0.18 - Terasa Berat

7 2 0
                                    

Saat sahabat adalah rumah, kehilangannya terasa seperti tersesat dalam dunia yang tak lagi memiliki arah.

* * *

Litha duduk termenung di meja belajar, menatap lembar hasil penilaian harian Bahasa Indonesia. Keinginannya untuk meminta tanda tangan orang tua begitu kuat, namun keraguan menyergap. Bayangan ocehan dan teguran atas nilainya seakan sudah menggema di setiap sudut rumah. Meskipun begitu, ia tahu tak ada pilihan lain selain meminta tanda tangan ayah atau bunda.

Suara ketukan pintu memecah keheningan. Litha segera melangkah menuju pintu, hatinya berdebar, karena ia tahu salah satu dari mereka akan menanyakan soal nilainya. Di balik pintu, seorang pria berdiri dengan ekspresi masam. Tangan Litha gemetar saat ia perlahan membuka pintu.

"Kenapa nilai Bahasa Indonesianya nggak dikasih tahu ke Ayah?" tanya Ayah Litha, tangannya bersedekap di depan dada.

Litha yang awalnya menunduk, langsung mengangkat kepalanya. "Maaf, Ayah. Aku nggak bermaksud begitu. Niatku sebenarnya mau kasih nilainya setelah Isya."

Ayah Litha melangkah masuk ke kamar putrinya tanpa menunggu izin, mendekati meja belajar. Ia membalik selembar kertas yang tergeletak di atas meja, menatap angka 90 yang tertera di sana. Litha menunduk, tak berani menatap mata ayahnya. Tiba-tiba suara gebrakan meja terdengar keras. Meskipun sudah sering terjadi, Litha tetap terkejut.

"Kamu tuh belajar nggak sih, Tha? Kok cuma dapat nilai 90? Kamu ikut kelas tambahan itu biayanya mahal, jangan asyik main terus. Kurangi organisasi nggak jelasmu itu. Fokus belajar, Litha! Jangan bikin malu keluarga!" bentak Ayah Litha dengan suara menggelegar. Litha tak mampu berkata apa-apa, hanya terdiam.

"Kalau nilai kamu di bawah 95 lagi, jangan harap Ayah mau tanda tangan di kertas jelek kayak gini!" lanjut ayahnya, memberi tanda tangan dengan raut wajah penuh ketidakpuasan.

"Inshaallah, Litha akan berusaha lebih keras lagi, Ayah," ujar Litha dengan penuh tekad.

Ayahnya menghela napas sembari melangkah keluar kamar. "Jangan cuma bicara, buktikan dengan tindakan!"

Litha menutup pintu kamarnya begitu ayahnya menghilang dari pandangan. Ia terisak dalam-dalam di balik pintu yang kini tertutup rapat. Rasa sakit yang mengganjal di hatinya tak lagi bisa dibendung. Rumah yang seharusnya menjadi tempatnya berlindung, kini tak lagi terasa seperti rumah. Litha tak mampu melepas penat, kelelahan semakin menguasai, dan tak ada satu pun tempat untuknya mencurahkan segala cerita tentang hari-harinya.

Laya, Runda, Dayi, dan Asyi... aku butuh mereka, ya Allah. Mereka adalah rumahku yang sesungguhnya, batin Litha dengan hati yang semakin berat.

* * *

Dayi menatap lampu taman dengan pandangan sarat makna. Kehadirannya di sini menandakan bahwa hubungannya dengan sang mama sedang tidak harmonis. Baginya, daripada harus meluapkan amarah dengan kata-kata kasar, lebih baik ia menyendiri sejenak untuk menenangkan hati dan pikirannya. Namun, momen-momen seperti ini selalu membawa ingatannya kembali pada kenangan bersama keempat sahabatnya.

Ia membuka album di galerinya yang khusus berisi foto-foto mereka berlima. Dayi melihat foto dari awal pertemanan mereka hingga momen terakhir saat merayakan ulang tahun Runda. Senyum dan air mata hadir bersamaan—menyentuh sekaligus menyedihkan. Lucu sekali, bukan? Bibirnya tersenyum, tetapi matanya tak dapat menyembunyikan kesedihan.

"Mungkin nggak ya untuk kita bisa foto-foto berlima kayak gini lagi?" gumam Dayi masih menatap foto di layar handphone-nya.

Dayi menghembuskan napas kasar, merasakan kelelahan yang mendalam menghadapi semuanya seorang diri. Biasanya, ketika satu rumah hancur, ia bisa berteduh di rumah lainnya, yang bahkan terasa lebih nyaman dan menenangkan. Di sana, ia bisa beristirahat, melepas penat, dan membagi segala keluh kesahnya. Namun kini, Dayi merasa terluntang-lantung seperti tunawisma yang tak tahu arah. Di lubuk hatinya yang terdalam, rasa sesal mengendap dan semakin menyakitkan.

* * *

"Nomor antrean 226."

Asyi melangkah menuju loket apotek seorang diri, mengambil beberapa obat seperti amlodipin, lisinopril, dan beberapa jenis lainnya. Setelah selesai di apotek, ia tidak langsung pulang. Sebaliknya, ia melanjutkan langkahnya menuju taman Rumah Sakit Husada Bakti. Di sana, biasanya tidak banyak orang; hanya beberapa pasien yang kontrol ke poli penyakit dalam karena letaknya yang dekat.

Ia mengeluarkan sepotong roti dari dalam tasnya dan memakannya dengan tatapan kosong ke arah bunga-bunga layu. Rasanya seolah semesta mendukung kesedihan Asyi hari ini. Pada hari-hari sebelumnya, saat kontrol ke rumah sakit, grup WhatsApp mereka berlima selalu ramai. Setiap jam, bahkan setiap beberapa menit, keempat temannya bertanya tentang hasil kontrol Asyi. Namun kali ini, harapan itu tak ada. Oh, jika kalian bertanya ke mana orang tua Asyi, mereka sedang bekerja di luar kota, bahkan ketika anak mereka sakit, mereka tak ada di sisinya.

"Dulu, saat Mimi dan Pipi bekerja, aku tidak merasa kesepian karena ada teman-teman di sekitarku. Tapi sekarang, rasanya sangat hampa, ya Allah," gumam Asyi pelan sambil menatap bungkus roti.

Meskipun Asyi adalah anak bungsu, ia dituntut untuk bersikap lebih dewasa daripada kakak pertamanya. Orang tuanya bekerja di luar kota, dan kakak laki-lakinya juga kuliah jauh, sementara Asyi tinggal di rumah bersama paman dan bibinya. Mereka hanya mengurus keperluan dasar, seperti membersihkan rumah dan memasak tiga kali sehari untuknya. Sebagai remaja, Asyi masih membutuhkan bimbingan dan teman untuk berbagi cerita, meskipun ia sudah berusia 17 tahun.

Asyi tiba-tiba mengernyitkan dahi, memikirkan sesuatu dalam benaknya. "Aku tahu cara agar kita bisa kembali bersama."

* * *

Lima Senja di Langit Madrasah [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang