3

4 0 0
                                    


Mutia Karina, gadis dengan kuncir dua yang selalu mengekori Alan kemana-mana. Dikelas, dikantin, didepan kamar mandi sekolah, dirumah, dan dimanapun Alan berada. Memaksa mengerjakan PR dan tugas Alan. Di setiap kesempatan selalu memberi Alan dengan berbagai hadiah.

Awalnya Alan sangat risih dan jengkel dengan kelakuan Mutia. Ingin sekali Alan melenyapkan gadis itu dari pandangan matanya. Nasib mereka hampir sama, kehilangan orang terkasih diusia yang masih belia. Itulah yang membuat Alan membiarkan Mutia selama ini melakukan apapun sesuka hati kepadanya.

Berlalunya waktu, saat Mutia tidak terlihat, Alan sadar dia membutuhkan gadis itu. Entah sejak kapan Mutia berhasil menyelinap dan menempati sebagian ruang dihatinya.

Namun, satu hal yang Alan sayangkan. Hingga saat ini, Mutia tidak pernah dapat membuat jantungnya berdegup kencang. Tidak seperti Kevin yang bahkan mampu merubah pusat atensinya hanya dalam sekali tatap.

Bahkan kini masih tergiang dibenak Alan saat ia dan Kevin bergelung dalam selimut yang sama. Seulas senyum dibibir Alan terbit menatap wajah teduh Kevin yang masih terlelap disampingnya.

Sebuah kecupan Alan layangkan tepat disana, dibibir Kevin yang tipis dan menggoda. Kevin menarik tubuh Alan dalam dekapannya, menyadarkan Alan bahwa lelaki itu sudah bangun dari tadi dan hanya pura-pura tidur.

Matahari kian merangkak keatas. Debaran jantung kian berpacu. Terpaut dengan cumbu yang sangat candu. Baik Alan maupun Kevin enggan untuk beranjak. Aktivitas malam mereka rasa belum tuntas.

Sekilas memori itu mengikat Alan. Meremas erat tangan Kevin yang kini berada digenggamannya. Alan ingin sekali mencium Kevin didepan semua orang saat ini juga. Rasa rindunya harus tertuntaskan.

Jika saja Mutia tidak sarkas memisahkan jabat tangan itu, mungkin Alan masih bisa merasakan hangat dan kasarnya kulit tangan Kevin ditangannya. Kehadiran Farel diantara mereka membuat Alan tidak bisa berkutik. Apalagi Tika yang tiba-tiba memeluknya dan menyodorkan sebuah buku dan bulpoin meminta tanda tangan Alan.

"Jadi kemarin itu kak Alan, astaga, mimpi apa aku Tuhan," gumam Tika kegirangan. Dia tidak menyangka bisa bertemu langsung dengan Alan di dunia nyata, bukan di dunia imajinya bersama Alan tujuh tahun belakangan ini.

Awal masuk ke dalam rumah Kevin, Mutia dibikin meradang karena mengira Kevin lah yang memajang poster Alan dengan berbagai gaya didinding rumah mereka. Ternyata semua itu ulah Tika, istri Kevin yang ternyata seorang Alanisme. Tika berharap dengan memajang foto Alan, bayi laki-laki yang ada dalam kandungannya bisa setampan dan sesempurna Alan.

Tika begitu antusias menceritakan bagaimana awal mula mengidolakan Alan ketika seharusnya mereka membahas foto asal jepret dirinya bersama Alan yang dijadikan santapan awak media. Farel lega dengan hal ini. Sedang Mutia malah fokus mengamati Alan dan Kevin yang saling melempar tatap.

"Sebaiknya kami segera kembali. Nona Tika perlu istirahat, Alan setelah ini ada jadwal syuting juga. Jadi lain kali kami akan kemari lagi, mohon maaf tidak bisa berlama-lama." ujar Mutia yang memberi kode agar segera pulang.

Farel pun menyodorkan amplop cokelat berlogo merpati yang sudah disiapkan oleh manajemen sebagai kompensasi. Kevin dan Tika sepakat untuk tidak menerimanya, namun Tika mengajukan syarat yang membuat kepala Mutia hampir pecah.

"Luangkan waktu kak Alan setiap Minggu menemaniku sampai melahirkan." Raut wajah penuh harap Tika sangat terlihat.

Alan pasti sangat senang bisa bertemu dengan Kevin kembali, itulah yang ada dikepala Mutia saat Alan tidak mempermasalahkan persyaratan tersebut. Dihari pertemuan itu, Kevin tidak banyak bicara, membuat Mutia makin overthinking menebak apa isi kepala mantan kekasih suaminya itu.

Ingin rasanya Mutia mengajak Farel bekerjasama untuk menghalangi terjalinnya hubungan antara Alan dan Kevin. Namun Mutia sudah berjanji tidak akan membocorkan jalinan kasih antara Alan dan Kevin di masa lalu yang hanya seminggu itu.

Yah hanya seminggu saja dua lelaki itu menghabiskan waktu bersama memadu kasih hingga Kevin meletakkan sebuah undangan pernikahan diatas meja makan apartemen Alan. Setelah hari itu Kevin tak pernah kembali. Hilang begitu saja meninggalkan kehampaan yang dalam.

Ketika Alan mengunakan masker dan hodie untuk menghadiri pernikahan Kevin dan Tika, seluruh pasang mata melihatnya aneh dan tak mengenalinya. Kevin yang mengenalinya buru-buru menghampirinya dan menariknya untuk berfoto bersama sang istri diatas pelaminan. Hanya elusan di pundak Kevin yang mampu Alan berikan, kemudian berbalik arah meninggalkan gedung pernikahan itu.

Sesaat namun mampu mengoyak hidup Alan. Dirinya sempat memakai narkoba untuk bisa melupakan Kevin. Jika saja Farel tidak memaksanya untuk melakukan rehabilitas, mungkin karir Alan hancur akibat jadi pecandu.

Alan membuka mata. Air bathtub tempat dia berendam hingga ketiduran sudah hilang. Terlihat Mutia tanpa ekspresi tengah mengeringkan tubuh polosnya. Alan terdiam mengawasi semua. Bagaimana kemudian Mutia dengan telaten memasangkan pakaian tidur ditubuhnya.

Ketika mata mereka bertemu, tangan Alan meraih dagu Mutia. Sebenarnya Alan tidak tau untuk apa dia melakukan itu, dia hanya menuruti nalurinya. Ada sebuah kesepian yang tak terjawab. Sedih dan putus asa. Pengabaian Kevin membuat tubuhnya lunglai tak berdaya.

Plakkkk!

Plakkkk!

Plakkkk!

Tiga buah tamparan yang malah Alan dapatkan dari Mutia. Padahal menurut Alan seharusnya Mutia senang dengan apa yang ia lakukan. Tanpa kata, Mutia melangkah menjauh meninggalkannya begitu saja.

Disudut kamar mandi di ruang sebelah, kini Mutia terduduk menyandar dinding. Air matanya tidak berhenti menetes. Seharusnya ia senang Alan menciumnya terlebih dahulu. Ini pertama kalinya Alan melakukan itu.

Biasanya semua Mutia yang melakukan pertama kali. Mutia yang biasanya mencium Alan duluan meski Alan enggan. Mutia bahkan tidak menuntut Alan untuk bercumbu dengannya. Mutia mencoba memahami itu.

Setiap malam Mutia dan Alan hanya tidur bersama diatas kasur yang sama. Saling bersingkuran, bermain dengan pikiran masing-masing. Sesekali Mutia tidur memeluk Alan. Kadangkala mereka berpisah kamar setelah bertengkar hebat. Hanya itu-itu saja yang mereka lakukan.

Hati Mutia terasa diremas. Apa yang Alan lakukan dengan menciumnya secara intens, Mutia yakin bukan untuknya. Entah mengapa bayangan Kevin terus menghantui. Mengoyak harga diri Mutia sebagai wanita.

Rasanya begitu mual. Menjijikan. Ciuman Alan barusan seperti sebuah kotoran yang hinggap dibibirnya. Mutia siram bekas muntahannya sembari menguyur tubuhnya sendiri.

Rasa cemburu ini begitu menyiksa Mutia. Dia sudah tidak sanggup bertahan disisi Alan. Namun dia juga tidak sanggup hidup tanpa Alan.

Ponsel Mutia diatas wastafel terus berdering. Meski basah kuyup, Mutia tetap berdiri. Pantulan dirinya dicermin wastafel sudah tidak karuan. Terlihat ada nama Kevin memenuhi layar ponselnya.

"Bisa kita bertemu, nona?" Ucap suara bariton diseberang sana. Mutia tidak tau harus berbuat apa. Ajakan itu menjadi sebuah peluang yang bisa mengubah atau memperparah hati Mutia. Dia harus terus mencobanya. Ada hal yang patut ia perjuangkan hingga akhir.

PUDARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang