Bagian 3

43 3 0
                                    

Setelah jalan-jalan bersama Mas Aska semalam. Paginya aku mendapat bagian shift di toko obat Sehati. Menggantikan Mba Tias.

Namun, siang itu Mba Tias masih berada di toko, tidak langsung pulang. Kami pun sempat mengobrol-ngobrol sedikit.

Mba Tias juga tanya, "Kamu abis jalan sama Mas Aska ya, Sa?"

Raut wajah Mba Tias kelihatan seperti tidak suka ketika aku menatapnya.

"Hehe iya Mba nonton doang," jawabku sambil cengengesan, tak peduli juga jika Mba Tias memang tidak suka.

"Udah jadian apa belum kamu sama Mas Aska?" Mbak Tias masih bertanya padaku.

Aku tidak begitu kaget waktu dia bertanya seperti itu, menurutku wajar saja. Namun, yang membuat aku kaget dan aneh adalah ekspresinya.

Ekspresi wajah Mba Tias benar-benar seperti seseorang yang sedang menahan kecewa dan rasa tidak suka.

"Enggak kok Mba, belum jadian hehe ...." Entah sudah berapa kali aku cengengesan seperti ini.

"Oh aku kira udah jadian. Okelah," ucap Mba Tias.

Okelah?

Sebenarnya aku sedikit curiga dengan respon Mba Tias, aku pun bertanya-tanya dalam hati, apa benar dugaanku sebelumnya?

Kalau Mba Tias ternyata menyukai Mas Aska juga.

Sementara itu, di lain waktu aku menceritakan hal tersebut pada Bu Ayu tentang respon Mba Tias tempo hari.

"Mba Tias kaya nggak seneng aku jalan sama Mas Aska, kenapa ya Bu?"

"Salah saya juga sih, Sa. Waktu itu saya biarin Mas Aska nganter Tias pulang." Bu Ayu memang kelihatan seperti merasa bersalah.

"Emang Mba Tias kenapa Bu, sampe diantar pulang sama Mas Aska?" tanyaku sambil terus menajamkan pendengaran, agar aku tidak salah pengertian.

"Tias sakit waktu itu. Tiduran di ruang istirahat belakang, saya ya nggak tega ngebiarin dia gitu. Soalnya kayak lemes banget, mukanya juga pucet. Nah, si Aska kebetulan mau pergi beli sesuatu lewat arah rumahnya Tias, jadi saya pikir biar sekalian dianterin. Kalo naik angkutan umum kan kasian, lagi pusing, eh malah baper ya anaknya," jelas Bu Ayu panjang lebar.

Aku yang mendengar cerita itu cuma bisa mengangguk paham. Merasa tidak apa-apa, lagi pula aku dan Mas Aska belum memiliki hubungan apa-apa waktu itu.

Setelah diajak jalan bersama Mas Aska malam itu, mood aku sedikit naik turun. Bu Ayu sendiri mengira itu karena aku digantung oleh Mas Aska.

Padahal sebenarnya tidak, mood aku kadang sedikit berubah-ubah.

***

Tepat seminggu setelah jalan pertama kami, Mas Aska kembali mengajakku ke rumah makan setelah selesai shift malam.

Waktu sudah menunjukkan pukul 20.30 WIB, seperti waktu itu kami berdua menjadi pelanggan terakhir di rumah makan yang sama.

Aku tidak menyangka Mas Aska akan mengungkapkan perasaannya.

Ketika kebanyakan orang diajak pacaran dengan kalimat, "Mau nggak kamu jadi pacar aku?"

Lain halnya dengan Mas Aska yang tiba-tiba saja secara spontan berucap, "Iya aku suka."

Tentu saja aku terkejut. "Eh, hah, gimana Mas, maksudnya suka apa?"

"Iya aku juga suka sama kamu."

Entah kenapa aku berpikir Mas Aska tahu soal perasaanku yang memang diam-diam menyukainya lebih dulu.

USAI ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang