Stasiun kereta itu ramai, penuh sesak oleh orang-orang yang hilir mudik. Suara langkah kaki bercampur dengan deru roda koper dan pengumuman keberangkatan dari pengeras suara yang terus-menerus memecah suasana. Namun, bagi Rora, semua itu terasa seperti latar belakang kabur dari kegelisahan yang mengguncang dirinya.
Dia duduk di salah satu bangku panjang yang terletak di dekat peron, menunggu. Menunggu kereta, menunggu kakaknya yang sedang sibuk mengurus pendaftarannya di sekolah baru, dan juga menunggu giliran terapi yang akan datang nanti.
Rasa penantian itu berat, seolah waktu di stasiun itu bergerak lebih lambat dari biasanya. Jam besar di tengah ruangan terasa seperti menghentak pikirannya, menghitung setiap detik yang berlalu dengan dentingan yang mengganggu.
Kakinya bergerak gelisah, tanpa disadari, mengetuk lantai berulang kali. Dia butuh sesuatu—bukan sesuatu yang bisa dia beli di kios terdekat, tapi sesuatu yang lebih mendalam.
Dia ingin obat tidurnya. Dia ingin obat pereda rasa nyerinya. Dimana dia sekarang? Maksudnya dimana obat itu sekarang?
Yang dia hanya tahu bahwa rasa sakit itu, baik fisik maupun mental, semakin mendesak di dalam dirinya.
Lalu tiba-tiba, dia merasakan sebuah tepukan di pundaknya. Sentuhan itu membuatnya tersentak keluar dari lamunannya. Dia menoleh, dan di sana berdiri seseorang yang membuat pikirannya semakin kusut.
Sarang.
Gadis itu berdiri dengan sikap santai, tapi ekspresi di wajahnya tetap sulit ditebak. Perasaan Rora pada Sarang selalu campur aduk. Gadis itu pernah membantunya, tapi juga pernah menyakitinya. Dalam hidupnya yang penuh liku, Sarang adalah sosok abu-abu, berada di antara baik dan buruk.
"Lari lagi?" tanya Sarang, nadanya datar namun penuh makna.
Rora menggeleng lemah. "Harusnya dari awal sudah sadar diri."
"Hm?" gumam Sarang, menunggu penjelasan lebih lanjut, namun tidak ada kelanjutan dari Rora. Dia hanya menunduk, menahan segala kekacauan yang bergumul dalam pikirannya.
Keheningan melingkupi mereka, sesaat yang terasa seperti berjam-jam. Udara di sekitar mereka dipenuhi dengan suara stasiun yang ramai, tapi di antara keduanya, semuanya terasa begitu sepi.
Perlahan, Rora bangkit dari tempat duduknya. Dia menggenggam tangan Sarang yang sebelumnya menepuk pundaknya. Sarang menatapnya dengan alis terangkat, tidak paham apa yang akan dilakukan Rora.
Lalu, dengan gerakan yang sangat pelan namun penuh emosi, Rora menunduk dalam. Dia menempatkan tangan Sarang di dahinya, sebuah gestur yang penuh rasa terima kasih, penuh penghormatan. Bibir Rora bergetar saat dia berbisik, suaranya tersendat oleh air mata yang mulai menggenang.
"Terima kasih... sudah kasihan..." bisiknya lirih, nyaris tak terdengar di antara kebisingan stasiun.
"Terima kasih..."
"Sungguh..."
"Kalau kakak gak kasihan aku gak tahu..."
"Terima kasih..."
Sarang terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Tidak ada yang pernah memperlakukannya seperti ini sebelumnya. Tangannya masih berada di atas kepala Rora, tapi sekarang terasa canggung. Secara perlahan, seolah-olah tangannya terbuat dari kaca, Sarang menarik tangannya kembali, membiarkan Rora tetap menunduk.
Rora tetap di posisi itu, menunduk dengan air mata yang semakin deras. Dia merasa hancur, tapi pada saat yang sama, ada rasa syukur yang tak terlukiskan. Syukur karena, meski melalui semua rasa sakit, masih ada seseorang yang—entah dengan cara apa—membantu dirinya keluar dari kegelapan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gengsi [Pinksoz/Royeon]
Romance[Genre: Romance & Slowburn.] [Sedang berkolaborasi dengan 🤍my honey🤍 Author "BUCIN 99% (Chisa)" @Chiki_bm7.] Ahyeon, seorang kakak kelas yang anggun namun terkenal dengan sikap gengsinya yang sulit didekati, dan Rora, seorang adik kelas yang juga...