0.5 - Lima Senja Pertama

27 6 7
                                    

Waktu menunjukkan pukul 17.00 WIB. Para siswa Madrasah Al-Inayah kembali ke rumah masing-masing setelah memutar otak selama kurang lebih delapan jam. Suasana yang tenang membuat kelima gadis tersebut enggan untuk pulang. Tanpa banyak yang tahu, mereka membeli bakso dan menyantapnya di dalam kelas.

"Suhasahananya tehenang bahnghet, yhaa," ucap Asyi sembari mengunyah bakso yang masih panas.

"Makan yang benar, Syi. Jangan bicara dulu," sahut Laya dengan nada lembut khasnya.

"Kebiasaan memang, kalau keselek baru tahu rasa," ucap Dayi dengan nada kesal.

"Eh, nggak boleh gitu. Ngomong yang baik-baik, Dayi," ucap Laya.

"Iya-iya, maaf, Asyi," kata Dayi walau sedikit tidak ikhlas.

Runda dan Litha menikmati bakso dengan tenang. Mengunyah butir demi butir dan menyeruput kuah dengan lahap. Sudah terlalu lapar mereka. Terlebih Runda yang baru saja mendapat shock therapy karena namanya terpilih sebagai calon kandidat ketua keputrian.

"Nda, kamu kenapa deh nggak percaya diri terpilih menjadi calon kandidat?" tanya Dayi penasaran.

"Iya, Nda. Setahu aku kamu sering lomba pidato dari awal kelas 10, 'kan?" sahut Asyi.

Runda menatap mata Dayi dan Asyi bergantian sembari meneguk air mineral miliknya. "Kalian penasaran?" Dayi dan Asyi hanya mengangguk excited.

"Jadi, gini .... "

"Jadi, apa?" tanya mereka serempak.

"Ah, malas aku menjelaskannya. Panjang ceritanya," jawab Runda. Laya dan Litha yang melihat kelucuan mereka hanya tersenyum. Ya, Laya dan Litha sudah tahu alasan mengapa Runda tidak percaya diri.

"Dia penari," celetuk Litha.

"Penari apa?" tanya Asyi penasaran.

"Aku penari tradisional, Asyi. Saat SMP, aku menjabat sebagai ketua ekstrakurikuler seni tari," jawabnya.

"Terus kenapa kamu nggak percaya diri untuk jadi ketua keputrian?" tanya Asyi dengan tatapan polosnya.

"Karena Runda penari, Asyi," jawab Laya, Litha, dan Dayi bersamaan. Mereka berempat menertawakan Asyi yang masih terlihat kebingungan.

"Hah?" kata Asyi.

"Gini loh, Runda itu penari tradisional, saat ada performance dia harus membuka hijabnya. Jadi, mungkin itu salah faktor kenapa Runda nggak percaya diri untuk menjadi calon kandidat ketua keputrian yang basic-nya berurusan dengan keagamaan," jelas Laya perlahan dengan harapan Asyi mengerti apa yang dimaksud.

Asyi mengerutkan kening, mencoba memahami penjelasan Laya. "Oh, jadi gitu," katanya sambil mengangguk-angguk.

"Tapi, saat di sekolah Runda tetap pakai hijab," ucap Asyi yang masih cukup sulit untuk mengerti.

"Kayanya ini terlalu sulit buat dia yang masih kecil," kata Dayi seraya menunjuk Asyi dengan dagunya.

"Iya, nanti kamu akan paham dengan sendirinya," ucap Litha.

"Baiklah, yang penting aku nanti pilih Runda untuk jadi ketua keputrian," ucap Asyi bersemangat.

"Setuju!"

"Jangan!"

Tiga banding satu. Sudah pasti yang mengucap jangan dengan lantang adalah sang calon kandidat. Mereka berempat bergantian menertawakan Runda yang wajahnya seketika memerah.

Waktu sudah berjalan 30 menit. Mereka semua bergegas membereskan sampah bekas makan yang mereka bawa dan kemudian menuju gerbang depan.

"Teman-teman, lihat langitnya. Masyaallah, indah banget," ucap Runda yang spontan berhenti saat melihat guratan senja menghiasi langit sekolahnya.

"Masyaallah, pas banget kita lagi pakai baju olahraga, nih," kata Laya. Mereka semua sadar dengan apa yang dikatakan Laya.

Lima siswa yang memakai seragam olahraga berwarna orange, di bawah guratan senja yang menghiasi langit Madrasah Al-Inayah. Indah, satu kata yang dapat mendeskripsikan mereka. Semesta seolah merestui pertemanan yang terjalin atas izin Allah Swt. Selamat menjadi lima, ya! Senja pertama di bulan September ini indah sekali karena mereka.

* * *

Lima Senja di Langit Madrasah [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang