16

4 0 0
                                    

Mata Kevin mengerjap untuk memfokuskan pandangan dimana kini dirinya berada. Ruangan bercat warna putih, dengan lantai marmer. Tidak ada barang apapun di dalamnya, hanya ada dirinya yang berada di tengah ruangan dengan keadaan terikat erat di sebuah kursi.

Terlihat seorang lelaki bertubuh kekar memakai baju serba hitam tengah duduk di sebuah kursi di bibir pintu sembari memainkan ponselnya. Ketika lelaki itu menoleh pada Kevin yang telah sadar, lelaki itu segera menelepon untuk mengabari seseorang, "Dia sudah sadar, bos."

Mata lelaki itu menatap Kevin dengan garang, Kevin malah mengalihkan tatapannya nampak tidak peduli. Tidak lama berselang, terlihat beberapa lelaki berbaju hitam datang dan memukuli Kevin secara bertubi - tubi.

Tidak akan ada yang datang menolongnya, Kevin tau itu. Maka dari itu dia memilih diam, dia tidak ingin melawan karena semua akan percuma. Menikmati sensasi kesakitan dari pukulan - pukulan itu yang malah ia lakukan.

"Berhenti! Minggir kalian semua." teriak sebuah suara yang menghentikan pukulan - pukulan itu. Kevin mendongakan kepalanya yang kini terasa berat untuk melihat Tary yang kini berdiri di ambang pintu.

"Lepaskan dia!" perintah Tary pada mereka, namun salah satu dari mereka mencela, "Tapi ini sudah perintah Tuan Besar, Nyonya."

Tary berdecak kesal, melihat gerak gerik anak buahnya tidak akan melepaskan Kevin. Akhirnya Tary menurunkan egonya, "Dia itu anak saya! Kalian mau saya jeblosin ke penjara kalau anak saya kenapa - kenapa, hah!"

Mendengar itu, para lelaki berbadan kekar yang mengelilingi Kevin langsung mundur. Terlihat jelas di mata Tary berapa banyak memar biru yang muncul di tubuh Kevin, darah pun juga terlihat merembes dari pelipis dan ujung bibir Kevin. "Cepat lepaskan dia dan bawa dia ke atas, suruh Mbok Ipah obati dia."

Tak ingin Kevin melihat air matanya berlinang, Tary bergegas pergi dari gudang belakang. Tary kini berjalan menuju lantai dua, ia ingin menemui Dito, dan melampiaskan amarahnya. Dia sudah tidak peduli dengan rahasia yang dia miliki, melindungi Kevin adalah prioritas utamanya.

"Kenapa kamu menangis? Kamu takut anak kamu dihajar anak buahku sampai mati." tegur Dito saat melihat Tary menemuinya dengan wajah penuh amarah dan kedua matanya terlihat sembab.

"Jadi kamu sudah tau kalau Kevin itu anak aku," bentak Tary, "Lalu kenapa kamu bikin dia seperti itu, yang salah disini itu aku, Mas. Kalau kamu kecewa, lampiaskan semua ke aku, jangan ke dia."

"Kamu tau, kelakuan anakmu itu sudah melewati batas. Bisa - bisanya dia bikin anakku jatuh cinta sama dia." Mata Tary membola mendengar apa yang diucapkan Dito.

"Jadi foto yang tersebar itu benar? mereka bukan bersahabat tapi pacaran." sahut Tary meminta penjelasan lebih pada suaminya itu.

Dito memegang ujung meja erat, dan kemudian menjawab pertanyaan Tary, "Iya, foto itu benar dan mereka sempat pacaran. Bahkan sampai sekarang Alan masih sangat mencintai anakmu itu. Coba pahami bagaimana perasaanku sekarang, terlebih anakmu itu bikin ulah lagi, dia bekerjasama dengan Adiyana untuk mencoba menghancurkanku dan menghancurkan hidup anakku."

Tubuh Tary lunglai, dia hampir saja ambruk jika saja Dito tidak sigap menahan tubuhnya dan menuntunnya untuk duduk. Tary tidak tau harus berkata apa lagi, dia sungguh tidak menyangka bahwa Kevin telah bertindak senekad itu memilih bekerjasama dengan Adiyana yang menjadi musuh besar Dito.

"Aku sudah tau keberadaan Kevin sejak kita resmi menikah. Aku selama ini memilih diam karena aku sangat mencintaimu. Sekarang aku harap kamu jawab jujur, siapa ayah dari anak itu? Siapa yang tega hamili kamu saat itu? Jangan ada rahasia lagi diantara kita supaya aku bisa menentukan apa yang harus aku lakukan pada anakmu itu."

Jujur Tary sangat tidak ingin mengungkit kenangan buruk itu, tapi Dito telah memberikan segalanya untuknya. Jadi apa yang harus Tary lakukan untuk menyelamatkan anaknya dari murka Dito. Mulut Tary seketika kaku, dia bingung harus mulai dari mana untuk menceritakan ini semua kepada Dito.

Di hari kelulusan SMA, Tary yang mendapat nilai terbaik memutuskan untuk segera pulang ke rumah memamerkan piagam yang dia peroleh kepada kedua orangtuanya. Namun sesampainya di rumah, terlihat Mamanya menangis menghalangi beberapa orang yang sedang menyita seluruh aset mereka sebab perusahaan Papanya bangkrut.

Harapan Tary untuk kuliah seketika pupus. Seluruh temannya menjauhi dia, hanya Widya yang rutin menghubunginya dan menanyakan kabarnya. Namun Tary memutuskan menjauh dari semua orang, pernyataan cinta Dito lewat sms yang dia baca pun tidak dia hiraukan.

Tary dan Mamanya bekerja serabutan siang malam untuk melunasi hutang mereka, sedangkan Papanya hanya bisa mabuk - mabukan dan tidak ada usaha untuk bangkit kembali dari keterpurukan. Nasib sangat tidak memihak Tary sedikit pun, satu tahun kemudian Mamanya jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia.

Tary harus menerima semua yang menimpanya, dia terus melanjutkan hidup dengan bekerja untuk membayar hutang keluarganya. Setelah Mamanya meninggal, Papanya yang terus mabuk - mabukan malah melampiaskan nafsunya kepadanya. Sekali, dua kali, dan entah yang keberapa kali namun kebejatan Papanya membuat Tary ingin bunuh diri.

Ada rasa ingin membunuh Papanya saat itu, namun Tary mengurungkan niatnya. Suatu hari sepulang Tary bekerja, orang - orang terlihat mengerumuni kamar kosnya. Disana terlihat Papanya tergeletak berlumuran darah dengan pisau menancap di tubuhnya, entah siapa yang membunuh Papanya, Tary tidak peduli. Yang cukup Tary tau, dia sangat berterima kasih karena orang itu telah membantunya menyingkirkan sampah dari hidupnya.

Seminggu setelah Papanya meninggal, Tary terus muntah - muntah tanpa sebab. Saat memeriksakan kesehatannya yang tak kunjung membaik, dia akhirnya tau jika dia tidak sakit. Dokter yang memeriksanya hanya berkata bahwa dia hanya sedang berada dalam fase awal kehamilannya.

Tary begitu terpukul dengan semua ini, terlebih dia tau ayah dari bayi yang dia kandung saat ini adalah Papa kandungnya sendiri. Miris, itulah yang bisa mengambarkan hidup Tary yang berubah menjadi sangat menyedihkan kala itu. Niat untuk mengugurkan kandungan sering kali terlintas dari pikirannya, namun akhirnya melahirkan bayi itu adalah pilihan terbaik yang bisa Tary lakukan karena bayi itu tidak bersalah baginya.

Dua tahun berlalu, Tary dengan telaten merawat bayi itu sembari terus mencari nafkah untuk bertahan hidup. Entah takdir sedang melucu atau bagaimana. Ketika Tary mengepel lantai salon tempat dia bekerja, tiba saja secara kebetulan Widya yang masuk dan menyapanya. Tary dibuat kaget melihat Widya mengandeng seseorang yang sangat dia rindukan, yakni Dito.

"Tidak usah diteruskan, cukup.." ujar Dito. Dia sudah tidak ingin mendengar cerita menyedihkan itu dari mulut Tary. Memeluk Tary adalah hal yang bisa ia lakukan untuk menenangkan istrinya itu.

Di balik pintu, Kevin yang sedari tadi mendengarkan percakapan itu hanya bisa terdiam menahan air matanya. Dia tidak bermaksud menemukan jawaban dari semua pertanyaan yang selalu ingin ia tau dari Tary.

Kevin tadi berniat masuk ke ruangan Dito hanya sekedar untuk bertemu dengan Dito dan melampiaskan amarahnya setelah dipukuli anak buah Dito seperti itu. Namun kini Kevin tidak tau harus bagaimana karena sekarang dia tau bahwa dia seharusnya tidak pernah dilahirkan ke dunia ini.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 15 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

PUDARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang