13.

1.3K 248 11
                                    





"Yang mulia, apakah anda membenci Archduke?" Tanya Dane. Dia menyesap susu yang berada di botol minumnya sembari melirik kedepan, Kaisar yang duduk dengan bersahaja dan penuh wibawa.

Kaisar menghela nafas kecil, "Kenapa kau mengatakan itu, putra mahkota?"

Dane selalu tertunduk lesu ketika Kaisar menggunakan panggilan itu kepadanya. Seolah-olah membatasi dirinya dengan orang yang melahirkan dia. "Karena anda membuat Archduke merasa sedih."

Kaisar terdiam sesaat. Apa benar Archduke merasa sedih? Tidak, pasti Dane salah paham karena ia lama bersama Archduke. Tidak mungkin Archduke bisa merasa sedih. Pria yang bahkan tidak meneteskan air mata barang sedikitpun saat orangtuanya meninggal. Orang yang menghukum saudara-saudaranya dengan sadis itu.

"Aku tidak membencinya," jawab Kaisar, singkat.

"Meski saya tidak paham kenapa anda memberi jarak pada diri anda dan Archduke, anda tidak membatasi hubungan saya dengan Archduke."

Dane benar. Tentu saja. Kaisar terkekeh. Putranya memamg cerdas, bahkan ketika dia belum genap empat tahun. Kaisar merasa bangga dan sedih. Dane jadi terlalu cepat dewasa karena dirinya. Karena posisi berat yang ia berikan kepada Dane. Ia ingin mempersiapkan putranya itu menjadi Kaisar yang dihormati dan disayangi. Tetapi jadi lemah hanya akan membunuh putranya. Dia tidak ingin putranya hidup seperti itu.

Kaisar tidak ingin Archduke berpaling pada Dane. Hanya itu yang dia harapkan. Mungkin di masa depan, Archduke tidak akan menatapnya dan menemuinya lagi untuk hal-hal tidak penting seperti sekarang, tetapi ia tidak ingin Archduke melakukan hal yang sama pada Dane.

Dia ingin Dane mendapat support dari Archduke. Kaisar tahu betapa bodoh dan egois keinginannya,

Tapi, ia tidak bisa tidak khawatir pada Dane setiap harinya.

Apa yang akan terjadi pada Dane jika ia tidak ada?

Dane menatap Kaisar dengan tatapan polosnya itu, namun Kaisar tahu bahwa didalam kepala kecilnya itu, ia sedang menelaah situasi dan mencoba membaca isi pikiran dari Kaisar. Kaisar mengajarinya itu. Cara membaca situasi dan perasaan orang lain.

Dane kemudian mengernyit dan melepas botol susu itu dari mulutnya, "Yang Mulia, pinggang anda masih belum sembuh?"

Ujung mata Kaisar sedikit berjengit ketika mendengar ucapan polos dari putranya yang masih sedikit cadel itu. "Apa?"

"Pinggang anda. Luka tusukan yang anda dapat sebulan lalu tidak sembuh juga?"

Kaisar, didalam hati, melompat kegirangan saat melihat observasi jitu dari putra mahkota yang dengan cepat mengetahui kondisinya. Ia bahkan tidak peduli dengan kondisi luka yang ia alami disekitar pinggulnya.

"Tenanglah. Luka seperti ini bukan apa-apa."

Putra Mahkota mengangkat sebelah alisnya, "Yang Mulia, jika luka itu masih belum sembuh padahal sudah satu bulan berlalu, berarti ada yang salah."

"Kau kira itu mudah untuk menyembuhkan luka tusukan, Putra Mahkota?"

"Setidaknya saya tahu bahwa anda tidak akan sepucat ini jika lukanya tidak separah itu."

Kaisar sedikit terkejut. Dia menyentuh wajahnya sendiri. Apakah benar ia terlihat pucat? Tidak mungkin. Bahkan ajudannya yang berada disisinya sepanjang waktu tidak menyadari jika dirinya masih sakit. Lalu mengapa putranya yang masih kecil itu bisa sadar?

"Yang Mulia." Dane berbicara dengan nada sedih. "Anda butuh bantuan Archduke, kan? Mari kita minta bantuan Archduke."

"Tidak, Putra Mahkota."

"Yang mulia—"

"Tidak." Tegas Kaisar. "Meminta bantuan pada orang asing hanya akan membuat kita berhutang—"

"Tidak!" Dane berteriak. Baru kali ini Kaisar melihat Putra Mahkota yang biasanya pendiam dan baik itu berteriak kepadanya. Beberapa saat kemudian, setelah teriakan itu, Putra Mahkota tampak menahan air matanya yang siap jatuh. Didalam kereta kuda yang mereka tumpangi itu, Dane memegang celana kekaisaran milik Kaisar dan memohon.

"Archduke adalah ayahku, yang mulia. Tolong..."

Kaisar tampak tertegun sesaat.

"Meski bagi anda Archduke hanyalah orang asing, tapi dia ayahku, dia akan mengabulkan permintaanku."

Kaisar kasihan pada Putra Mahkota. Ia pasti menyembunyikan perasaannya sendiri jauh didalam lubuk hatinya karena beban yang telah dilimpahkan Kaisar diatas pundak kecilnya itu. Perlahan, Kaisar menyentuh tangan kecil itu dan menggenggamnya erat. Kaisar ingin memberitahu Putra Mahkota bahwa dirinya baik-baik saja.

Tidak,

Ia harus baik-baik saja.

"Putra Mahkota, aku menghargai kekhawatiranmu." Kaisar tidak berucap apa-apa lagi setelahnya. Ia menatap Putra Mahkota dengan tatapan hangat. Itu adalah penolakan dari Kaisar. Putra Mahkota tahu betul apa alasannya menolak meminta tolong pada Archduke.

Tetapi ia kesal.

Sang Putra Mahkota kesal karena sekarang ia belum mampu melakukan apapun bahkan untuk sekadar memberi solusi pada Kaisar.




***

Kaisar ditusuk dengan pedang beracun. Alasan mengapa tidak ada perkembangan bagus pada luka tusuknya adalah karena ujung dari pedang itu beracun. Racun itu menghambat segala obat dan ramuan yang diberikan pada Kaisar untuk menyembuhkan luka itu.

Sebulan ini, Kaisar telah memerintahkan pasukan bayangannya untuk mencari penawar dari racun itu. Karena Kaisar hampir mengerahkan seluruh penjaganya yang berkemampuan untuk itu, ia kekurangan orang untuk menjaga Putra Mahkota. Itu sebabnya ia mengirim Putra Mahkota kepada Archduke.

Sialnya, setelah satu bulan mencari tahu mengenai racun itu, Kaisar baru mengetahui bahwa racun yang melukainya dijual oleh Archduke. Bukannya dia mencurigai Archduke mencoba membunuhnya. Archduke itu pedagang. Pria itu pasti tidak tahu menahu dan tidak mau tahu tentang untuk apa barang yang ia jual dipergunakan.

Ia pasti juga tidak tahu jikalau racun yang ia jual lewat pasar gelap itu digunakan untuk melukai Kaisar.

Yah,

Untuk apa juga dia tahu?

Kaisar mendengus, menahan rasa sakit yang tidak tertahankan di area lukanya. Luka itu terus saja terbuka meski dijahit dan mulai melebar. Mungkin karena penyembuhannya terhambat, lukanya mulai terlihat lebam dan membiru disekitar perutnya. Rasanya sakit, tentu saja. Para ksatria rahasia yang melayani langsung Kaisar saja heran bagaimana bisa Kaisar menahan sakit mengerikan selama itu. Kaisar selama ini pasti bertahan karena tidak mampu meninggalkan Putra Mahkota.

"Merchant dari asosiasi gelap Archduke pasti punya penawar racun itu. Coba dapatkan dari mereka."

"Yang mulia, penawarnya hanya bisa didapatkan dari Archduke secara langsung."

"Apa?!"

Prajurit gelap itu menunduk, merasa tatapan tajam dari Kaisar yang menuntut penjelasan. "Karena racun itu barang mahal, penawarnya tidak bisa sembarang dibuat. Hanya Archduke yang bisa membuat penawarnya."

"Sial..." Kaisar mengumpat lagi.

Mengapa ia begitu sial?

Marry The EmperorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang