Ketika dia memperhatikan hal-hal kecil yang orang lain abaikan, di situlah aku merasa benar-benar diperhatikan.
* * *
Bunda Nova menarik napas panjang. "Dia memang sering berlebihan. Mudah sekali memikirkan hal-hal yang sebenarnya nggak penting. Ini pasti gara-gara ada masalah sama temannya. Padahal, sebentar lagi pasti akan baik-baik saja."
"Maksud Bunda ngomong begitu apa?" suara Runda tiba-tiba terdengar dari tangga, membuat suasana di ruang tamu membeku.
Semua mata beralih padanya. Tanpa menunggu respon, Runda berjalan mendekat. Raut kecewa jelas tergambar di wajahnya. Bunda Nova terdiam, bingung mencari kata-kata yang tepat. Arnan, satu-satunya orang di ruangan yang bukan bagian dari keluarga, mencoba meredakan ketegangan yang mulai terasa.
"Runda, coba duduk dulu. Maksud Bunda nggak begitu kok," bujuk Arnan dengan lembut.
Namun, Runda mengabaikannya. Tanpa mengucap sepatah kata pun, ia berbalik dan keluar, meninggalkan mereka bertiga. Ayah dan Bunda tidak mengejar, karena mereka tahu ke mana Runda akan pergi. Dia pasti menuju taman bermain di dekat rumah, mencari ketenangan di ayunan tempatnya biasa menyendiri.
Melihat Runda keluar sendirian, Arnan segera meminta izin kepada orang tuanya untuk menyusul dan mengajaknya bicara. Ayah Runda dengan cepat mengizinkan, tetapi Bunda Nova tampak ragu. Bagaimanapun, Arnan dan Runda baru saja saling kenal beberapa jam yang lalu. Bunda Nova merasa belum pantas bagi Arnan untuk begitu saja berbicara secara pribadi dengan putrinya.
"Ini semua gara-gara kamu ngomong begitu ke Runda!" ucap Ayah dengan nada kesal.
"Oh, baru sekarang kamu peduli sama anakmu? Dulu ke mana aja? Aku yang selalu ada buat Runda, yang menemani dia dalam suka dan duka, mengantar dia ke sekolah, ke latihan tari, semuanya aku! Jadi wajar kalau aku khawatir!" balas Bunda Nova dengan emosi yang tak kalah tinggi.
Arnan merasa canggung, seolah kehadirannya hanya memperburuk keadaan keluarga ini. Dengan suasana yang semakin memanas, Ayah Runda memilih pergi meninggalkan rumah, sementara Bunda Nova jatuh terduduk, menangis frustasi di ruang tamu. Merasa tak enak hati, Arnan memutuskan untuk pamit pulang. Namun, langkahnya tidak benar-benar menuju rumah. Ia memilih pergi ke taman bermain, berharap menemukan Runda di sana.
Dering handphone Arnan terdengar, sudah pasti dari Bundanya. Arnan melirik jam di layar, 19.20 WIB. Memang sudah cukup malam, wajar jika Bundanya khawatir. Meskipun Arnan sudah izin bahwa ia ada pelajaran tambahan, kemungkinan besar kali ini Bunda menghubungi karena permintaan Chiya, adik Arnan yang terpaut 10 tahun dengannya. Chiya selalu menunggu Arnan pulang dari sekolah, tidak pernah melewatkan kesempatan untuk menyambut kakaknya setiap hari.
Tiba-tiba seorang gadis berhijab hitam dengan jaket senada berdiri di depannya. "Loh, belum pulang?"
Arnan mengalihkan pandangan dari layar handphone, menatap sosok di hadapannya. "Runda, kamu dari mana aja?"
"Taman bermain anak, pasti mereka udah bilang kan?" jawab Runda sambil menatapnya. Arnan mengangguk.
Alih-alih menyuruh Runda pulang, Arnan meminta agar mereka berbicara sebentar. Ada sesuatu yang ingin ia pahami. Arnan tahu, jika Runda menangis karena seseorang, pastilah orang itu sangat penting dalam hidupnya. Oleh karena itu, Arnan merasa perlu menjadi tempat bagi Runda untuk berbagi cerita, agar ia tidak memendam segalanya sendirian.
Setelah beberapa menit mendengarkan cerita Runda, Arnan akhirnya memberi tanggapan. "Runda, pertama-tama aku mau ngucapin terima kasih banyak karena kamu mau berbagi cerita sama aku, walaupun kita baru kenal. Dari yang aku tangkap, wajar kok kalau kamu bersikap begitu. Perempuan itu hatinya lembut, perasa banget, jadi aku berusaha mengerti walaupun mungkin aku nggak sepenuhnya paham."
"Oh iya, jangan merasa sikap kamu berlebihan. Namanya juga ada masalah sama teman, pasti rasanya nggak enak. Kalau ada apa-apa lagi, jangan sungkan cerita ke aku ya, entah soal keluarga atau teman. Aku siap dengerin. Mulai sekarang, ayo kita jadi teman dekat!" lanjut Arnan sambil tersenyum hangat.
Runda menunduk, tak berani menatap Arnan meski dalam hati ia ingin. Berdua saja tanpa orang lain seperti ini sudah cukup membuatnya merasa salah. Namun, ketenangan yang ia rasakan setelah mendengar kata-kata Arnan begitu nyata. Baginya, setelah teman-temannya, Arnan adalah orang yang paling mengerti perasaannya.
Degup jantung mereka berdua terasa lebih cepat dari biasanya. Keringat dingin mulai muncul, gemetar, dan kecanggungan seolah menyelimuti suasana. Entah apakah ini yang sering disebut butterfly era atau bukan, namun rasa nyaman di antara mereka mulai terasa. Hingga tiba-tiba seseorang datang dan memanggil salah satu nama mereka. Itu adalah Ayah Runda. Untung saja, yang menemui mereka adalah ayahnya sendiri.
"Arnan belum pulang?" tanya Ayah Runda saat mendekati mereka.
"Belum, Yah. Tadi saya bertemu Runda di jalan, jadi saya ajak bicara tentang masalahnya supaya dia nggak menanggungnya sendiri. Maaf ya, Yah, jika saya terkesan lancang," jawab Arnan dengan sopan.
"Ayah berterima kasih sama kamu karena sudah mau mendengarkan cerita Runda. Kalau ada waktu, main ke rumah lagi, ya, Arnan," kata Ayah Runda sambil menepuk bahu Arnan.
"Iya, Ayah. Inshaallah, saya akan datang lagi jika ada waktu," jawab Arnan.
Tak lama kemudian, dering handphone Arnan berbunyi. Sudah jam 20.00 WIB, dan ia tersadar bahwa izin pulang kepada bundanya hanya sampai 19.45 WIB. Ia segera pamit kepada Ayah Runda dan Runda. Arnan juga meminta izin kepada Ayah Runda untuk mendapatkan nomor handphone Runda, dan Ayah Runda menyetujuinya tanpa ragu. Setelah itu, Arnan memesan ojek online karena bus sekolah terakhir ke rumahnya beroperasi pukul 18.30 WIB. Tanpa sadar, Runda kembali melakukan kesalahan besar dengan memberikan nomor handphone-nya kepada Arnan.
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
Lima Senja di Langit Madrasah [END]
Teen FictionMenceritakan kisah pertemanan para gadis yang menempuh pendidikan di Madrasah Aliyah jurusan Keagamaan Islam. Mereka terdiri dari lima orang, yaitu Laya, Arundari, Lalitha, Dayi, dan Asyima. Pertemanan mereka tidak sekadar sebatas ikatan persaudaraa...