Jennie tidak bisa lagi menahan perasaan yang berkecamuk dalam dirinya. Di kamarnya yang sunyi, dia menggenggam ponselnya erat-erat, mencoba menenangkan hati yang bergejolak.
Namun, setiap kali dia mengingat foto-foto Lisa bersama Frédéric di Hawaii, hatinya semakin terasa sakit. Dia tahu bahwa dia harus melakukan sesuatu—dia harus bertemu Lisa dan berbicara langsung dengannya.
Dengan tekad yang kuat, Jennie membuka daftar kontak di ponselnya dan menekan nomor Alisson, asistennya yang selalu siap membantu.
Telepon tersambung setelah beberapa dering. "Halo, Jennie," sapa Alisson dengan suara ramah.
"Alisson, pesankan tiket pesawat ke Paris besok," ujar Jennie langsung, suaranya tegas meskipun dia berusaha menutupi emosinya.
Di ujung telepon, Alisson terdiam sejenak, mencoba mencerna permintaan Jennie yang tiba-tiba.
"Paris? Tapi, Jennie, aku tidak melihat ada jadwalmu ke Paris dalam waktu dekat. Apa ada sesuatu yang mendesak?"
Jennie menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sebelum menjawab. "Aku harus menemui Lisa, Alisson. Ini sangat penting."
Nada serius dalam suara Jennie membuat Alisson tidak berani bertanya lebih jauh. Dia tahu betapa pentingnya Lisa bagi Jennie, dan jika Jennie merasa perlu terbang ke Paris secepat ini, pasti ada alasan kuat di baliknya.
"Tentu, Jennie. Aku akan segera mengatur tiket pesawat untukmu," jawab Alisson tanpa ragu.
"Terima kasih, Alisson. Tolong pastikan aku mendapat penerbangan paling awal," kata Jennie dengan nada yang lebih tenang, meskipun hatinya masih gelisah.
"Saya akan mengurusnya. Apakah ada yang perlu disiapkan lagi?" tanya Alisson, memastikan semua kebutuhan Jennie terpenuhi.
"Tidak, itu saja. Terima kasih," ujar Jennie sebelum menutup telepon. Setelah percakapan itu, dia merasa sedikit lega, tetapi tetap ada rasa cemas yang menghantui.
Jennie tahu bahwa pertemuannya dengan Lisa di Paris bisa menjadi titik balik dalam hubungan mereka, dan dia harus siap menghadapi apapun yang akan terjadi.
Jennie berbaring di tempat tidurnya, menatap langit-langit kamar sambil berpikir tentang apa yang akan dia katakan pada Lisa.
Dalam hatinya, dia berdoa agar Lisa mau mendengarkannya dan mereka bisa menemukan jalan keluar dari masalah yang telah mengganggu hubungan mereka.
|||
Jennie masih berbaring di tempat tidurnya, matanya menatap kosong ke langit-langit, mencoba menenangkan pikirannya yang kacau.
Namun, saat mendengar suara pintu kamarnya terbuka perlahan, dia segera duduk.
"Jennie?" Suara lembut dan penuh perhatian itu milik ibunya.
Mommy kim melangkah masuk, wajahnya memancarkan kekhawatiran yang mendalam.
"Kau baik-baik saja, sayang? Eomma merasa kau sedang tidak tenang."
Jennie tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan perasaannya. "Aku baik-baik saja, Eomma. Jangan khawatir."
Namun, ibunya bisa melihat melalui senyuman putrinya. Dia mendekat dan duduk di samping Jennie, meraih tangan putrinya dengan lembut.
"Jennie, kau tidak perlu menyembunyikan apapun dari Eomma. Kau tidak harus menahan ini sendiri. Apa yang mengganggu hatimu?"
Pada awalnya, Jennie ragu. Dia tidak ingin membebani ibunya dengan masalah ini, tetapi kata-kata penuh kasih sayang dari ibunya perlahan membuka pertahanannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
THEY DON'T KNOW ABOUT US | JENLISA
FanfictionSetelah hiatus panjang dari grup mereka, BLACKPINK, Jennie dan Lisa menghadapi dunia dengan cara yang berbeda. Jennie memulai perjalanan solonya dengan mendirikan label sendiri, Odd Atelier Entertainment Inc. (OA) Dan Lisa Yang Mendirikan Labelnya...