the realization

342 45 2
                                    

Maka benar saja, tanpa ragu-ragu, Jendra memutus jarak itu, jarak yang sedikit terbentuk di antara keduanya, agar tidak melebar melebihi ini. Dengan keberanian yang ia miliki, ia mencoba untuk mengikis jarak itu sedikit demi sedikit. Ia luangkan waktu istirahat untuk hadir bersama Hesya, ia beranikan diri untuk memperluas relasi dengan teman-teman Hesya, yang mana adalah kakak kelasnya.

Hari demi hari, Jendra luapkan bersama Hesya, rutinitas dulu ia ulangi kembali, pulang dan berangkat bersama, menghabiskan waktu istirahat bersama di kantin, dan melakukan hal gila anak SMA lainnya bersama. Jendra lega akan hal itu, Jendra senang, bahwa sebagian hidup Hesya ternyata juga diisi oleh sosok Jendra.

"Mau ambil jurusan apa?" tanya Jendra pada Hesya yang sibuk dengan laptopnya di meja belajar kamarnya.

Mengusak kepala dengan kasar, "kayaknya soshum."

Tahun terakhir di sekolah menengah atas bagi Hesya, ternyata kisah mereka sudah sampai tahap ini.

"Ah, gatau deh pusing gue." merasa frustasi, Hesya menyerah dan langsung rebahkan diri di atas kasur miliknya, sementara Jendra tetap duduk di lantai bersandar pada kasur milik Hesya.

"Kalau soshum, jurusan apa?"

"Bunda suruh sih Akuntansi, ya gue juga gapapa aja sebenarnya."

"Dimana?"

Hesya mengalihkan pandangan dari ponsel di genggaman tangan untuk menatap Jendra, merasa aneh pada pertanyaan barusan.

"Ya mau di mana lagi? UGM paling, Bunda pasti gak bolehin jauh-jauh."

Jendra sudah tahu jawaban itu, tapi tetap ia utarakan dengan lantang pada pemilik surai magenta. Jendra hanya butuh validasi, walau dalam hatinya, sudah mendamba universitas lain sejak dulu. Tapi, ia putuskan ketika nama lembaga itu keluar dari mulut Hesya, maka ia berdedikasi untuk menuju ke tempat yang sama.

"Lo udah ada kepikiran?"

"Ada."

"Serius? Mau ambil apa?"

"Teknik, hmm.. sipil? Mungkin."

"Kerenn! Di UGM 'kan?" seringai muncul pada belah bibir Hesya, Jendra balas tatap.

"Iya."

- - -

10 Juli 2019

--cekrek!

Kali ini, bukan kamera ponsel Jendra. Tapi kamera lensa merk Canon milik panitia, memotret indahnya siswa-siswi yang marayakan kelulusannya.

Hesya salah satunya, peraih penghargaan siswa terbaik, dengan bangga, berhasil meraih jurusan di universitas impiannya.

"Habis ini jangan kalap hitung duitnya yaa."

"Semoga tiap hari hitungannya balance ya, kakak ganteng."

"Itu lu itung duit segitu banyak punya siapa coba? duit dari mana?"

"Congratsss anak UGM nih yaa!"

"Ini admin @ugmganteng gak mau langsung upload muka lu aja Sya?"

Serangkaian ucapan dan candaan untuk Hesya tiada habisnya Jendra dengar, sudah jelas. Peraih predikat siswa terbaik, dengan selempang emas menghiasi bahunya, sebuket dua buket bunga Hesya genggam dengan kesulitan. Setelan jas hitam menghiasi tubuhnya, Jendra benar-benar merasa Hesya sangat-sangat... menawan. Apabila diperbolehkan, mungkin Jendra bisa menatap sosok itu sampai selama mungkin matanya bisa terbuka.

Jangan katai Jendra, ia mendaftarkan diri dengan serius untuk menjadi salah-satu panitia penyelenggaraan kelulusan kakak kelasnya, walau tidak berasal dari angkatan yang sama, Jendra benar-benar memohon agar bisa menjadi panitia, ia ingin datang, ke tempat ini, ke tempat terbahagia Hesya saat ini, untuk melihat Hesya menampilkan senyuman seluas samudera di hadapannya.

"HAI! Capek, gak? Jadi panitia? HAHA" panggil Hesya dari sedikit kejauhan, dengan segera Jendra mengikis jarak itu.

"Biasa aja."

"Ah, masa sih? Capek tauuu, ribet."

5 detik, 3 detik, 1 detik, Jendra terdiam sebentar, tanpa berkata apapun, hanya menatapi lukisan Tuhan di hadapannya kini dengan sangat seksama. Merapal kata indah, sangat indah, di dalam pikirnya.

"Woi?"

"Oh, apanya yang ribet? Bukannya lo ya? Bunganya kebanyakan tuh, mau gua bantu bawain?"

"Ohh ini? Gapapa, masih ada lagi sebenarnya, tapi udah gue taroh di meja gue, ini mau gue taroh sana juga."

"Ohh okay. Mau gua bantu tarohin?"

"Apa sih? Lo tuh panitia, bukan babysitter gue ya anjir?"

"Hahaha, cuma tawarin, kok."

"Jendra! Hesya! Liat kamera dong!"

Suara panitia dokumentasi secara tiba-tiba buat kaget keduanya, reflek menghadap ke arah suara tanpa tahu diri mereka akan langsung terjepret kamera tanpa adanya aba-aba lagi.

"Eh, belum siap! Ulang dong!"

"Jatah satu orang cuma satu! Sorry ya, bye-bye!" ucap orang itu sambil tertawa meninggalkan keduanya.

"Males deh, HP lo ada gak, Je? Pake HP lo aja dong foto lagi."

Deg, deg, deg.

"Jendra?"

"Itu suara apa ya?"

"Hah? Suara apanya? Musik dari speaker?"

"Bukan. Sorry, gua keluar dulu."

"Hah? Apa sih? Jendra!"

Sumpah demi Tuhan, Jendra pusing, Jendra bingung, ia tidak tahu apa yang merasukinya sepersekian detik tadi, yang jadikan dirinya reflek merangkul pinggang Hesya agar makhluk indah itu tidak terjatuh ketika menoleh dengan cepat secara tiba-tiba.

Deg, deg, deg.

Suara itu, masih di situ. Jendra kesal. Kenapa sih? Wajahnya memerah panas, memegangi dadanya, Jendra mengingat indahnya Hesya saat tubuh keduanya sedekat itu. Tidak ada lagi jarak yang memisahkan. Wangi, Hesya sangat wangi. Jendra pikir, mungkin otak dan dadanya saat ini mengalami korslet.

"Lo udah gila, Jendra." ucapnya pada dirinya sendiri.

At the End of the Day [JAYSEUNG]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang