Epilog: Akhir dan Awal

11 1 0
                                    

Persahabatan kita bukan diukur dari seberapa lama kita sekelas, tapi dari setiap tawa, cerita, dan perjuangan yang pernah kita bagi. Lulus bukan akhir, hanya awal dari babak baru kisah kita.

* * *

Suasana di gedung perpisahan penuh dengan siswa berseragam jas rapi dan siswi berbalut kebaya dalam berbagai warna. Hari ini adalah hari yang penuh kebahagiaan sekaligus kesedihan, terutama karena di Madrasah Al-Inayah, sistem kelas tidak pernah diacak, membuat mereka bersama di kelas yang sama selama tiga tahun. Dalam hitungan jam, semua ini hanya akan menjadi kenangan manis dari masa Madrasah Aliyah.

Kelima gadis itu mengenakan kebaya dengan warna favorit masing-masing, dipadukan dengan riasan yang membuat mereka tampak berbeda dari biasanya. Laya menatap keempat temannya, yang kini seolah kembali menjadi adik-adik kecilnya. Ada rasa bangga yang mengisi hatinya, bangga kepada mereka yang berhasil bertahan hingga titik ini, meskipun Laya tahu perjalanan itu tidaklah mudah.

Acara perpisahan, yang dikenal dengan sebutan akhirussanah di kalangan madrasah, telah resmi dibuka oleh MC. Para hadirin mengikuti rangkaian kegiatan dengan khidmat dari awal hingga akhir. Namun, tangan Litha terlihat gemetar, menandakan kecemasannya. Apakah ia akan menjadi siswi terbaik dalam acara ini? Runda, yang menyadari kegelisahan sahabatnya, dengan cepat menggenggam tangan Litha untuk menenangkan.

"Selanjutnya, kami akan memanggil siswi terbaik Madrasah Al-Inayah angkatan 24. Kepada Lalitha Tsamara, kami persilakan untuk naik ke atas panggung."

Litha berhasil! Ia menjadi siswi terbaik di angkatannya. Sejenak, ia terpaku, tak mampu berkata apa-apa. Cepat-cepat temannya membangunkan Litha dari keterkejutannya, menyuruhnya naik ke panggung untuk menerima penghargaan. Dari keempat temannya, Asyi adalah yang paling deras meneteskan air mata. Sementara Laya, Runda, dan Dayi menahan tawa, merasa kasihan pada Asyi yang tak henti-hentinya menangis haru.

Setelah kurang lebih dua jam acara berlangsung, kini mereka memasuki sesi foto bebas bersama teman-teman dekat dan guru. Foto berlima sudah menjadi ritual wajib dalam momen sepenting ini. Awalnya, mereka kebingungan ingin meminta tolong siapa untuk mengambil foto, hingga tiga teman sekelas mereka, Setra, Shaqiel, dan Dafi, kebetulan melintas di hadapan mereka.

"Dafi, tolong fotoin kami berlima," pinta Laya.

Mereka bertiga berhenti, meskipun yang dipanggil hanya Dafi. "Nggak mau kalau lu yang minta tolong."

Laya memasang wajah sinis. "Ah, gue tahu nih. Pasti Litha kan yang harus minta tolong."

Mereka semua tertawa mendengar ucapan Laya yang begitu to the point. Untungnya, ada Shaqiel yang dengan inisiatif menawarkan bantuan untuk memotret mereka berlima. Laya, yang melihat sikap Shaqiel, merasa puas seolah menang dari Dafi. Selama 20 menit, mereka sibuk berfoto. Lama? Tentu saja, karena ini urusan perempuan. Setra dan Dafi yang melihat itu hanya bisa merasa lelah sendiri.

Rasa lelah mulai menyelimuti mereka, dan akhirnya mereka memutuskan untuk pergi bermain ke rumah Runda setelah sesi foto. Sesampainya di sana, mereka disambut hangat oleh ayah dan bunda Runda. Berbagai hidangan lezat tersaji di meja, membuat mereka senang karena kebetulan sedang lapar. Di tengah suasana hangat itu, ayah dan bunda Runda meletakkan sebuah amplop coklat di atas meja, menarik perhatian mereka.

Tak ada yang langsung mengambil amplop itu, mereka hanya saling menatap, hingga akhirnya Runda membuka suara. "Ini apa, Ayah, Bunda?"

Kedua orang tuanya tersenyum, saling berpandangan. "Coba buka dulu."

Dengan hati-hati dan penuh rasa penasaran, mereka membuka amplop coklat itu. Laya dan Dayi memperhatikan dengan seksama saat amplop dibuka, sementara Litha dan Asyi malah menutup mata dengan kedua tangan. Runda, yang bertugas membuka, ikut merasa gugup melihat reaksi teman-temannya. Ketika amplop terbuka sempurna, Runda segera mengeluarkan isinya.

"Masha Allah," serempak mereka berucap.

Di dalamnya, ada lima kertas berisi tangkapan layar pembelian tiket kereta dan reservasi hotel. Bukan di Jakarta, melainkan di Yogyakarta! Mereka bersorak gembira hanya karena melihat kertas itu. Runda menangis haru, tak menyangka bahwa orang tuanya telah memberikan hadiah ini, bukan hanya untuknya, tetapi juga untuk teman-temannya.

Mereka semua mengucapkan terima kasih yang tulus kepada ayah dan bunda Runda atas hadiah kelulusan yang istimewa ini. Ayah dan bunda tersenyum, dan bunda segera meminta mereka untuk bergegas kembali ke rumah untuk mengemas pakaian, karena keberangkatan mereka keesokan harinya pukul 9 pagi! Soal izin orang tua, mereka tidak perlu khawatir; ayah dan bunda Runda sudah meminta izin tiga bulan sebelum kelulusan, bahkan sebelum mereka mengalami kerenggangan dalam pertemanan.

Keesokan harinya, mereka menghabiskan waktu di kereta selama kurang lebih sembilan jam. Setibanya di Yogyakarta, mereka berkeliling Malioboro karena hotel mereka terletak tidak jauh dari sana. Setelah kembali ke hotel, mereka pun mengadakan pesta piyama. Tak lupa, mereka membagi tugas untuk memasak, mendekorasi kamar, dan menata kamera.

"Let's deeptalk, Sist," ajak Litha.

Mereka semua duduk di meja makan yang sudah terisi aneka makanan, tentunya tidak membelakangi kamera. Kelima gadis dengan piyama berwarna lembut dan motif lucu terlihat begitu menggemaskan. Eits, jangan membayangkan terlalu jauh!

"Finally, kita berhasil mewujudkannya," ucap Laya sambil memandang adik-adiknya.

"Alhamdulillah, semoga semua wish list kita tercapai satu per satu, aamiin," kata Runda.

"Kita mulai dari mana, nih?" tanya Dayi kegirangan memukul-mukul meja makan.

Litha menatap keempat temannya dengan senyum yang penuh makna. "Dari awal kita kenal."

Setelah mengenang kembali perjalanan mereka selama dua tahun terakhir, mereka menyunggingkan senyum haru. Ada rasa bangga atas ketahanan mereka dalam pertemanan ini. Segala masalah yang datang berhasil mereka hadapi bersama. Akhirnya, pertemanan ini layak mereka sebut sebagai rumah karena kehangatannya—sebuah rumah tanpa jendela, pintu, lantai, atau elemen lainnya seperti rumah pada umumnya.

"Teman-teman, ini bukan akhir, melainkan awal dari bab yang baru," ucap Runda tiba-tiba berdiri dari kursinya.

Mereka berlima menyatukan tangan di tengah, bertumpuk satu sama lain. "New sheet, new life."


- Selesai -

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 30 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Lima Senja di Langit Madrasah [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang