"Sayang, kamu tunggu di sini dulu ya," ucap Paul sambil menatap Nabila dengan serius. "Aku harus terima telepon dari kantor. Jangan ke mana-mana sebelum aku balik lagi ke sini, dan kalau ada apa-apa, langsung telepon atau chat aku."
Nabila hanya mengangguk pelan dan menjawab singkat, "Iya."
Namun, Paul tidak puas dengan jawaban singkat itu. "Jangan cuma 'iya-iya' saja. Kamu paham kan sama apa yang aku maksud?" tanyanya lagi, memastikan Nabila benar-benar mengerti.
Dengan sedikit kesal, Nabila mengangguk lagi dan berkata, "Iyaa, Paul. Udah, cepetan sana."
Paul tersenyum tipis, lega, lalu mengelus lembut puncak kepala Nabila sebelum berkata, "Okayy, sayang." Setelah itu, ia berbalik dan melangkah keluar dari toko, mencari tempat yang lebih tenang untuk mengangkat panggilan tersebut.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Setelah menyelesaikan panggilan teleponnya, Paul segera kembali ke toko tempat ia meninggalkan Nabila. Namun, saat ia tiba, Nabila tidak ada di sana. Paul mulai cemas, matanya menyisir setiap sudut toko, berharap menemukan Nabila, tapi hasilnya nihil. Keringat dingin mulai membasahi pelipisnya, dan jantungnya berdebar lebih cepat. Tanpa membuang waktu, Paul segera mengirim pesan kepada Nabila.
"Sayang," tulisnya cepat.
"Kamu di mana?"
"Bales chat aku."
"Sayang."
"Nabila Jasmeen Sankara."
Beberapa detik terasa seperti selamanya hingga akhirnya ponselnya bergetar dengan balasan dari Nabila.
"Gue di Sushi-rra," jawab Nabila singkat.
Paul segera mengetik kembali, rasa khawatirnya belum mereda.
"Kenapa gak ngabarin dulu, Nabila??"
"Aku panik nyari kamu."
Jawaban Nabila kembali singkat. "Lupa."
Paul menghela napas, menahan rasa kesalnya. "Jangan dibiasain," balasnya cepat. "Aku ke sana sekarang. Kamu jangan ke mana-mana lagi. Tunggu aku."
Namun, Nabila tampak tak sejalan dengan keinginan Paul. "Gak usah," tulisnya. "Gak usah ke sini. Lo balik duluan aja. Gue masih ada urusan."
Paul tidak bisa menerima itu. Ia mengetik dengan tegas, "Gak bisa." "Kamu pergi bareng aku, begitupun pulang harus bareng aku."
Setelah mengirim pesan terakhir itu, Paul memasukkan ponselnya ke dalam saku celananya dengan gerakan cepat. Tanpa menunggu lebih lama, ia bergegas keluar dari toko, langkah-langkahnya panjang dan cepat, menuju restoran Sushi-rra untuk menemui Nabila.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Di sisi lain, Nabila mulai merasa bosan menunggu Paul yang terlalu lama mengurus telepon dari kantornya. Setelah beberapa menit berlalu, ia memutuskan untuk tidak menunggu lebih lama lagi dan berinisiatif pergi ke restoran favoritnya tanpa memberi tahu Paul terlebih dahulu. Begitu sampai di restoran, Nabila langsung memesan makanan dan mulai menikmati hidangannya, merasa sedikit lebih baik dengan suasana yang lebih akrab.
Saat Nabila tengah asyik makan, tiba-tiba ia mendengar suara yang tak asing lagi. "Nabila?" tanya seseorang, memastikan.
Nabila mendongakkan kepalanya, dan di hadapannya berdiri Angga, mantan kekasihnya. "Eh? Angga?" jawab Nabila, sedikit terkejut namun tak bisa menyembunyikan sedikit kegembiraannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Queen and A Big Boy
FanfictionPaul Rafka Kavindra, seorang lelaki "kaya raya" yang tertarik dengan seorang Nabila Jasmeen Sankara. "Jangan marah-marah terus" Ucap Paul kepada Nabila dengan lembut "Berisik, emang lo siapa berani ngatur-ngatur gue?!" Ucap Nabila dengan penuh emos...