keduanya, menyisakan ruang bagi kesedihan untuk berbicara lebih lantang dari kata-kata yang dapat diucapkan. Jay duduk di samping Jake, merasakan beban kesedihan yang berat dari sahabatnya.

"Polisi sudah menangkapnya," Jay akhirnya berbicara, mencoba memecahkan keheningan yang hampir tak tertahankan. Namun, kalimat itu terasa hampa, seolah tidak memiliki kekuatan untuk mengurangi sedikit pun rasa sakit yang dirasakan Jake.

Jay melirik ke arah Jake, yang tetap tak bergerak, matanya kosong, seolah-olah kata-kata Jay tidak mencapai hatinya yang telah hancur. Jay dan Sunghoon telah mengenal Jake selama bertahun-tahun, namun ini adalah pertama kalinya mereka melihat lelaki yang biasanya tegar itu begitu runtuh, begitu patah. Jake yang selalu penuh semangat dan keyakinan kini tampak seperti bayangan dirinya yang dikepung oleh rasa bersalah dan kesedihan yang mendalam.

Beberapa jam sebelumnya, Jay dan Sunghoon menyaksikan Jake jatuh di lantai rumah sakit, tubuhnya terguncang oleh tangisan tak terbendung di depan pintu ruang operasi. Jeritan Jake yang penuh dengan kesakitan memecah kesunyian rumah sakit, dan suara itu terus bergema di telinga Jay, bahkan sekarang. Jay tahu bahwa tidak ada kata-kata yang bisa menyembuhkan luka di hati Jake saat ini, tetapi dia juga tahu bahwa Jake harus bangkit-bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk Heeseung.

"Gue tau hati lo hancur, Jake," Jay berbicara dengan suara lembut namun tegas, menepuk punggung sahabatnya yang kini tampak rapuh, "Tapi Heeseung pasti sama hancurnya sekarang. Enggak apa-apa nangis, tapi Lo juga harus bangkit, Lo harus kuat, Heeseung butuh lo Jake."

Jake perlahan menoleh, pandangannya mulai fokus pada Jay. Meskipun air mata masih menggenang di matanya, Jake tahu bahwa Jay benar. Heeseung membutuhkan dia, dan dia tidak bisa membiarkan dirinya tenggelam dalam kesedihan tanpa melakukan apapun. Namun, untuk bangkit dari kesedihan ini, Jake merasa seperti dia harus mengumpulkan setiap serpihan hatinya yang hancur, yang tampak mustahil saat ini.


***


Sebulan telah berlalu sejak kejadian itu, kehidupan Jake dan Heeseung terasa seperti berada dalam kehampaan yang tak berujung. Setiap sudut rumah mereka yang dulu penuh dengan harapan kini terasa dingin dan sunyi, seolah-olah mencerminkan kekosongan di hati mereka. Jake melakukan yang terbaik untuk tetap tegar, meski setiap hari rasanya seperti sebuah perjuangan untuk tidak runtuh. Namun, setiap kali dia melihat Heeseung, yang kini tampak begitu rapuh dan kosong, Jake menemukan kekuatan untuk terus berusaha.

Heeseung jarang tersenyum akhir-akhir ini, dan hal itu menyayat hati Jake lebih dari apapun. Senyuman Heeseung, yang dulu selalu membuat hari-harinya cerah, kini menghilang, tergantikan oleh pandangan kosong yang tampak hilang dalam kesedihan yang mendalam. Jake tidak tahan melihat Heeseung seperti itu, dan dia tahu bahwa satu-satunya cara untuk mengembalikan senyum di wajah Heeseung adalah dengan bangkit dan menata hidup mereka kembali.

Untuk mencoba membawa kembali kebahagiaan dalam hidup mereka, Jake memutuskan untuk membawa Heeseung pergi ke Hungaria. Dia berharap perjalanan ini akan membantu Heeseung merasakan kembali keindahan hidup. Hungaria, sebuah negara di Eropa Tengah yang berbatasan dengan Austria, Slovakia, Ukraina, Rumania, Serbia, Kroasia, dan Slovenia, dipilih sebagai tujuan mereka. Ibu kota dan kota terbesar Hungaria, Budapest, terkenal sebagai salah satu kota terindah di dunia dengan banyak bangunan bersejarah dan pemandangan menakjubkan.

Saat mereka tiba di Budapest, mereka menginap di sebuah hotel mewah dengan pemandangan indah dari jendela kamar mereka. Hari ini adalah hari kedua mereka di Hungaria. Hari pertama mereka habiskan untuk beristirahat setelah penerbangan panjang. Hari ini, Jake berencana untuk menjelajahi beberapa tempat menarik di kota.

"Kamu suka?" Tanya Jake seraya memeluk Heeseung dari belakang saat mereka berdiri di jendela hotel, memandang pemandangan kota yang menakjubkan di bawah mereka.

Heeseung memandang ke luar jendela dengan mata berbinar, untuk pertama kalinya dalam waktu lama, sebuah senyuman tipis menghiasi bibirnya. "Ya," jawab Heeseung lembut, "Ini sangat indah."

Hati Jake terasa hangat melihat senyuman Heeseung. Mereka memutuskan untuk melihat keindahan Sungai Danube, yang membagi Budapest menjadi dua bagian utama, Buda dan Pest. Mereka mengikuti perjalanan dengan kapal pesiar di sungai tersebut, di mana mereka bisa menikmati arsitektur megah, kastil kuno, serta kuliner khas setiap negara yang mereka singgahi.

Namun, kebahagiaan mereka tidak bertahan lama. Saat mereka berada di kapal pesiar, Heeseung secara tidak sengaja terjatuh ke dalam sungai. Situasi segera menjadi tegang. Jake berteriak keras memanggil nama Heeseung, tubuhnya berusaha melompat ke dalam air, tetapi beberapa orang yang menjadi penanggung jawab tour mereka menariknya kembali dengan keras, menyatakan bahwa itu terlalu berbahaya.

Suasana menjadi kacau. Setelah menunggu beberapa menit yang terasa seperti berjam-jam, kapal-kapal tim penyelamat mulai datang untuk mencari Heeseung di seluruh sungai. Tim penyelamat dari VMSZ mulai menyebar di sekeliling sungai, tim penyelam turun ke dasar danau, dan helikopter juga dikerahkan untuk mencari melalui udara. Jake merasa tenggelam dalam lubang hitam rasa sakit dan kecemasan mendalam. Dalam hati, dia bertanya-tanya mengapa Tuhan memberinya cobaan yang begitu berat.

Sudah lebih dari satu minggu sejak kejadian tersebut, dan Heeseung masih belum ditemukan. Jake jatuh tak sadarkan diri untuk kedua kalinya dalam satu minggu, menolak makan atau bahkan meminum air. Dia nyaris gila, dan dalam keadaan putus asa, dia menarik kasar kerah seragam seorang pria berdarah Eropa di depannya, saat pria itu mengatakan bahwa pencarian terpaksa di hentikan, dan kecil kemungkinan untuk Heeseung bisa selamat, Jake meneriakkan kemarahannya.

"Shut up! My Heeseung is still alive! He's still alive..." Jake berteriak, matanya yang sayu memerah menunjukkan kehancuran yang mendalam. Suaranya melemah di akhir kalimat. Air mata mulai mengalir membasahi wajahnya yang semakin pucat.

"Jake..." Maretta, ibunya, berusaha memanggil dengan suara gemetar, meneteskan air mata yang sudah lama ia tahan. Mata basahnya menatap suaminya, yang kini berdiri diam di sampingnya, menyaksikan kehancuran putranya.

"Jake sudah." Sunghoon dan Jay mencoba menarik mundur sahabat mereka. Jay, yang biasanya tidak menunjukkan emosinya, kini menitihkan air mata dalam diam sambil menarik tubuh Jake.

Jake mengamuk, memberontak kuat saat Sunghoon dan Jay memegangi kedua lengannya. "Lepas! Lepasin gue! Heeseung masih hidup!"

"Jake, hentikan. Kita akan kembali ke Korea besok," Maretta berujar dengan bisikan lirih, matanya memerah, hatinya hancur berkeping-keping, merasa gagal memenuhi janjinya pada sang sahabat. Kehilangan Heeseung dan melihat kehancuran putranya Jake, terasa begitu menyakitkan.

Jake tersentak, tidak percaya dengan apa yang dikatakan ibunya. "A-apa yang kau katakan? Aku tidak akan pergi tanpa Heeseung. B-bagaimana jika dia kembali saat kita pergi?
Aku..."

Jake tidak bisa melanjutkan kalimatnya, hatinya hancur. Dia menangis keras dalam pelukan Sunghoon dan Jay, yang diam-diam ikut menangis di balik punggung bergetar Jake.




TBC...

FATETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang