Jendra Dirga Ghifari, 28 tahun, pekerja kantoran perusahaan Deloitte, lulusan teknik sipil di Universitas Gadjah Mada. Seumur hidupnya, Jendra hanya keliling Yogyakarta saja, bahkan sejak umurnya nol tahun. Benar, Jendra lahir di Yogyakarta, 20 April 2002. Menempuh pendidikan dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi hanya di kota kelahirannya, yang dalam sebagian besar hidupnya dibersamai oleh Edgar Hesya Ethaniel.
Sejak usianya 13 tahun dan memasuki tahun pertama di sekolah menengah pertama, keluarga Jendra memutuskan untuk mengungsi ke kabupaten lain di kota Yogyakarta, akibat jarak yang perlu ditempuh Jendra untuk ke sekolah ketika itu mencapai 10km dari rumahnya.
Keluarga Jendra memutuskan untuk menetap di salah satu rumah bercat abu-abu terang di lingkungan yang asri, nyaman, dan penuh kebahagiaan. Rumah itulah yang membawanya bertemu seorang Edgar Hesya Ethaniel. Salah satu nama yang cukup sulit untuk Jendra rapalkan ketika itu, nama elit, batinnya.
Jendra pertama kali menurunkan kakinya dari mobil, pukul 17.20 sore, terang, cukup hening, sebelum ia menginjakkan kakinya pertama kali di teras rumah. Ibu dan Ayahnya sibuk membongkar bagasi mobil untuk menurunkan segala hiruk pikuk barang pindahan, ketika sekumpulan anak laki-laki berlarian dan bersepeda, melewati rumah mereka, tertawa riang bak tak punya beban di dunia. Suasana menjadi lebih ramai, diwarnai terangnya golden hour dari cahaya matahari, mereka menyapa Ibu dan Ayah Jendra sambil tersenyum.
Netra Jendra menangkap, bahwasannya sekumpulan anak itu ternyata menurunkan seorang bocah lelaki kecil dari salah satu sepeda ke rumah yang berada di sebelah kanan rumahnya. Warna rambut hitam legam, tetapi sedikit keunguan, mungkin efek cahaya matahari sore. Jendra tidak begitu peduli dan hendak membantu kedua orang tuanya.
- - -
"Ayo temani Ibu ke rumah tetangga sebelah." kata Ibu setelah selesai mencuci piring kotor sehabis makan malam dan melangkah mendekati Jendra yang duduk di sofa ruang tengah menonton siaran televisi.
"Harus banget?" Jendra menoleh dan bertanya, mengingat Jendra sedang agak malas untuk bertemu orang baru.
"Ayo." ucap Ibu seraya mengambil bingkisan di meja ruang tengah dan bergegas ke depan pintu.
"Ayo, Jendra."
Harus bagaimana lagi, 'kan?
"Iyaa, Ibu." Balas Jendra sembari berangkat dari atas sofanya menuju Ibu yang sudah siap bergegas keluar dari pintu.
- - -
"Edgar Hesya Ethaniel, panggil aja Esa kalo kesusahan."
"Apanya yang susah?"
"Namaku."
"Oh, oke, Hesa."
"Bukan Hesa, tapi Esa atau Esya atau Hesya."
"Emang kenapa gak boleh dipanggil Hesa?"
-"Hahahahah! Lucunya kalian berdua!" potong Ibu sambil tertawa, menunduk dan menarik Jendra ke dalam pelukannya, takut terjadi perkelahian jika konversasi kedua bocil ini dilanjutkan.
Bunda Hesya pun ikut tertawa melihat interaksi mereka berdua.
"Jendra umur berapa, Tan?"
"Harusnya seumuran sih, Jendra umur 13 tahun ini. Sekolahnya baru mau masuk di SMP Negeri 1 Sleman itu."
"Ohya? Sama dong! Esa juga di sana, tapi dia udah naik kelas dua nih, umurnya 14, tahun ini naik 15, iya 'kan, Sa?"
"Mhm." angguk Hesya.
"Wah... kakak kelasnya Jendra dong ternyata? Wah Jendra harus baik-baik nih sama kakak kelasnya, gak boleh berantem lohh." usil Ibu sambil toel-toel pipi Jendra.
"Oke, kalau dianya yang gak ajak aku berantem."
"Esa gak pernah berantem, Jendra. Esa punya banyak temen kok. Pasti kamu bakal kepengen temenan sama Esa."
--ya, ada betulnya perkataan itu. Ternyata Jendra memang benar-benar menginginkan Hesya, menjadi teman, dan lebih, serta kalau Jendra diperbolehkan untuk menambahkan kata "hidup" di belakang kata teman itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
At the End of the Day [JAYSEUNG]
Romanswill they make it, until this end of the day? jay x heeseung