the decision

391 47 5
                                    

"Ya kalau ada yang lamar Hesya sekarang juga, bakal Hesya mau-in Bun!"

Kalimat itu terus terputar ulang seperti kaset rusak di otak Jendra.

Bikin pusing, Hesya itu sukanya bikin pusing.

Sepuluh tahun lebih Jendra hidup bersama si surai magenta, selama itu pula menghadapi segala tingkah dari sosok itu yang kerap buat kepala Jendra pening bukan main. Namun, peristiwa tadi pagi lah yang berhasil dudukan dirinya di tahta tertinggi sebagai pengacau isi kepala Jendra. Runtuhkan segala benteng pertahanan dan hasilkan kegelihasan.

Usianya 28 tahun, dan si penghuni pikirannya saat ini sudah capai genap 30 tahun, menunggu apa lagi selain untuk menikah?

"Aghh anjing." geram si Taurus mengusap kasar kepalanya.

Bisa dibilang, tepat 15 tahun sudah Jendra mengenal dekat sang sahabat, dan selama itu pula, Jendra pun mengenal segala bentuk dari Hesya.

Perguruan tinggi, puncak turning point tertinggi selama hidupnya. Jendra mengetahui satu hal krusial,

Seorang Edgar Hesya Ethaniel tidak pernah menjalin hubungan romansa dengan siapa pun.

Jendra sungguh kebingungan. Apa iya? Apa benar? Kok bisa?

Apabila kalimat barusan ditujukan pada Jendra, maka benar adanya bahwa ia tidak pernah mengencani siapa pun. Ya tentu saja, salahkan si surai magenta yang kerap menjadi penghuni setia di hatinya, pusat kehidupannya.

Namun, faktanya, kalimat barusan benar-benar ditujukan pada Hesya, yang mana probabilitas kebenarannya seharusnya bernilai nol.

Hesya siswa berprestasi, IPK tinggi, lulusan dengan predikat cumlaude, aktif berorganisasi, kepanitiaan, olimpiade, sertifikat dan medalinya sudah menggunung. Mana mungkin ia tidak dicintai dan mencintai seseorang, 'kan?

Apa dia sedang menunggu seseorang?

Hal itu buat Jendra berharap sedikit, hanya sedikit. Namun tidak pernah bisa lepas dari lubuk hati keinginannya yang terdalam.

Akan tetapi, Jendra akui ia pernah beberapa kali menangkap bahwa sepertinya, ada rasa yang sama yang Hesya berikan pada Jendra. Namun, tetap saja Jendra tidak mau dan tidak berani untuk ambil kode itu secara lebih jauh, ia tahu batasan dirinya.

Di sela-sela kesibukan keduanya, selama itu pula persahabatan masih bisa terjalin baik. Beberapa kali Jendra antarkan pulang si Libra sehabis kegiatannya di kampus, atau antarkan ke perpustakaan pusat, atau kerap kali keduanya datang bersama ke acara kampus, seperti festival musik, webinar, atau Hesya yang menjadi tamu spesial di antara luasnya panggung musik Jendra, atau Jendra yang menjadi pendengar spesial di barisan peserta talkshow dengan Hesya sebagai pembicara.

Perbedaan jurusan dan fakultas tidak bataskan mereka untuk menipiskan jarak. Bahkan, kedekatan keduanya semakin menjadi-jadi. Oleh karena itu, Jendra bisa pastikan bahwa kebenaran pernyataan tadi adalah senilai seratus persen.

"Kalau sudah yakin, coba dibicarakan sama kedua orang tuanya, ya?" Ucap Ibu tenangkan kegugupan Jendra malam ini.

"Rencananya 'kan emang gitu, bukannya harus ngobrol dulu sesama keluarga?"

"Ya sudah, atur jadwalnya aja, yang semuanya bisa hadir."

"Tapi, kalau bisa, Jendra minta tolong biar Hesa-nya dikasih tau nantian aja. Jendra masih sedikit takut penolakan, haha."

"Loh, kok gitu, Abang? Sudah kepala 28 kok masih takut ditolak."

"Ya namanya juga cinta mati, bu. Susah kalo disuruh cari penggantinya nanti."

"Ya sudah, ibu ngikut kamu. Coba aturkan jadwal sama keluarganya Esa ya, bisa 'kan Abang yang ganteng?"

"Iya, bisa kok, bu. Makasih ya."

Keluarga keduanya memang terlampu juga dekat, bukan hanya Jendra dan Hesya, tetapi segala di sekitar mereka pun ikut terangkut ke dalam tali persahabatan itu.

Namun, tetap saja, Jendra takut, gugup, dan gelisah. Rumah yang dulu kerap kali Jendra kunjungi hanya untuk bermain, mencicipi masakan Bunda, mengusili Hesya, ataupun belajar bersama, saat ini, harus ia datangi dengan maksud yang serius,

meminta satu permohonan.

At the End of the Day [JAYSEUNG]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang