0.10 - Dayi: Aku Lelah

18 3 1
                                    

Remaja sering kali lelah bukan hanya oleh tekanan eksternal, tetapi oleh pergulatan batin yang tak mereka tahu bagaimana menyelesaikannya.

* * *

Seorang gadis ber-hoodie putih melaju dengan motor dalam kecepatan cukup tinggi. Tak ada sedikit pun senyuman yang menghiasi bibirnya. Perbedaan yang jelas terasa antara dirinya di sekolah dan saat perjalanan pulang. Suasana hatinya selalu kacau setiap kali hari di sekolah berakhir.

Setibanya di rumah, ia segera memasukkan motornya ke teras depan. Kucing-kucingnya menyambut dengan hangat, seperti anak kecil yang menyambut orangtua pulang. Dari ruang tamu hingga dapur, matanya belum menangkap sosok mamanya. Biasanya, mama selalu tiba lebih dulu di rumah, tapi kali ini tidak.

Gadis itu menuju salah satu pintu kamar di rumahnya yang bertuliskan 'Ini Kamar Dayi.' Ya, ia adalah Dayi Ananta Gayatri. Di sekolah, ia selalu terlihat ceria, seolah dunianya tak pernah hancur. Namun, dugaan itu sangat salah. Ia hanya mampu menyembunyikan segala kesulitan yang terjadi di rumah.

Dayi merebahkan tubuhnya di atas kasur, memejamkan matanya yang terasa panas. Ia menatap jam dinding di dinding kamarnya yang menunjukkan pukul 17.47 WIB. Dayi harus segera membersihkan tubuhnya, sholat Maghrib, dan kemudian menyelesaikan tugas sekolah yang harus dikumpulkan keesokan harinya.

Suara pintu terbuka terdengar setelah beberapa menit Dayi masuk ke kamar mandi. Sudah bisa dipastikan bahwa itu adalah mamanya, karena hanya Dayi dan mamanya yang memegang kunci rumah. Wanita paruh baya itu tampak sangat lelah, jelas terlihat dari wajahnya. Entah apa yang telah dilaluinya seharian, tapi rasa frustrasi sangat tampak di dirinya.

Setelah selesai bersih-bersih dan sholat Maghrib, Dayi menghampiri mamanya. Ia penasaran mengapa mamanya pulang terlambat, tidak seperti biasanya.

"Tumben pulangnya telat, Ma," ucap Dayi sembari menyisir rambutnya yang sebahu. Mamanya hanya terdiam, entah tidak mendengar atau tidak ingin memberitahu alasannya kepada Dayi.

Dayi melirik mamanya melalui cermin. "Ma, tahu nggak, tugas fiqih aku banyak banget. Bingung deh sama gurunya, harus ngerangkum 3 bab sekaligus. Nggak boleh diketik, harus ditulis tangan, Ma."

Lagi dan lagi, mamanya hanya terdiam sambil menyapu lantai. Tidak ada respons sama sekali atas ocehan anak gadisnya itu.

"Mama kenapa sih, Ma? Aku tanya nggak dijawab, aku ngomong nggak direspons. Aku tahu mama capek, tapi mama begini terus kalau lagi capek. Aku juga bisa capek, Ma," ucap Dayi kesal, meski nadanya masih terkontrol baik.

Mamanya, yang jengah mendengar ucapan Dayi, menjatuhkan sapu dengan kasar. "Kamu capek ngapain, sih? Kamu nggak cari uang, kamu nggak bingung besok makan apa. Kamu tuh tinggal belajar aja di sekolah, apa susahnya sih? Lebih capek mana dibanding mama, Day?"

"Setelah bapak nggak ada, aku selalu ngertiin mama. Aku tahu mama capek keliling jual jamu, makanya aku nggak nuntut banyak. Kapan sih aku minta ini itu ke mama? Kapan aku ngeluh? Baru kali ini. Aku tahu aku masih sekolah, belum kerja seperti mama. Tapi aku juga bisa capek, Ma. Aku juga bisa lelah," ucap Dayi. Sorot matanya menunjukkan bahwa ia kesal dengan sikap mamanya, dan kesabarannya yang telah ia tahan selama tiga tahun setelah bapak meninggal kini meledak tanpa direncanakan.

"Kamu tuh udah berani nggak sopan ngomong sama mama ya, Day! Kamu kalau nggak ada mama, siapa yang ngurus? Jadi anak bukannya bersyukur, malah ngeluh. Jangan pernah sekali-kali ngeluh depan mama!" bentak mama kepada Dayi.

Gadis 17 tahun itu hanya bisa menangis dalam diam. Dengan perasaan kacau, ia mengambil hoodie dan hijab dari kamarnya, lalu melangkah cepat menuju teras depan. Malam ini, ia pasti akan pergi keluar, entah ke mana. Menangis sambil membawa motor sudah jadi rutinitas bagi Dayi. Pikirannya berkecamuk, batinnya terasa sesak. Apakah sebegitu sulitnya hanya untuk berbagi perasaan?

Dayi memarkir motornya di sebuah taman yang masih cukup ramai. Meskipun besok hari sekolah, banyak anak kecil yang bermain balon bersama orang tua mereka. Dayi memperhatikan wajah-wajah polos mereka satu per satu. Tak ada sedikit pun beban yang terlihat di wajah-wajah itu. Tangisan mereka pun hanya karena hal sederhana—tidak dibelikan mainan, tidak mau tidur siang, atau menolak makan. Dayi merindukan masa-masa itu, saat sore harinya selalu dihabiskan bermain di taman bersama bapaknya.

Bapak, Dayi kangen Bapak. Apa kabar di sana? Bapak juga kangen Dayi nggak? Dayi sekarang sudah mau naik kelas XII, sudah besar ya, Pak. Sudah lama Bapak pergi ninggalin Dayi, tapi semakin Dayi tumbuh, semakin sering juga Dayi menangis. Maaf ya, Pak, Dayi belum bisa jadi anak yang kuat seperti harapan terakhir Bapak, batin Dayi sambil menatap foto masa kecilnya bersama Bapak. Tanpa sadar, air matanya sudah membasahi wajahnya di tengah keramaian. Tak peduli apa yang akan dikatakan orang lain, saat ini Dayi hanya merindukan sosok cinta pertamanya—Bapak.

Saat Dayi menunduk, ia melihat dua sosok mendekatinya. Bayangan mereka terlihat jelas di bawah cahaya lampu taman yang berada tepat di dekatnya. Merasa terancam, Dayi segera menegakkan tubuh dan bersiap. Kebetulan, ia cukup mahir dalam pertahanan diri.

"Astaghfirullah," ucap mereka bersamaan. Bukan hanya Dayi yang terkejut, kedua orang yang mendekatinya itu juga kaget, karena Dayi hampir saja mengeluarkan jurus andalannya.

"Loh, Laya, Runda. Kok kalian bisa ada di sini?" ucap Dayi, tak menyangka bahwa dua sosok tadi adalah teman-temannya.

Keterkejutan Dayi belum hilang sepenuhnya setelah bertemu Laya dan Runda. Kini, ditambah lagi dengan kedatangan Litha dan Asyi yang membawa ice cream, gulali, dan berbagai macam makanan. Pikiran Dayi yang semula kacau karena masalah di rumah, kini dibuat semakin bingung oleh teman-temannya. Mereka ini cenayang atau apa, kok bisa tahu Dayi ada di taman?

"Kalau kamu lupa, di handphone kita ada aplikasi yang bisa cek keberadaan masing-masing. Aku tadi buka, dan ternyata kamu di sini. Pasti lagi ada masalah, kan? Nggak perlu diceritain, aku tahu kamu nggak nyaman kalau harus cerita," ucap Laya seolah mengerti betul sifat Dayi.

"Mending makan ini aja," kata Asyi sambil menunjukkan makanan manis yang ia bawa.

Mereka semua setuju. Duduk berlima, berdampingan sambil menatap bulan purnama yang bersinar terang. Terkadang, menyembuhkan rasa lelah memang sesederhana itu—hanya butuh kebersamaan dan melakukan hal-hal manis bersama. Tak perlu khawatir, mereka tidak akan pulang terlalu larut. Dan Dayi tahu, nanti ia tetap akan meminta maaf kepada mamanya. Bagaimanapun, mama adalah sosok yang selalu ia butuhkan.

* * *

Lima Senja di Langit Madrasah [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang