Saat salju abadi diatas Cartez Piramid meleleh. Musim silih berganti dengan tidak jelas. Seperti halnya kemarau panjang terselip hujan yang menjadikan iklim mengarahkan angin muson barat berganti arah.
Alan tidak menyangka bagaimana cinta terlarangnya pada Kevin harus berakhir. Bukan akibat hubungan antar sesama jenis yang dianggap tabu masyarakat. Perpisahan itu diakhiri dengan usapan lembut Alan pada pundak Kevin diatas pelaminan sebagai tanda selamat.
Mutia menyodorkan secangkir teh, membuyarkan kenangan pahit Alan. Alan menatap wajah tirus yang kini memilih duduk selonjoran disampingnya.
"Masih lama?" seloroh Mutia, dan tanpa butuh jawaban kembali berujar, "Aku pengen tidur disini, tungguin sampai aku bangun." pinta Mutia, dipakainya kacamata hitam yang dibawanya dan dengan santai memejamkan mata.
Mata Alan kembali menerawang setahun lalu. Kala itu lampu lalu lintas masih hijau. Ia terpekur menatap baliho sebuah produk parfume ternama.
AXE.
Tergiang dalam benaknya saat Kevin memberinya parfume merk itu dalam sekali lempar saat berbelanja bersama. Canda tawa bersama khas bromance yang tersirat saat yang lain memandang mereka.
Hembusan nafas Alan memberat. Lampu telah merah, kakinya masih enggan untuk melangkah. Dibalik riuhnya jalanan kota saat itu, Alan putuskan untuk berbalik arah.
"Ada apa lagi?" ujar Mutia sedikit kesal saat mendapati Alan berdiri didepan pintu ruang kerjanya.
Mantra ajakan menikah yang dilontarkan Alan secara asal, malam itu sukses membuat Mutia tidak dapat tertidur. Bergoleran kesana kemari di atas kasur dengan gelisah takutnya salah dengar.
Sesekali Mutia meloncat kegirangan meyakinkan diri bahwa beberapa jam lalu memang nyata. Cincin dengan inisial MK yang tersemat dijari manisnya dipandangnya berulang kali sebagai bukti.
Alan sendiri tak mau ambil pusing. Pulang ke rumah, ia menonton siaran langsung pertandingan sepak bola ditemani Yoga dan Dika. Tak ada pembahasan apapun diantara mereka, selain sorak sorai mendukung jagoannya masing-masing.
Yang Alan sesalkan, beberapa jam setelah ayam berkokok menyambut fajar. Mutia langsung datang ke rumahnya, membombandirnya dengan berbagai kesiapan pernikahan agar segera di gelar.
Antusias Mutia memang membuahkan hasil. Pernikahannya terlaksana dengan penuh kasih dan dukungan. Bak sebuah anugerah kata orang bila ia dapat bersanding dengan Alan.
Bagi Alan, Mutia hanya teman hidup. Teman memoles citra publik. Dimana ia dapat bersembunyi dari sisi lain dirinya yang tidak boleh terekspos oleh media.
Mutia sendiri tidak menuntut terlalu banyak. Terlebih saingan hatinya bukan seorang wanita. Dengan mudah, ia memonopoli kepemilikannya. Dialah istri sah Alan.
Awal mula terungkap, Mutia harus menahan pahit mengetahui inisial MK yang terukir pada cincin di jari manisnya bukanlah inisial dari namanya, Mutia Karina. Melainkan kepanjangan dari Micheal Kevin, nama seorang bartender Cafe Oliver yang terletak didepan persimpangan rumahnya.
Rahang tegas dengan tatapan meneduhkan. Kelincahannya berinteraksi, dilengkapi lesung pipit ketika lelaki berkulit sawo matang itu tersenyum.
"Maaf, anda jadi pesan apa?" tegur lelaki berambut ikal dengan tag-name Aryo.
Kegetiran menyergap Mutia yang tengah mengamati Kevin yang sedang melayani pelanggan lain membuatnya sedikit tergagap hanya untuk menjawab, "Moccacino satu."
Pesona maskulin yang dipancarkan Kevin. Entah mengapa dapat mengilas dan mengaduk-aduk harga diri Mutia sebagai wanita.
Fakta berbagai foto mesra Alan dan Kevin yang tersimpan rapi dalam dompet Alan, membuat Mutia sampai nekat banting piring upaya menuntut penjelasan dari lelaki yang disebutnya suami itu.
Alan hanya diam ketika foto itu ada ditangan Mutia. Ada rasa bersalah, namun apa boleh buat semua sudah terjadi.
"Kamu nikahin aku, karena.. " Hanya isak tangis yang terdengar setelahnya, Mutia tak mampu berkata-kata. Terpekur dengan segala imaji liar asmara antara dua orang lelaki. Hal ini benar-benar tidak masuk diotaknya.
Alan Ryan. Lelaki tampan, cerdas dan mapan. Lelaki sempurna yang bertahun-tahun ia kenal. Dia puja dan dia dambakan. Dia stalker siang dan malam. Sanjungan saat Alan menikahinya, bikin iri hati seluruh wanita. Terjaga, santun dan tak pernah terlihat menyentuh wanita lain karena Mutia kira itu bentuk penghormatan.
Ternyata...
"Dia sudah menikah dengan wanita lain, dan aku juga sudah nikahin kamu."
Mendengar pengakuan Alan, mata Mutia terbelalak. Gelas digenggaman tangan yang tadi akan dia banting luruh dengan sendirinya bersama tubuhnya yang terduduk di lantai.
Rasanya Mutia ingin lari. Pergi sejauh-jauhnya. Tapi Mutia tidak tau harus kemana. Alan satu-satunya yang dia miliki. Alan adalah dunianya. Rumah dan tujuan hidupnya selama ini.
Selama ini Alan tidak pernah menunjukan celah apapun. Alan yang menjadi pusat perhatian seluruh siswa di sekolah selalu terlihat tegas dan ceria. Saat sudah menjadi artis dibawah naungan agensi manajemen perusahaan tempat Mutia bekerja pun, pria dengan nama lengkap Alan Ryan itu selalu terlihat ramah dan mempesona.
"Nih buat kamu!" Alan sodorkan susu coklat yang dibawahnya kepada Mutia yang sedang menangis sambil berjongkok dipekarangan samping rumahnya.
Usapan tangan Alan pada rambut Mutia untuk menghentikan tangisnya kala itu membuat jantung Mutia berdebar. Meski Alan ikut berjongkok disampingnya, Mutia terus melanjutkan tangisannya karena kedua orangtuanya akan dimakamkan.
Alan yang tadi melayat bersama kakeknya enggan pulang saat kakeknya kembali mengajaknya pulang setelah kedua orangtua Mutia dimakamkan. Alan yang tidak tega melihat Mutia tidak berhenti menangis, lebih memilih terus menemani teman sekelasnya sekaligus tetangganya itu.
Sesimpel itu awal mula seorang anak lelaki tetangga sebelah yang hidup bersama kakek dan neneknya berhasil menempati hati Mutia. Membuat Mutia yang masih berkuncir dua mengekori Alan kemana-mana hingga mereka dewasa.
Mengetahui orientasi seksual Alan menyimpang, Mutia mencoba berjuta cara untuk mempertahankan Alan disisinya. Bagi Mutia semua sudah terlambat untuk dipersalahkan. Mungkin ini yang dinamakan terlanjur cinta, jadi apapun kondisi Alan, Mutia akan tetap cinta.
Mutia terbangun dan membuka kacamata, bibirnya menyunggingkan senyum saat melihat Alan masih duduk disampingnya meski langit sudah memerah. "Masih menungguku ternyata."
Alan hanya diam. Pura-pura sibuk dengan laptopnya. Tangan Mutia bergerilya, mengusap-usap punggung Alan. Kegiatan itu terhenti ketika seorang wanita tua mengendong seekor anak anjing berwarna abu menghampiri mereka.
Kehadiran wanita itu membuat Alan makin cemberut. Apalagi saat wanita itu mengucapkan kalimat yang tidak ingin Alan dengar, "Bolehkan aku menginap disini semalam? Hanya semalam saja, sampai Papamu menjemputku besok."
Dia Tary. Mama tiri Alan. Wanita yang membuat Mama Alan terkena serangan jantung dan meninggal ditempat saat memergoki keliaran suaminya dengan sang sahabat diatas ranjang.
Klise dan ironis. Alan yang sakit hati berjanji tidak akan seperti Papanya. Dan Alan memang menepati janjinya. Alan tidak brengsek seperti Papanya, tapi dia homo.
Setidaknya Mutia tidak repot suntik silokon untuk bersaing dengan wanita lain. Karena memang tidak ada wanita lain, yang ada hanya lelaki lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
PUDAR
RomanceBertahun-tahun Mutia menyimpan rasa untuk Alan. Penantiannya membuahkan hasil dengan Alan menjadi suaminya. Mutia tidak peduli meski cinta Alan bukan miliknya. Alan pria idamannya dan akan selalu menjadi milik Mutia. Rasa untuk Alan sudah bukan lagi...