12. Perlahan Memulai

294 31 11
                                    

Selamat malam, An. Sebutan untuk para pembaca karya dari saya hehe. Lama, ya, UP nya.

Langsung baca aja, yaaa.

.

.

.

"Mama selalu saja pergi! Mama selalu saja tinggalin Via sendiri. Dulu Mama adalah seseorang yang sangat Via kagumi, menjadi contoh Via karena kehebatannya, karena hangatnya sosok ibu. Tapi sekarang apa? Mama berubah cuma karena laki-laki itu!"

"VIA! Dia Papa kamu!" Via berdecih mendengarnya. Dia menatap mamanya dengan tatapan yang campur aduk. "Papa Via cuma Papa Dirga. Gak ada yang lain."

"Jaga biacara kamu Via! Mama tidak pernah ajarin kamu kurang ajar seperti itu." Balas Bella dengan suara kerasnya. Rumah itu sepi, tetapi berisik dengan ego, emosi dan kecewa.

"Memang ngga pernah. Tapi semenjak peran Mama hilang, Via jadi gini."

"Via ga minta banyak dari Mama. Via cuma butuh Mama yang dulu. Punya banyak waktu dan perhatian untuk Via. Via izinkan Mama menikah karena Via kasihan sama Mama yang selalu sedih sendiri. Tapi apa? Mama malah dapat laki-laki yang gila kerja tanpa mentingin anaknya sama sekali. Bahkan membawa Mama ke jalan yang buruk!"

Setelah diam dan jengah melihat pertengkaran istri dan anak tririnya itu, akhirnya Ghani bersuara. "Jaga bicara kamu! Kamu hanya anak tiri!"

Via tertawa pedih mendengarnya, "Lihat! Bahkan Mama pun ga bela Via lagi sama sekali! Mama biarin anak Mama dikasari? Papa Dirga aja ga pernah bentak Via. Via yakin Mama udah dipengaruhi laki-laki itu."

Plakk!

Tamparan keras mengenai pipi mulus Via. Perempuan itu tertawa pedih memegang pipinya yang perih, bukan, lebih tepatnya hatinya yang perih.

Via menatap Mamanya dengan berkaca-kaca, ia tidak menyangka semua ini akan terjadi dalam hidupnya. "See? Pertama kalinya Mama nampar Via hanya karena dia? Lucu! Gak nyangka sikap Mama berubah 100% hanya dalam hitungan bulan. 16 tahun yang sia-sia." Via menahan tangisnya pilu melihat hancurnya keluarganya.

"VIA!" Bentak Bella emosi.

"Kenapa? Mama mau marahin Via lagi? Mama mau bela suami Mama lagi? Lakuin aja ma, lakuin! Via cape!" Kata Via lalu pergi dari sana. Sungguh dia tidak sanggup menerima semuanya.

"Via! Mau kemana kamu? Ini udah malam jangan keluyuran."

"Apa Mama peduli sama keadaan Via?" Via berucap tanpa membalikkan badannya, gadis itu menghiraukan segala macam yang diucapkan oleh Mamanya.

"Via!"

Via keluar dari sebuah bangunan yang ia sebut sebagai rumah itu. Rumah untuknya berteduh, tempatnya untuk pulang, tapi sekarang rumah itu tidak lagi baik. Semua perannya seakan hilang sejak beberapa bulan yang lalu, sejak Mamanya menikah lagi.

"Papa, mereka jahat." Lirihnya pelan. Air mata gadis itu meluruh seiring langkahnya yang terus menjauh dari rumah. Kemanapun dia akan pergi asal tidak bertemu dengan dua manusia yang telah menghancurkan perasaannya. Rasanya sangat menyakitkan.

Tumbuh dengan kasih sayang yang luar biasa membuatnya jadi perempuan yang sensitif dengan hal-hal yang keras. Ia merasa orang-orang sudah tidak menyayanginya jika kata kasar dan bentakan keluar untuknya.

Perempuan itu singgah disebuah warung. Dia menelpon Rahel untuk menjemputnya. Rencananya ia akan menginap di rumah Rahel. Namun perempuan itu tak kunjung menjawab telponnya. Rintik hujan kembali turun, akhir-akhir ini dibulan Januari hujan selalu menampakkan dirinya, mungkin sedang banyak sedih dibulan ini, termasuk yang dirasakan oleh perempuan pemilik lesung dipipi kirinya itu.

ALAN ARDIANSYAH ; Semesta di 2018Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang