Keluarga bukan hanya tentang hubungan darah, tetapi juga tentang orang-orang yang memilih untuk berbagi perjalanan hidup bersama.
* * *
Hari ini para guru mengadakan rapat untuk penilaian akhir tahun. Dari pukul 07.30 WIB hingga sekarang, pukul 10.30 WIB, para siswa tidak terlibat dalam kegiatan belajar mengajar. Beberapa siswa tertidur, ada yang sibuk scroll TikTok, mendengarkan lagu di Spotify, dan lainnya. Namun, ada yang berbeda kali ini—Litha.
Litha menelungkupkan wajahnya di atas lengan, menghadap ke tembok. Biasanya, meskipun ada jam kosong, ia tetap asyik belajar. Entah apa yang dipelajarinya, tapi itu sudah menjadi kebiasaan. Semua teman sekelas menganggapnya normal dan berpikir mungkin Litha hanya sedang lelah.
Keempat temannya yang sedang asyik bersaing dalam permainan ludo merasa sedikit tidak enak karena belum mengajak Litha. Sebenarnya, mereka ingin mengajaknya, tapi Litha tampak sedang tidak dalam suasana hati yang baik. Karena itu, mereka memutuskan untuk memberinya ruang agar bisa menyendiri sebentar. Mungkin setelah permainan selesai, salah satu dari mereka akan mengajak Litha berbicara.
"Yes! Aku menang," teriak Dayi spontan karena kemenangannya. Namun, ia segera menutup mulutnya ketika beberapa teman kelas menoleh ke arahnya.
Runda menatapnya dengan tatapan kasihan, "Kamu sih, berisik."
"Ohohoho, I'm sorry," kata Dayi dengan canggung.
Laya memutuskan untuk menghentikan permainan, dan ketiganya mengikuti keputusannya. Mereka saling bertukar tatapan, bingung harus melakukan apa. Beberapa menit kemudian, mereka mendengar suara aneh—suara isak tangis yang sangat pelan.
Asyi yang menyadari hal itu bertanya kepada ketiga temannya apakah suara isak tangis itu berasal dari Litha. Ketiganya mengangguk sebagai tanda persetujuan. Laya segera melangkah menuju Litha, diikuti oleh Dayi. Laya merasa perlu bertanya kepada Litha tentang apa yang sedang dirasakannya.
Laya duduk di kursi sebelah Litha dan mengelus punggungnya dengan lembut. "Tha, ada apa? Isak tangismu terdengar, loh."
Litha masih menangis kecil, berusaha agar tidak ada yang mendengar. Ia belum mengangkat tubuhnya untuk melihat ke arah teman-temannya. Dayi duduk di kursi tepat di depan Litha dan mengelus lembut kepala Litha yang tertutup hijab.
Runda dan Asyi, yang duduk dua kursi di belakang Litha, menatapnya dengan rasa heran. Biasanya, Litha selalu bisa mengendalikan emosinya, tetapi ada yang berbeda kali ini. Apa yang terjadi dengan Litha sekarang?
Litha mulai memberanikan diri untuk mengangkat tubuhnya. Wajahnya basah oleh air mata, matanya sembab, dan napasnya tersengal-sengal. Ia tidak langsung menatap teman-temannya, melainkan hanya menatap kosong ke arah papan tulis. Laya mengelus punggung tangan Litha, berusaha menenangkan adiknya itu.
"Apa kita bisa bicara, Tha? Kalau kamu masih butuh waktu untuk menenangkan diri, nggak apa-apa. Aku akan menunggumu sampai kamu merasa lebih tenang," ucap Laya sambil menghapus air mata Litha yang terus menetes.
"Laya, menurutmu apa arti keluarga?" tanya Litha tanpa mengalihkan tatapannya dari papan tulis.
"Keluarga adalah orang-orang yang terhubung dengan kita melalui darah. Karena hubungan ini, keluarga bisa menjadi penyemangat terbaik. Namun, bagi sebagian orang, keluarga mungkin tidak selalu memberikan dukungan yang diharapkan. Ada juga yang merasa terluka atau jatuh karena keluarganya," jawab Laya.
Litha menoleh bergantian ke arah Laya dan Dayi. "Sepertinya aku termasuk dalam kategori sebagian orang itu."
Runda dan Asyi, yang sebelumnya duduk di belakang, kini bergabung dengan Laya dan Dayi.
"Maksudnya gimana, Tha? Kenapa kamu merasa seperti itu?" tanya Runda yang mulai ikut dalam percakapan.
"Setiap kali di rumah, aku merasa selalu salah di mata keluargaku. Ayah, bunda, nenek—aku selalu berusaha memenuhi permintaan mereka dengan baik, tapi selalu mendapat kata-kata yang menyakitkan," jelas Litha.
"Contohnya seperti apa, Tha?" tanya Dayi, yang sejak tadi penasaran.
"Ayahku tidak pernah memuji meski aku peringkat satu. Baginya, nilai 92 masih kurang, hanya rata-rata. Bunda selalu menyuruhku mencuci pakaian, masak, dan menjaga adikku yang masih kecil, tapi tidak pernah mengucapkan terima kasih. Bunda lebih suka mengomentari hasil setelahnya. Nenek juga, aku tahu kepintaranku tidak sebanding dengan Feya, sepupuku. Tapi apa susahnya untuk tidak selalu membandingkan aku dengan Feya?"
Suara Litha bergetar, menahan isak tangis yang hampir keluar. Kesedihan yang dirasakannya membuat keempat temannya menatap dengan penuh empati. Melihat salah satu dari mereka menangis karena perlakuan buruk dari orang terdekat terasa sangat menyakitkan.
Runda dan Laya merasa sangat bersalah atas apa yang menimpa Litha. Sejak kelas X hingga akhir kelas XI, bagaimana mungkin mereka tak pernah menyadari masalah besar yang Litha hadapi di rumah? Rasanya menyakitkan sekali, mengetahui bahwa orang-orang terdekat justru bisa menjadi penyebab luka terdalam. Sekarang, ke mana lagi Litha bisa bercerita dan berlindung, jika bahkan rumahnya sendiri tak lagi menjadi tempat yang aman?
Runda menepuk pelan bahu Litha, mencoba memberinya kekuatan. "Hei, Tha! Kami di sini, loh. Kami selalu bangga sama semua pencapaian kamu."
"Kita ini kan keluarga juga, Tha. Aku sebagai kakak pertama, lalu ada Runda, terus kamu, ada Dayi, dan si bungsu kita, Asyi," tambah Laya sambil menunjuk mereka satu per satu dengan senyum hangat.
"Kalau keluarga di rumah belum bisa menghangatkan, kamu masih punya keluarga di sekolah. Iya, kita ini kakak beradik, bukan sekadar teman lagi," ucap Dayi dengan gaya sok imutnya.
Asyi yang melihatnya hanya bisa mengernyit heran. Melihat Dayi yang biasanya tomboy tiba-tiba bersikap sok imut membuatnya geli. "Jangan sok imut deh, nggak cocok," komentarnya sambil tertawa kecil.
Litha yang melihat tingkah teman-temannya merasa sedikit terhibur. Senyum manis akhirnya terukir di wajahnya, setelah berjam-jam menangis. Dalam hatinya, Litha bersyukur kepada Allah karena telah mengirimkan teman-teman yang begitu baik, bahkan lebih dari keluarga sendiri.
Semoga kita bisa terus bersama, dan persahabatan ini nggak pernah ada akhirnya, batin Litha.
Iya, Litha hanya bisa membatin saat mengucapkan kalimat itu. Gengsinya terlalu tinggi, mungkin lebih tinggi dari badannya. Rasanya aneh jika harus mengungkapkan rasa sayangnya secara terang-terangan. Namun, kasih sayang Litha untuk keempat temannya sangat besar, seluas bumi ini.
"Teman-teman, terima kasih, ya!" ucap Litha pelan, suaranya masih sedikit serak tapi penuh ketulusan.
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
Lima Senja di Langit Madrasah [END]
Teen FictionMenceritakan kisah pertemanan para gadis yang menempuh pendidikan di Madrasah Aliyah jurusan Keagamaan Islam. Mereka terdiri dari lima orang, yaitu Laya, Arundari, Lalitha, Dayi, dan Asyima. Pertemanan mereka tidak sekadar sebatas ikatan persaudaraa...