47. Kesempatan

912 141 184
                                    

Wanita itu duduk di meja kafe, menatap gadis yang baru saja duduk di depannya dengan tatapan tajam. Kafe yang awalnya terasa hangat dan nyaman mendadak berubah menjadi tempat yang penuh ketegangan.

Bunyi sendok dan garpu yang saling beradu, gemericik kopi yang diseduh, bahkan obrolan dari pengunjung lain, semuanya seolah meredam di latar belakang, tenggelam dalam aura dingin yang memancar dari wanita itu.

"Kamu pikir anak saya gampang dimainin?" suara wanita itu memotong keheningan, setiap katanya terdengar tegas, tajam, seakan menusuk langsung ke dada gadis di depannya.

Rora—begitu nama gadis itu—mencoba menjaga ekspresi tenang meskipun jantungnya berdebar keras. Dia menatap ke arah cangkir kopinya, belum berani menatap langsung mata wanita yang jelas tidak bersahabat itu.

"Maaf tante—aunty? Aku gak ngerti..." jawabnya pelan, mencoba mencari jalan keluar dari situasi ini.

Wanita itu tidak memberikan respons selain dengusan pendek yang penuh ketidakpercayaan. Dia meluruskan duduknya, mengarahkan pandangannya tajam ke arah Rora, memanggil dengan nada menusuk. "Rora?"

Rora menggeleng cepat, canggung, berharap dipanggil dengan nama kecilnya, seperti biasanya orang tua memanggilnya “Dain aja..." dia memohon.

Ada jeda yang panjang di antara mereka, diisi oleh ketegangan yang semakin mengental. Wanita itu memandangnya, tanpa berkata-kata, hanya menilai dan mengukur, seolah-olah dia bisa melihat langsung ke dalam pikiran Rora.

"Jauhi anak saya," kata wanita itu dengan tegas, nadanya rendah tapi berat, seolah menegaskan bahwa ini bukan permintaan, melainkan perintah.

Rora mengangguk pelan, tangannya menggenggam tepi kursi dengan erat. “Iya,” bisiknya hampir tak terdengar, merasa bahwa menolak sama sekali bukanlah pilihan.

"Saya gak main-main." Tekanan di balik kata-kata itu semakin terasa. Suara wanita itu tajam, hampir seperti pisau yang menusuk perlahan, membuat Rora semakin merasa terperangkap.

Rora menundukkan kepala lebih dalam, menghindari tatapan menusuk itu, merasakan bagaimana dunia di sekelilingnya seakan semakin menyempit.

"Kamu siapanya Lee Dahye?" Pertanyaan itu membuat Rora mendongak tiba-tiba. Nama itu. Nama yang tak pernah dia duga akan muncul di sini.

“Aunt—tante kenal?” Rora bertanya, suaranya sedikit gemetar, merasa ada sesuatu yang lebih besar sedang terjadi daripada yang bisa dia pahami.

Wanita itu tidak menjawab dengan segera. Dia menatap Rora dengan dingin, mempelajari setiap ekspresi yang muncul di wajahnya, seakan menunggu celah. "Saya sedang bertanya di sini," kata wanita itu dengan dingin, memberikan tekanan lebih.

Sekeliling mereka di kafe itu seolah membeku. Meski suara dari tamu-tamu lain masih terdengar samar, ketegangan di meja mereka jelas terasa berbeda. Rora merasa semakin tenggelam, seolah wanita itu adalah hakim yang akan memutuskan nasibnya di sana dan saat itu juga.

Sambil menghela napas dalam, Rora menyadari bahwa apapun yang terjadi setelah ini, tidak ada jalan mudah untuk keluar dari percakapan ini.

"Itu ibu kandung saya..." suara Rora pelan, nyaris seperti bisikan. Ucapannya seolah menghantam udara yang tadinya sudah berat dengan ketegangan, kini terasa semakin pekat.

Orang-orang di meja itu, tunggu, orang-orang? Benar, tidak hanya Rora dan Maminya Ahyeon tapi termasuk teman-teman Maminya. Tidak mengeluarkan suara. Keheningan yang mendadak menggantung di antara mereka, seolah menyelimuti kafe kecil itu dengan aura dingin.

Mereka tidak menyangka akan mendengar pengakuan seperti itu dari Rora, gadis yang selama ini selalu tampak menunduk dan menghindari sorotan.

"Pantas," salah satu dari mereka akhirnya bersuara, mencairkan keheningan yang membekukan. Suaranya terdengar tajam, penuh ejekan, menyiratkan ketidakpedulian yang kejam.

Gengsi [Pinksoz/Royeon]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang