Ketika perasaan dan kepercayaan memudar, jarak pun tercipta meski kita masih berada di ruang yang sama.
* * *
Litha dan Dayi meminta izin untuk pergi ke toilet. Seperti kebanyakan siswi lainnya, mereka ke sana bukan hanya untuk keperluan biasa, tapi juga untuk sekadar melihat diri di cermin. Mereka merapikan hijab, mengoleskan bedak tipis, dan sedikit perona bibir agar wajah terlihat lebih segar. Setelah itu, mereka berbincang ringan tentang tiga temannya. Ada yang terasa berbeda. Sikap teman-teman mereka tak lagi sama seperti dulu. Tapi apa sebenarnya yang membuat mereka merasakan perubahan itu?
Mereka segera bergegas kembali ke kelas. Terlalu lama di toilet bisa membuat Bu Niar, wali kelas sekaligus guru mata pelajaran ilmu hadits, curiga. Dalam perjalanan kembali, mereka melewati kantin yang sepi. Tak jarang, beberapa siswi menyelundupkan permen ke dalam saku seragam mereka sebelum kembali ke kelas.
Dayi membuka pintu kelas dengan hati-hati. "Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam," sahut serempak penghuni kelas.
"Litha, Dayi, tanyakan tugasnya ke teman kalian, ya. Anak-anak semua, Ibu mau ke ruang guru sebentar, jangan berisik!" Bu Niar memberi instruksi kepada siswa-siswi kelas XII Agama.
"Siap, Bu!"
Litha dan Dayi kembali ke tempat duduk masing-masing, terpisah. Litha duduk bersama Zia, sementara Dayi berada di dekat Selina. Sayangnya, Zia adalah anak yang pendiam dan jarang berinteraksi, sehingga teman-teman kelasnya hanya mengenalnya sekadarnya, tanpa ada yang terlalu dekat.
Dayi bertanya kepada Selina mengenai tugas dari Bu Niar, namun Selina juga bingung karena ia mengantuk. Tanpa berlama-lama, Dayi memutuskan untuk mendekati meja Setra dan menanyakan tugas tersebut.
"Tugas apa sih dari Bu Niar?" tanya Dayi dengan penasaran.
"Presentasi kelompok. Lu harus bentuk kelompok dulu, Day. Satu kelompok empat orang," jawab Setra sambil menatap Dayi.
Dayi mengangguk paham. Ia berjalan menuju meja Laya dengan niat mengajaknya satu kelompok, namun ternyata Laya sudah bergabung dengan Asyi, Zia, dan Aura. Dayi mengerti dan melanjutkan langkahnya ke meja Runda. Jika bersama Runda dan Litha, ia hanya butuh satu orang lagi. Namun, sepertinya ia terlambat lagi — Runda sudah bersama Alya, Setra, dan Shaqiel. Proses pembentukan kelompok ini perlahan menciptakan jarak di antara mereka berlima. Meski masih satu kelas, mungkinkah perasaan mereka terkikis seiring berjalannya waktu?
Sebenarnya, kita lagi kenapa sih? batin Dayi.
* * *
Laya menatap foto polaroid dirinya bersama keempat temannya. Bukan hanya satu, tetapi banyak sekali foto mereka berlima yang tertempel di dinding kamarnya. Lampu kerlap-kerlip yang menghiasi sekelilingnya membuat foto-foto itu terlihat semakin istimewa. Bibirnya yang tadi tersenyum melihat foto-foto itu kini bergetar, dan air mata mulai jatuh tanpa bisa ditahan. Dengan cepat, Laya mengusapnya, tak ingin orang di rumah tahu ia sedang menangis. Ia meraih handphone di meja belajarnya, berniat menghubungi Runda jika Runda tidak sibuk. Namun, sebelum sempat mengetik pesan, notifikasi dari Runda tiba lebih dulu.
Runda
Assalamualaikum, lagi sibuk nggak?Anda
Waalaikumussalam, nggak, NdaRunda
Eum, kita call aja, bisa?Anda
Boleh, Nda. Aku tadi juga niat mau call kamuRunda
Sehati ♡Laya tersenyum melihat pesan terakhir dari Runda. Baginya, Runda, teman sekaligus adik kecilnya, selalu punya cara memberi kata-kata puitis yang membuatnya terharu. Tiba-tiba, pikirannya melayang ke tiga temannya yang lain. Laya mencoba mengingat, apakah mereka pernah mengirimkan pesan manis untuknya. Sayangnya, tidak. Tidak satu pun dari mereka pernah membalas pesan manis Laya, meski setiap ulang tahun mereka, Laya selalu mengirimkan ucapan yang berkesan. Tapi sayang, hanya dari Runda Laya bisa merasakan perhatian seperti itu.
Dering handphone Laya berbunyi, sudah pasti dari Runda. Laya segera mengangkatnya. "Halo, assalamualaikum."
"Waalaikumussalam. Kamu lagi di mana, Laya?" tanya Runda di seberang.
"Di rumah, ada apa memang?" jawab Laya. Runda terdiam sejenak.
"Laya, aku mau ngomong sesuatu, tapi nggak tahu kamu juga ngerasa atau nggak," ucap Runda dengan nada sedikit sedih.
"Iya, apa?"
"Aku ngerasa akhir-akhir ini kita makin berjarak sama Litha dan Dayi. Terus, aku baru sadar kalau kita nggak dapat feedback yang setara dari mereka," ucap Runda, suaranya mulai bergetar menahan tangis.
"Ternyata aku nggak sendirian, Nda. Aku juga ngerasa hal yang sama, tapi aku nggak yakin. Waktu kamu sakit di sekolah dan kamu call aku, kan aku lagi nggak sekolah waktu itu. Terus aku mikir, yang lain kemana?" Laya merespons dengan perasaan yang sejalan dengan Runda.
"Nggak tahu, Laya. Kita selalu ngurusin Litha kalau sakit lambungnya kambuh, ngurusin dia kalau nyeri haid, nyariin obat ke UKS, kalau nggak ada, izin nyari ke warung depan," ucap Runda, suaranya terdengar makin berat.
"Mungkin ada yang perlu kita perbaiki, Nda. Nanti kita bahas berlima, ya," ucap Laya. Runda hanya merespons dengan dehem kecil.
"Laya, aku ada urusan. Aku tutup dulu, ya. Assalamualaikum," ucap Runda dengan nada tergesa-gesa.
"Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh," jawab Laya.
Laya mulai merasakan ketidaknyamanan dengan perasaannya. Awalnya, ia selalu ikhlas melakukan segala hal untuk keempat adiknya, tetapi sekarang semuanya terasa berbeda. Ia merasa lelah karena tidak mendapatkan umpan balik yang setara. Benar apa yang dikatakan Runda; ia pun pernah merasakan hal yang sama. Ia harus mencari obat sendiri ke UKS saat Runda sedang izin untuk berlatih pidato. Ini bukan sekadar soal permintaan tolong antara teman, tetapi tentang inisiatif untuk membantu seseorang yang sudah berbuat baik kepada kita.
"Ya, kita harus membahas ini berlima. Persahabatan kita nggak boleh hancur hanya karena salah paham," gumam Laya.
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
Lima Senja di Langit Madrasah [END]
Fiksi RemajaMenceritakan kisah pertemanan para gadis yang menempuh pendidikan di Madrasah Aliyah jurusan Keagamaan Islam. Mereka terdiri dari lima orang, yaitu Laya, Arundari, Lalitha, Dayi, dan Asyima. Pertemanan mereka tidak sekadar sebatas ikatan persaudaraa...