Kasih sayang sahabat adalah pelukan tak terlihat yang selalu kurindukan di tengah kesendirian.
* * *
Runda menatap layar handphone-nya yang kini terasa sepi, berbeda dari biasanya. Tak ada lagi kiriman link TikTok, tak ada lagi tag di Instagram, dan tak ada lagi yang memberinya semangat untuk menjalani hari-harinya. Kini, Runda bingung hendak bercerita pada siapa. Jika kepada orang tuanya, dia takut dianggap berlebihan seperti sebelumnya. Jika kepada Arnan, itu sudah tak mungkin lagi.
Sedikit cerita tentang kisah kasih Runda dan Arnan. Setelah pertemuan pertama mereka, Arnan langsung mengajak Runda untuk menjadi teman dekat. Selama sebulan penuh, mereka intens bertukar cerita. Setiap Sabtu dan Minggu, Arnan selalu datang ke rumah Runda, kadang bersama adiknya, Chiya. Namun, jangan berpikir terlalu jauh—mereka tidak pernah hanya berdua di rumah. Ayah Runda selalu ada untuk menemani. Meski tanpa sentuhan fisik, hati Runda tetap luluh oleh kebaikan yang Arnan tunjukkan.
Runda selalu merasa sangat bersemangat setiap kali hari libur tiba, karena itu berarti ia akan bertemu dengan Arnan. Mereka selalu berbagi cerita tentang sekolah, kegiatan selama seminggu, dan tugas-tugas yang sedang mereka kerjakan. Bagi Runda, pengalaman ini sangat istimewa, karena sebelumnya ia belum pernah merasakan kedekatan seperti ini dengan siapa pun. Mungkin karena itu, setiap momen bersama Arnan terasa sangat spesial.
Namun, segalanya mulai berubah. Arnan perlahan-lahan menjadi berbeda. Tidak ada lagi pertanyaan 'how's your day?' tiap malam, dan jika Runda bercerita, Arnan hanya menanggapi sebagian pesannya. Arnan juga semakin jarang datang ke rumah Runda, dengan alasan tugas yang menumpuk. Jika orang lain menganggap perubahan ini wajar, bagi Runda, ini sangat mengecewakan. Arnan yang dulu ia kenal berubah total, seolah menjadi orang lain.
Sampai suatu hari, Runda tak sengaja melihat Arnan di bus sekolah. Namun kali ini, Arnan tidak sendirian. Di sampingnya duduk seorang perempuan cantik, dan mereka tampak sangat dekat, bahkan Arnan bersandar di bahu perempuan itu. Mata Runda dan Arnan sempat bertemu, namun keduanya memilih saling diam, seolah tak saling kenal.
Runda merasa bingung dan terluka. Apa sebenarnya maksud Arnan bersikap seperti itu kepadanya? Jika mereka hanya teman, seharusnya Arnan tidak memperlakukan Runda seperti itu. Runda punya banyak teman laki-laki—Setra, Shaqiel, dan Dafi—namun mereka semua tetap menjaga batas. Tidak seperti Arnan, yang sudah melewati batas pertemanan.
Setelah hubungannya dengan Arnan merenggang, Runda selalu menangis setiap malam. Bukan karena Arnan semata, tetapi lebih karena penyesalan yang mendalam. Seandainya ia tidak ketiduran di bus sekolah waktu itu, mungkin ia tak perlu terlibat dengan Arnan. Seandainya setelah Arnan mengantarnya pulang ia tak bertukar nomor handphone, mungkin mereka tak akan pernah sedekat ini. Sakit? Tentu saja. Ini adalah pengalaman pertama yang ia dapatkan dari orang yang salah.
"Lagi sakit hati begini, malah renggang sama sahabat. Sedih banget nggak bisa cerita lagi sama kalian. Hari-hariku jadi terasa jauh lebih berat. Walaupun aku punya prinsip people come and people go, aku juga nangis, tahu," ucap Runda sambil memegang bingkai foto yang berisi kenangan mereka berlima.
Runda merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur, menatap boneka beruang cokelat yang ia beri nama Kayua. Boneka itu terlihat manis dengan senyuman lembut, seolah menemaninya dalam keheningan.
"Kayua, teman-teman lagi apa ya sekarang? Laya lagi dibandingin nggak sama ketiga adiknya? Litha, oh iya, tadi dia dapat nilai 90, aku khawatir Litha kenapa-kenapa. Dayi, dia pergi ke taman sendirian lagi nggak, ya? Terus Asyi, gimana kontrolnya ke rumah sakit? Hasilnya baik atau nggak? Apa dia merasa kesepian di rumah?" ucap Runda pelan sambil memeluk Kayua erat. Air mata mulai membasahi pipinya, dan isak tangis perlahan memenuhi kamarnya yang sunyi.
Sama kalian, aku terluka. Tapi tanpa kalian, aku hancur, batin Runda.
* * *
"Laya, kamu gimana sih? Sudah jam 17.30, belum juga masak? Tadi kan Bunda sudah bilang, kalau begini kita mau makan sorenya bagaimana?" ucap Bunda Laya dengan nada tinggi.
"Maaf, Bun. Aku lagi sedikit nggak enak badan. Kepalaku sakit sejak pulang sekolah, dan badanku juga agak demam," jawab Laya dengan nada datar, tanpa intonasi tinggi.
Mendengar ucapan Laya, Bunda semakin marah. Ia menarik tangan Laya dengan kasar, memaksanya bangkit dari kamarnya. Tanpa rasa belas kasihan, Bunda menyuruh Laya untuk memasak meskipun ia sedang kurang sehat. Laya hanya bisa terdiam, tak memiliki keberanian untuk melawan. Terkadang, ia bertanya-tanya, apakah ia anak atau hanya sekadar pembantu di rumah. Mengapa sikap yang ia terima tidak layak disebut sebagai kasih sayang dari orang tua terhadap anaknya?
Adzan Maghrib berkumandang dengan indah, menandakan waktu sholat telah tiba. Laya mendengarkannya dengan khidmat sambil mengolah sayur yang sudah dimasukkan ke dalam panci. Dalam waktu kurang lebih 30 menit, masakannya sudah siap. Ia menaruh hidangan itu di atas meja makan, namun tidak langsung menyantapnya. Laya memilih untuk sholat Maghrib terlebih dahulu.
Namun, setelah beberapa menit ia pergi untuk sholat, ketika kembali, ayam goreng di atas meja sudah tidak tersisa satu pun. Sayurnya pun hanya menyisakan kuah dan beberapa potong wortel. Laya menghembuskan napas panjang, berusaha menahan emosinya. Meskipun begitu, ia tahu ia tetap harus makan agar bisa minum obat.
Laya teringat saat ia sakit di sekolah. Ada Runda yang selalu inisiatif mencarikan obat untuknya di UKS. Meskipun teman-teman lain tidak sepeka Runda, Laya cukup terhibur dengan makanan yang dimasak Litha—meski menurutnya kurang enak—cerita lucu dari Dayi, dan kepolosan Asyi saat mengobrol. Kini, semua itu tidak ada lagi. Tak ada yang memeluknya, tak ada yang menghangatkan hatinya saat keluarganya bersikap jauh dari kasih sayang. Ke mana Laya harus berteduh sekarang?
Ya Allah, aku harus bersikap bagaimana agar kami bisa kembali bersatu? Aku butuh Engkau, ya Allah. Berikan kami kesempatan kedua untuk kembali bersama, batin Laya sambil mengunyah makanan perlahan. Air mata pun mulai jatuh, mengalir seperti yang lainnya.
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
Lima Senja di Langit Madrasah [END]
Ficção AdolescenteMenceritakan kisah pertemanan para gadis yang menempuh pendidikan di Madrasah Aliyah jurusan Keagamaan Islam. Mereka terdiri dari lima orang, yaitu Laya, Arundari, Lalitha, Dayi, dan Asyima. Pertemanan mereka tidak sekadar sebatas ikatan persaudaraa...