"Kak.. dibuka dong pintunya.. ayo ngobrol sebentar saja.." ucap Bunda sembari ketuk pintu kamar Hesya berulang kali.
Kabarnya, keluarga Jendra telah kembali pulang ke rumahnya yang hanya berjarak beberapa langkah kaki dari rumah Hesya.
Ternyata, maksud dan tujuan pertemuan kedua keluarga tersebut belum bisa terealisasi dengan baik.
Bunda masih sangat merasa bersalah walau sudah utarakan beribu maaf pada keluarga Jendra. Bunda telah katakan juga bahwa ia akan berusaha untuk bicara lebih matang lagi dengan Hesya, karena Bunda sangat tahu, faktanya adalah Jendra tidak pernah pendam rasa itu sendirian.
"Bun, Hesya mau ke toilet."
"Hesa, Ayah, dan Bunda."
Deg, deg, deg.
"Maksud kedatangan saya siang ini adalah ingin menyampaikan ketulusan hati saya, bahwa saya mencintai He-"
-"Bisa Hesya ke toilet sekarang?"
Potong Hesya tergesa-gesa sambil tiba-tiba mendirikan tubuhnya, seperti sudah siap beranjak untuk lari dari skenario dan situasi apa pun yang sedang menimpanya ini.
Hasilkan seorang Edgar Hesya Ethaniel yang kini sudah menetap di kamarnya selama berapa pun waktu yang bisa ia tahan, dua, tiga, empat jam.
Pasalnya, Hesya rasa ia telah menghancurkan peristiwa yang seharusnya menjadi memori paling berharga bagi Jendra itu, dengan ia yang memotong perkataan Jendra secara sepihak, dan berakhir meninggalkan kedua keluarga itu tanpa pamit dengan dalih pergi ke toilet, sudah tidak ada lagi harga diri Hesya untuk berhadapan dengan keluarga Jendra.
Hesya meringis, sedikit kebingungan, kelimpungan, tidak bisa berpikir apa pun.
Apa tadi katanya? Jendra mencintai Hesya?
Sejak kapan?
Hesya benar-benar seperti tidak tahu arah, tidak bisa tidur. Ia sedari tadi hanya gulingkan tubuh asal ke segala arah di atas kasurnya, matanya tidak mau terpejam, tatapannya hanya kosong.
- - -
20 Juni 2030
Keesokan harinya, Hesya keluar dan bawa turunkan dirinya dari kamar dengan lemas untuk berniat berangkat ke kantor pada senin pagi yang tiba-tiba berasa beban di pundak menjadi sedikit lebih berat.
Hesya dudukkan diri di kursi ruang makan dengan segala hidangan sarapan telah tersaji rapi di hadapannya.
Faktanya, tidak ada eksistensi Jendra pagi ini untuk sekadar santap sarapan bersama dan antarkan dirinya berangkat ke kantor.
Hesya lemas sekali, tidak makan seharian, tidak bisa tidur barang 30 menit pun, pikirkan segala kemungkinan terburuk yang bisa terjadi kedepannya, hasilkan kantung mata menghitam legam hiasi wajah Hesya pagi ini.
"Woy! Bengong aja, makan dulu, kalau mati banyak yang nangis ntar." ucap Riki hilangkan lamunan Hesya.
"Bunda lagi ke pasar. Lu nanti naik apa ke kantornya Kak? Ga mungkin minta Bang Jendra 'kan?" ejek Riki pada Hesya, hasilkan cekikikan kecil ketika melihat si target sasaran makin merasa terpuruk dan lepaskan ekspresi lesu.
"Naik gocar kayaknya, kamu? Motornya masih dipake Bunda 'kan?"
"Tinggal nunggu Bunda balik."
"Gak bakal telat?"
"Enggak, elah. Bukannya lu yang bisa telat Kak?"
Reflek hasilkan Hesya lirikkan matanya pada jam di pergelangan tangan kirinya, menunjukkan pukul 06.40 pagi di hari senin. Kesibukan lalu lintas pasti sedang meningkat tajam.
Mampus saja Hesya pagi ini, belum penuh satu hari ia lalui, tetapi dirinya sudah yakin akan jadikan hari ini dengan penghargaan sebagai hari terburuk Hesya.
Hesya hanya bisa keluarkan lenguhan lelah.
KAMU SEDANG MEMBACA
At the End of the Day [JAYSEUNG]
Romancewill they make it, until this end of the day? jay x heeseung