Kekuatan doa itu nyata.
* * *
Beberapa hari yang lalu, Asyi dengan tergesa-gesa mengirim pesan kepada keempat temannya untuk bertemu di taman belakang perpustakaan. Ia tidak memberi tahu mereka bahwa pesan yang sama juga dikirimkan kepada yang lain. Misalnya, saat Asyi mengirim pesan kepada Laya, ia tidak menyebutkan bahwa Litha juga menerima pesan serupa. Beruntung, tidak ada yang curiga mengapa Asyi mengajak mereka ke tempat tersebut.
Kini, tiba hari pertemuan. Asyi, yang datang lebih dulu, merasa cemas. Ia takut teman-temannya tidak menyukai caranya mengatur pertemuan ini. Ia juga khawatir akan dianggap hanya mementingkan perasaannya sendiri. Namun, ia berusaha menyingkirkan semua keraguan itu untuk sementara. Saat ini, yang penting baginya adalah menyampaikan apa yang selama ini ia pendam tanpa kehadiran mereka. Apakah mereka merasakan hal yang sama atau tidak, itu bisa dipikirkan nanti.
Dari kejauhan, Asyi melihat Dayi datang lebih dulu. Wajahnya tanpa senyuman, dan itu membuat kecemasan Asyi semakin membesar. Ketika Dayi tiba di dekatnya, Asyi meminta Dayi untuk menunggu sebentar. Tak lama kemudian, Runda muncul. Meskipun senyumnya terkesan dipaksakan, ia masih berusaha tersenyum kepada Dayi dan Asyi. Jika kalian mengira Runda tidak terkejut melihat Dayi di sana, kalian salah. Dalam hati, baik Runda maupun Dayi sama-sama bertanya-tanya, mengapa ada orang lain selain diri mereka.
Runda yang bersandar di dinding dekat pepohonan menoleh ke arah Asyi. "Kamu lagi rencanain apa?"
Asyi, yang awalnya menunduk, perlahan mengangkat kepalanya dan menatap Runda. "Nanti aku jelaskan."
Runda mengangguk sambil mengeluarkan handphone dari saku roknya. Tanpa disadari, Dayi mencuri pandang ke arahnya. Ada senyum tipis di bibirnya, lebih tipis dari apa pun yang pernah ia rasakan. Kerinduan akan nasihat-nasihat Runda muncul kembali dalam hatinya. Namun, suara langkah kaki membuat Dayi segera menoleh. Laya dan Litha tiba bersamaan, meski keduanya tidak saling bicara. Asyi, sebagai perancang pertemuan ini, tiba-tiba merasa seperti minoritas—karena ia sendirian yang membuat rencana ini tanpa melibatkan siapa pun.
Laya menatap ke arah Runda dan Dayi dengan tatapan datar, sesuatu yang jarang sekali ia tunjukkan kepada keempat temannya. "Maksud kamu apa, Syi, ngajak kita semua ke sini? Aku kira kita cuma berdua."
"Laya, Runda, Litha, Dayi... aku tahu kalian pasti terkejut karena bukan cuma aku yang ada di sini," ujar Asyi dengan hati-hati, memandang temannya satu per satu. "Sebelumnya, aku minta maaf karena sudah mengatur pertemuan ini tanpa memberi tahu kalian dulu apa rencanaku."
Keempat temannya menatap Asyi dengan pandangan yang sulit diartikan, seolah-olah ada ketidaksukaan yang jelas tertuju padanya. Asyi menyadari hal itu dan sudah siap menerima segala konsekuensinya. Namun, di balik tatapan tersebut, tersembunyi sesuatu yang berbeda dalam hati masing-masing dari mereka—sebuah harapan yang Asyi tak pernah tahu. Harapan yang hanya mereka sendiri dan Allah Swt. yang mengerti.
"Izinkan aku menyampaikan ini. Entah kalian akan menganggap aku seperti apa setelahnya, aku akan baik-baik saja. Aku sudah memikirkan ini matang-matang, dan tujuanku cuma supaya aku merasa lega dan jantungku nggak terus-terusan sakit," ucap Asyi sambil mengelus dadanya yang berdebar di sisi kiri.
Bicaralah, Asyi. Kalau kamu sakit, aku juga, batin Laya.
Maaf, Asyi. Aku nggak tanya kabar kamu lagi setelah kita menjauh, batin Runda.
Karena gengsiku, kita jadi renggang, dan itu bikin Asyi sakit, batin Litha.
Syi, jangan ngomong kayak gitu. Aku nggak mau nangis, Syi. Malu, batin Dayi.
Asyi terdiam sejenak, menghembuskan napas dengan kasar sebelum kembali berbicara. "Selama kalian nggak ada, hidup aku berat, sepi, dan dada ini sering sakit tiba-tiba. Rasanya aku nggak punya tempat untuk pulang, nggak ada tempat istirahat, atau tempat untuk melepas penat. Kalau kalian bilang aku egois, aku terima. Kalau kalian nggak butuh aku lagi, itu juga nggak apa-apa. Tapi, Laya, Runda, Litha, Dayi... aku butuh kalian."
Tangis Asyi pecah, ia tak lagi bisa menyembunyikan perasaannya. Keempat temannya pun merasakan sesak yang sama di hati masing-masing. Keinginan untuk kembali seperti dulu masih membara. Apakah ada kesempatan kedua untuk pertemanan yang pernah mereka sebut sebagai rumah? Apakah mereka akan mampu menyusun kembali rumah yang sempat hancur?
"Ayo kembali bersama."
Semua mata langsung tertuju pada gadis yang mengucapkan tiga kata itu. Saat menyadari siapa yang berbicara, mereka terkejut. Rasa haru jelas terpancar di mata Laya, sementara Runda dan Dayi masih bertanya-tanya apa maksud sebenarnya dari kalimat tersebut.
"Ayo kita kembali ke pertemanan kita yang dulu, ayo bangun rumah itu lagi. Rumah di mana kita merasa nyaman dan dihangatkan oleh kasih sayang satu sama lain. Maaf sebelumnya, aku terlalu gengsi untuk mengungkapkan apa yang sebenarnya aku rasakan. Asyi, bukan hanya kamu yang butuh kita, tapi aku juga," ucap gadis itu dengan cepat dan jelas.
Mendengar itu, isak tangis Asyi semakin menjadi. Tak hanya Asyi, semua pun merasakan kesedihan yang sama. Air mata yang semula mereka tahan kini tak mampu lagi dibendung. Sementara itu, gadis yang melontarkan kata-kata tersebut perlahan mendekat ke arah Asyi untuk memeluknya. Gengsinya kini ke mana? Semoga pergi jauh dan tak kembali lagi. Laya, Runda, dan Dayi pun ikut mendekat ke arah Litha. Ya, gadis itu adalah Litha!
Terima kasih, ya Allah, telah mengabulkan doa sepertiga malamku. Ini adalah hadiah terindah selama aku hidup di dunia, batin Laya.
Terima kasih, Laya, karena selalu istiqomah berdoa untuk kesempatan kedua agar bisa kembali bersama. Terima kasih, Runda, yang kini mau memberikan pelukan hangat lagi untuk keempat temanmu. Litha, buang jauh-jauh gengsinya! Jangan biarkan itu kembali lagi. Dayi, tidak apa-apa jika kamu ingin menangis; tidak perlu malu. Dan terakhir, Asyi, jangan sakit-sakit ya! Temanmu akan ikut merasakan sakit jika kamu sakit.
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
Lima Senja di Langit Madrasah [END]
Ficção AdolescenteMenceritakan kisah pertemanan para gadis yang menempuh pendidikan di Madrasah Aliyah jurusan Keagamaan Islam. Mereka terdiri dari lima orang, yaitu Laya, Arundari, Lalitha, Dayi, dan Asyima. Pertemanan mereka tidak sekadar sebatas ikatan persaudaraa...