Bagian 8

9 1 0
                                    

Waktu berlalu cepat.

Pada bulan September hingga Oktober komunikasi kami semakin sedikit, Mas Aska juga sering slow respon. Kami pun jarang sekali ada obrolan penting.

Suatu hari masih di bulan Oktober, sepupuku Ningsih memintaku untuk menemaninya periksa ke dokter umum, karena merasa ada benjolan di dalam hidung.

Kebetulan aku juga sedang ingin cek jantung karena sudah lama sering merasakan nyeri di dada sebelah kiri.

Mas Aska tahu aku ke dokter malam itu. Aku menjalani pemeriksaan jantung pakai metode Elektrokardiogram (EKG) tes diagnostik yang digunakan untuk mengevaluasi fungsi jantung.

Hasil EKG menunjukkan Premature atrial contraction, gangguan detak jantung yg ditandai dengan adanya denyut tambahan di awal yang berasal dari atrium (ruang jantung bagian atas).

Kata dokter penyebabnya adalah stres, tekanan darah tinggi, dan kolesterol.

Kalau dari tekanan darah memang saat itu termasuk tinggi tapi aslinya tekanan darahku normal. Entah kenapa kalau di rumah sakit selalu tinggi padahal cek di apotek selalu normal.

Untuk kolesterol normal juga.

Stres, aku pikir semua orang bisa merasakan stres. Mungkin hanya orang yang tidak punya pikiran saja yang tidak merasakan stres.

Selesai pemeriksaan aku langsung menuju ke apotek untuk menebus obat yang diresepkan oleh dokter sekalian transaksi.

Dari situ aku dikasih obat antiinflamasi nonsteroid dan juga obat jantung.

Kata dokter, coba minum obat itu sampai habis dulu. Kalau sudah habis kembali lagi ke rumah sakit untuk cek lanjutan ke poli penyakit dalam.

Namun, aku tidak kembali dan obatnya hanya aku minum sekali saja.

Aku memang wanita pembangkang.

Aku juga memberitahu Mas Aska tentang hasilnya dan menjelaskan semuanya.

Responnya hanya seperti ini. "Minum obatnya yang rutin, makan yang teratur, jangan stres, jangan begadang."

Bagiku itu respon yang biasa saja. Karena semua orang tentu bisa berkata seperti itu.

Oh ya Ningsih masih ada pemeriksaan lanjutan. Dia harus minta surat rujukan ke poli THT.

Kami diminta menunggu selama seminggu kemudian baru bisa kembali lagi ke rumah sakit untuk pemeriksaan lanjutan.

Setelah dinyatakan semuanya baik-baik saja dan selesai, aku menunggu Ningsih transaksi di kursi ruang tunggu.

Di situ aku lihat Mas Aska membuat status di WhatsApp. Aku klik, ternyata foto kaki aku dan dia yg diambil dari atas dengan caption emoticon sedih.

Aku tidak tahu maksudnya apa, aku pun langsung me-replay statusnya.

Alsa: Kenapa Mas, ada yang lagi dirasa?

Mas Aska: Hehe nggak papa Ca, lagi ada yang dipikir aja.

Alsa: Oh yaa, jangan sungkan cerita ya. Jangan kebanyakan mikir nanti cepet tua loh hahaha.

Mas Aska: Wkwk oke siap Ca.

Kira-kira seperti itu pesan kami saat ini, singkat, padat, dan jelas.

***

Hari Senin masih di bulan Oktober, aku yang sedang shift malam tiba-tiba merasa bahwa Mas Aska tidak berada di apotek.

USAI ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang