4

4 0 0
                                    

Entah sudah berapa kali Tary mencoba menginap dirumah Alan. Tentunya untuk mendekatkan hubungan mereka yang terputus. Apalagi anak tiri semata wayangnya itu kini telah memiliki seorang istri. Namun sampai kini juga belum ada feedback positif yang diterimanya. Mungkin butuh waktu atau mungkin sudah tidak ada waktu untuknya di hidup Alan.

Tary tidak bermaksud membuat anak sekecil itu tumbuh besar dengan kenangan buruk yang ia ciptakan. Hari itu Tary terlalu sembrono. Dia nekat menghampiri Dito yang sedang sendirian di rumah. Dia kira Widya dan anak lelakinya yang masih berumur enam tahun yakni Alan, akan tiba dua hari lagi untuk menikmati trip mereka di Bali.

Setelah bergoyang seirama di ruang tamu hingga lutut Dito terbentur sofa. Tanpa melepas persatuan mereka, Dito membalik tubuh Tary, mengendongnya melewati tangga sembari bibir mereka masih saling melumat.

Tanpa mengunci pintu kamar, Dito mengajak Tary lanjut bermain sepuasnya diatas ranjang yang biasa digunakannya bersama Widya. Tary beralih diatas, menunjukan kebolehannya. Memutar perlahan hingga terasa memenuhi pusara nafsunya.

Dito yang belum puas mendorong kedua kaki Tary hingga memutari tubuhnya. Kembali memegang kendali, ia telungkupkan badan Tary dan memasukinya dari belakang. Tangannya tidak tinggal diam, bertengger untuk terus meremas dada Tary yang ujungnya makin mengeras.

Hari itu teriakan Alan disertai isak tangisnya yang menghentikan irama Dito ditubuh Tary, dan menyadarkan mereka jika pintu kamar dibelakang mereka telah terbuka lebar. Disana terlihat Alan kecil frustasi menguncang tubuh Mamanya yang telah terbujur kaku didepan pintu kamar.

Dito buru-buru memakai celananya dan meraih ponselnya untuk menghubungi ambulance. Sedang Tary berusaha menutupi tubuh polosnya dengan selimut, matanya tidak lepas mengamati tubuh Widya yang tergolek tak berdaya. Dan saat mata Tary beralih bertemu dengan mata kecil Alan, air mata Tary meluruh begitu saja. Apapun alasannya, apa yang diperbuat mereka tidak akan termaafkan.

Mutia mengamati punggung Dito dan Tary yang perlahan menghilang masuk mobil. Dari awal menikah hanya dia sendiri yang menjamu hingga mengantar kepulangan Papa mertua dan Mama tiri mertuanya itu. Alan pasti beraktivitas seperti biasa, kehadiran mereka seperti tidak pernah ada baginya.

Setelah kepergian kedua mertuanya, Mutia segera menyusul Alan ke lokasi syuting. Disana dia meng-take down beberapa baju dan menatanya ke dalam koper sembari menunggu Alan yang belum selesai di-makeup.

Menjadi asisten pribadi Alan seperti ini merupakan pekerjaan sambilan Mutia setelah menjadi istri Alan.

"Kalau Alan sudah siap, suruh cepetan kesini," teriak Dika yang menjadi sutradara dalam project iklan terbaru Alan dengan Wings Food kali ini. Yoga yang mendengar teriakan tersebut buru-buru melapisi sedikit blush on di wajah Alan. Setelah memakai syal, dengan gontai Alan berjalan menuju lokasi.

"Udah lima belas menit aku nunggu. Gak hanya kamu aja yang sibuk disini, lain kali datang tepat waktu." tegur Kirana Larasati yang didapuk sebagai pemeran utama wanita. Alan dengan ekspresi datarnya hanya mengatakan, "oke." sebagai balasannya.

Kirana Larasati nyengir dibuatnya. Dia sudah menduga tidak akan pernah ada ucapan maaf yang keluar dari mulut Alan.

"Yah.." bentak Kirana Larasati yang membuat Alan menatapnya, "Apa?"

Mata Kirana Larasati menelusuri hidung mancung dengan kulit seputih porselin Alan. Rambut Alan yang disugar keatas membuat Kirana Larasati ingin menjatuhkan jemarinya disana untuk mengelusnya. Pesona ketampanan Alan membungkamnya, membuat pipi Kirana Larasati merona ditatap seperti itu.

Seluruh rekan selebriti yang pernah beradu akting dengan Alan sudah banyak bergosip tentang tidak sopannya sikap Alan. Jika saja wajah Alan tidak setampan Cha Eun Woo, mungkin Kirana Larasati dan para selebriti lain yang pernah cekcok dengan Alan tidak akan memaafkannya dan mencari cara untuk mendepaknya dari dunia hiburan.

"Kamera, rolling action!" teriak Dika.

Kamera bergerak fokus pada Alan yang duduk didekat jendela mengamati hujan yang enggan reda. Secangkir Top Coffee rasa gula aren disajikan untuk menemani dinginnya Alan sore itu. Alan menyesapnya perlahan, aromanya mengepul hingga terhirup hidungnya.

"Cut, Oke." Dika tersenyum puas pada Alan. Kemudian para kru bergegas mengeser semua peralatan ke depan kafe.

Salah satu kru naik ke rooftop kafe untuk mengatur volume aliran air dari selang agar memastikan air hujan gerimis buatan telah siap. "Siap," ujar kru tadi kemudian.

"lanjut adengan berikutnya," seru Dika. "Kamera, rolling action!"

Alan yang tidak membawa payung menanti dengan gelisah didepan pintu kafe, padahal hujan yang deras sudah berganti dengan gerimis.

Kirana Larasati yang baru saja keluar dari kafe membuka payungnya disisi Alan. Gadis itu perlahan menerobos hujan dengan payung yang ada dalam genggaman tangan kirinya sembari memegang Top Coffee rasa original dalam kemasan gelas.

Kamera meng-shoot ekspresi Alan yang terpaku pada kemasan baru Top Coffee dalam gelas yang dibawa Kirana Larasati sembari menerobos hujan dengan payung berwarna coklat.

Alan bergegas menyamai langkah gadis itu. Satu tangan Alan meraih gagang payung dan satunya lagi terpaut untuk menggenggam kemasan baru Top Coffee dalam gelas yang dibawa Kirana Larasati. Keduanya pun saling bertatapan dibawah payung coklat, tawa ceria pun mengembang menyusul kemudian.

"Oke, Cut."

Kirana Larasati menghela nafas, buru-buru pergi digandeng manager dan asisten pribadinya. Sedangkan Alan yang tengah memegang payung coklat dan segelas Top Coffee masih berdiri ditempat mengamati guyuran hujan gerimis buatan.

Hari itu masih teringat jelas, bagaimana Alan bersantai dengan novel Laskar Pelangi sembari menyesap secangkir kopi di Cafe Oliver. Ketika akan pulang, hujan tiba-tiba saja turun menderas, menghentikan langkah Alan didepan pintu Cafe Oliver.

Seorang pria memakai seragam Cafe Oliver berdiri disamping Alan membuka payung berwarna coklat yang tengah dibawahnya. Aroma maskulin pria itu berpadu aroma kopi yang dibawahnya entah mengapa membuat jantung Alan berdetak kencang.

Alan tidak tau ada apa dengan dirinya, namun yang dilakukan Alan kemudian malah menerobos hujan untuk menyusul langkah pria itu.

Genggaman tangan Alan dilengannya membuat pria itu menoleh. Mata Alan langsung turun pada name-tag didada pria itu. Disana tertulis dengan huruf abjad, Kevin. Nama yang unik, pikir Alan.

"Ada yang bisa dibantu?" tanya pria dengan name-tag Kevin itu. Sebelum Alan menjawab, rintik hujan makin menderas. Reflek Kevin menarik Alan untuk berteduh dibawah payung yang sama dengannya.

Debaran jantung Alan kian berpacu, apalagi saat mata Kevin lekat menatapnya. Mereka berjalan bersama melewati jalanan basah menuju halte bus.

Disana, di bangku halte bus yang sepi. Alan dan Kevin duduk berbincang menghabiskan sore nan hujan sembari menunggu bus datang. Pertemuan itu membawa Alan kedalam dunia baru yang belum pernah ia arungi.

Waktu seperti tidak berjalan. Disana Alan rasa hanya ada ia dan Kevin. Dan seumur hidupnya, Alan tidak pernah berbuat lancang. Namun senyum Kevin kala itu membuat Alan memberanikan diri.

Tidak ada penolakan saat Alan menyesapnya. Awalnya Kevin hanya terdiam, namun kemudian ikut mengimbangi bibir Alan. Kupu-kupu melesak memenuhi dada Alan menerima sambutan itu.

"Sayang, kamu gak apa-apa?" tanya Mutia sembari menepuk-nepuk bahu Alan.

Para kru terpaku ditempat mengamati Alan yang malah bengong. Setelah tersadar, Alan buru-buru menyodorkan payung dan segelas Top Coffee yang ada dalam genggamannya kepada Mutia.

"Kamu kenapa, Lan?" Farel menghampiri Alan yang kini duduk di meja riasnya. Meski terlihat suntuk, Alan menjawab "Enggak, aku cuma kecapekan aja."

"Jum'at dan Sabtu besok kita ada jadwal syuting perdana sinetron 'Aku Lelakimu', kalau kamu gak enak badan, aku bakal bilang Pak Yuda buat ganti jadwal." tandas Farel.

Alan buru-buru menggeleng, "Gak perlu, sesuai jadwal aja. Lalu Minggu jangan lupa antar aku ke rumah Tika, dia pasti gak sabar buat ketemu aku."

"Aku rasa kok kayaknya kamu yah yang malah gak sabar ketemu Tika." sindir Mutia menimpali obrolan itu. Alan hanya diam, beralih fokus pada ponselnya. Dia rasa tak perlu meladeni Mutia yang kini memberengut disampingnya.

PUDARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang