the attempts

304 39 4
                                    

Bunda Hesa
Mas Jen, boleh tolong jemput Esa di kantor? Hujan gak ada gocar yang mau ambil. Tolong ya Mas.

Me
Hesa nya belum pulang Bun?

Bunda Hesa
Belum Mas, tadi tenggo nya telat sedikit katanya.

Me
Oh oke. Siap Bunda, ini Jendra jalan sekarang.

Waktu pada dashboard mobil Jendra sudah menunjukkan pukul 5 sore. Hujan menghiasi langit dan membuatnya gelap sebelum waktunya.

Jendra sudah pulangkan dirinya ke rumah lebih dulu dari biasanya. Pekerjaannya sudah ia selesaikan seluruhnya sebelum jam pulang menghampiri. Namun, ketika baru dudukkan diri pada sofa rumah, hendak beristirahat sebentar sebelum segerakan membersihkan diri, tiba-tiba mendapati pesan dari Bunda yang urgensinya harus Jendra lakukan sekarang juga.

Hasilkan ia yang kini siap kembali menerobos hujan sore untuk menuju kantor Hesya, jaraknya tidak begitu jauh. Namun, butuh waktu lebih lama akibat lalu lintas yang padat bukan main. Kota Yogyakarta sama halnya dengan Ibu Kota ketika jam pulang sedang mengudara.

Jantungnya berdegup sedikit lebih cepat, ketika mobilnya sudah tinggal hitungan menit mencapai lobby kantor Hesya. Maka, ia parkirkan mobil tidak jauh dari sana, turunkan diri dengan lengan yang menggantung pada payung. Menemui Hesya yang terlihat sedang duduk manis menunggu di sofa lobby.

Jendra bingung, haruskah ia masuk dan menjemput Hesya? Haruskah ia mengajak Hesya untuk menjadi passanger princess mobilnya sore ini? Atau haruskah ia hanya berikan sebuah payung lipat yang sedari tadi ia genggam?

Jendra tundukkan kepala dan putuskan untuk langkahkan kaki menerobos sensor pintu lobby yang buatnya otomatis terbuka, tidak peduli bagaimana skenario yang akan terjadi setelahnya.

Namun ketika pintu itu terbuka, netranya menangkap sepasang sepatu hitam mengkilat yang kini berada tepat di hadapannya, di salah satu sisi lainnya dari pintu kaca itu.

Ketika kepalanya ia dongakkan, kedua netra mereka bertemu. Sudah lama Jendra tidak lihat itu, mata cantik yang hiasi wajah yang cantik pula.

"Hesa." panggil Jendra tiba-tiba, jantungnya kembali berdegup tidak karuan. Tenggorokannya seperti sedang tercekat, sesak dan tidak tahu ingin keluarkan kata-kata apa.

Hesya hanya menatapnya, hanya netra mereka yang berkonversasi, lima detik, tiga detik, satu detik. Tanpa mengatakan apa pun, Hesya melenggang keluar melewati Jendra begitu saja.

Me
Bunda, Maaf Hesa nya sudah pulang, sudah dapat taxi ternyata.

Jam menunjukkan pukul enam sore. Sepertinya, Jendra harus segera pulang, sebelum larut malam dan ramainya lalu lintas malam sabtu menghantui dirinya.

Ternyata, hujan sudah mereda sedari tadi, tinggalkan hanya beberapa rintik gerimis kecil.

- - -

jeglek.

Suara pintu utama rumah Hesya terdengar masuk ke telinga Bunda yang sedang berada di ruang tengah. Segera Bunda mencegat Hesya sebelum ia naikkan diri dan kunci pintu kamarnya rapat-rapat.

"Esa, bukannya tadi sudah dijemput Mas Jen? Kenapa malah naik taxi?" geram Bunda dengan naikkan sedikit intonasi nada bicaranya.

"Enggak tuh? Tadi Hesya emang udah dapet taxi duluan sebelum Jendra dateng. Bukan salah Hesya dong? Bunda ya yang nyuruh Jendra jemput Hesya?"

"Kakak."

"Apa, Bunda? Hesya capek, mau cepet mandi terus bobo."

"Kak. Jangan bebal begitu, dong. Kemarin katanya mau coba sama Mas Jen? Ini sudah Bunda bantuin loh."

"Hesya gak bilang gitu."

"Hesya lagi gak mau ketemu Jendra, Bunda." Hesya alihkan wajahnya dari Bunda, dan berakhir langkahkan kedua kakinya menaiki anak tangga.

"Hah.. coba dipikirkan ulang, Esa. Mas Jendra itu sempurna, gak ada kurangnya loh. Ya, Esa juga sama sempurnanya. Cocok saja Bunda lihat kok. Sangat cocok."

"Mau sampai kapan kamu hindari Mas Jendra? Kasihan loh, anaknya baik begitu. Kalau memang beneran Esa gak mau, Esa bisa bilang ke Mas Jen, tolak dia, Kak."

Dada Hesya rasanya sesak.

Me
bisa ketemu malem ini?
sekarang maksudnya

Jendra
iya sa
tunggu ya, baru selesai mandi

At the End of the Day [JAYSEUNG]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang