Gadis itu tampak terkejut dan sedikit panik. Tentu saja dia mengenal Max, yang merupakan salah satu anak dari pemilik rumah sakit tempat dia dirawat dan juga salah satu most wanted di sekolahnya. Menyadari penampilannya yang kacau akibat banyak menangis, dia segera berbalik dan mulai berjalan cepat menjauh dari taman, berusaha menghindari Max dan menjaga agar masalah pribadinya tidak diketahui.
Max mendekati Aurora dengan wajah bingung. "Siapa tadi?"
Aurora menghela napas dan menjawab singkat, "Nggak penting."
Max mengernyit, tapi memilih untuk tidak bertanya lebih lanjut. "Ayo, kita masuk. Abang takut kamu bakal sakit kalau lama-lama di luar."
Aurora mengangguk dan bersama Max, mereka meninggalkan taman.
Aurora dan Max berjalan beriringan menuju ruang rawat inap Aurora. Sepanjang jalan, Max sesekali melirik adiknya, memastikan bahwa dia baik-baik saja. Dengan tangan kanannya merangkul pinggang Aurora dan tangan kirinya memegang infus, Max membantu Aurora berjalan. Tiang infus yang tadinya dibawa Aurora kini ditinggalkan di taman rumah sakit. Aurora sempat merasa repot dengan posisi ini, tapi setelah beberapa hari berinteraksi dengan keluarga Marcellino, dia menyadari bahwa mereka sangat protektif kepadanya. Dia juga sudah terbiasa dengan sikap kedua saudarnya.
Saat mereka sampai di depan pintu ruang rawat inap Aurora, Max melepaskan rangkulan tangannya dari pinggang Aurora dan membuka pintu, memberi isyarat agar Aurora masuk terlebih dahulu. Aurora melangkah masuk dan langsung terkejut melihat beberapa pria di dalam ruangan. Ada yang duduk di sofa, berdiri di depan jendela, ada juga yang bersandar di tembok. Aurora merasa seperti sedang melihat adegan disebuah drama yang isinya pria-pria tampan.
"Eh, apa ini?" ucap Aurora sambil menatap para pria yang tidak dikenalnya.
Ketiga pria yang berada di dalam ruangan langsung menoleh ke arah pintu ketika mendengar suara lembut Aurora. Mereka tampak terkejut melihat Aurora yang sangat cantik dan menggemaskan meski hanya mengenakan pakaian pasien rumah sakit.
Salah satu dari mereka, seorang pria tinggi dengan rambut coklat berantakan, segera tersenyum lebar. "Hai, lo pasti Aurora," katanya dengan ramah.
Aurora mengerutkan kening. "Siapa kalian?"
Max yang mendengar pertanyaan Aurora dan melihat wajah kebingungan adiknya itu langsung menjelaskan "Mereka teman-teman abang di sekolah, mereka bilang ingin ikut menjengukmu."
"Kamu mending baring dulu cantik, abang takut kamu kecapean" Lanjutnya sambil menuntun Aurora untuk kembali berbaring di kasur rumah sakit"
Aurora mengikuti kemauan abangnya tersebut kemudian kembali menatap pria-pria yang merupakan teman abangnya. "Terima kasih sudah datang" ucapnya dengan nada ramah namun terlihat sekali masih bingung.
Pria tinggi dengan rambut coklat berantakan yang tadi menyapa dan memberinya senyum lebar, maju mendekati Aurora. "Nama gue Leo, Leonardo Arsenio Baskara. Yang di sofa itu Evan, dan yang lagi di depan jendela itu Orion."
Evan mengangkat tangannya dengan santai, "Senang bertemu lo Aurora. Semoga cepat sembuh."
Orion yang masih terlihat fokus pada hp-nya, melirik sesaat dan menggangguk. "Hai."
Auroa menatap Orion dengan seksama, kini dia mengerti mengapa Orion merupakan pemeran utama. Penampilannya sangat menawan, tinggi badan yang menjulang dan postur tubuh yang atletis, wajahnya dihiasi dengan fitur-fitur tajam; rahang yang tegas dan mata yang berkilau. Rambut hitamnya terpotong rapi dan dibiarkan sedikit berantakan membuatnya terlihat semakin mempesona.
Dari novel yang telah dibacanya, Orion dikenal sebagai sosok yang penuh misteri, sering kali dianggap sulit didekati oleh orang-orang disekelilingnya, Keberadaannya selalu menarik perhatian dan menimbulkan rasa ingin tahu, dia jarang menunjukkan emosinya. Meskipun tampak tidak peduli atau acuh tak acuh, dia sebenarnya sangat bijaksana dia juga merupakan ketua tim basket di sekolah mereka.
Mengalihkan pandangannya dari Orion, kini Aurora menatap Leo. Berbanding terbalik dengan Orion, teman abangnya yang bernama Leo justru merupakan sosok pria yang penuh energi, dia dikenal sebagai cocok yang ceria, ramah dan mudah bergaul. Sikapnya yang positif dan penuh semangat membuatnya menjadi pusat perhatian dibanyak kesempatan. Meskipun ceria, dia juga memiliki kedalaman emosional yang sering kali hanya terlihat pada orang-orang terdekatnya. Dia juga memiliki postur tubuh yang tegap dan atletis, serta tinggi.
Evan, Evan Arkana Mahendra hampir sama dengan Orion. Tetapi di bandingkan sosok misterius, dia lebih dikenal sebagai sosok yang tenang dan introspektif. Dia juga jarang menunjukkan emosi secara terbuka, dan dia merupakan sosok yang sangat cerdas.
Max yang melihat adiknya menatap teman-temannya itu dalam waktu yang cukup lama, tidak suka. Dia tidak suka ketika sang adik mengabaikan keberadaannya. Orion, Leo, dan Evan yang ditatap pun bingung mengapa Aurora menatap mereka.
Max menghela napas panjang. Tanpa pikir panjang, dia berdehem keras, mencoba menarik perhatian. "Ehem..., Ehem! EHEM!"
Namun, Aurora tak juga menoleh. Leo dan yang lainnya menatap Max heran.
Merasa masih diabaikan, Max mempertegas lagi batuknya, kali ini lebih dramatis. "EHEEEMMMM!!"
Aurora akhirnya menoleh, alisnya terangkat bingung.
"Abang kenapa? Tenggorokan gatal?" tanya Aurora polos, wajahnya penuh kekhawatiran.
Max mencoba terlihat biasa-biasa saja. "Nggak apa-apa. Cuma... tenggorokan abang gatal."
Aurora yang tidak mengerti memiringkan kepalanya dan menatap polos. Sunguh pemandangan yang menggemaskan. Melihat sekarang kebalikannya dimana teman-temannya yang menatap adiknya intens membuat Max hanya bisa menghela napas.
Leo yang menangkap cemburu terselubung itu, tertawa kecil sambil menambahkan, "Aurora mungkin terkesima ngeliat ketampanan gue, Max. Iya kan Ra?"
"Dih. pd banget lo" ucap Max tidak terima.
Aurora yang masih tidak mengerti hanya bisa tersenyum.
.
Setelah beberapa menit berlalu, suasana di kamar rumah sakit mulai lebih santai. Aurora sudah terbiasa dengan kehadiran ketiga teman Max yang juga merupakan tokoh penting novel. Meskipun awalnya merasa canggung, sekarang dia malah merasa nyaman. Leo, dengan kepribadiannya yang ceria terus menggodanya, sementara Evan sesekali menyelipkan komentar atau bantahan atas segala ucapan random yang diucapkan Leo yang membuat Aurora tertawa. Orion meskipun terlihat sibuk dengan ponselnya, sesekali melirik Aurora dan teman-temannya
Max, yang masih berdiri di samping tempat tidur Aurora, terus merasa terganggu. Adiknya yang dulu selalu bergantung padanya kini tampak terlalu nyaman dengan orang lain. Padahal dulu ketika teman-temannya maupun Damian datang ke rumah adiknya itu tidak akan keluar kamar. Ini pertama kali teman-temannya bertemu langsung dengan Aurora.
Dia melirik ke arah Aurora yang sedang tersenyum lebar menanggapi lelucon Leo. Sebuah perasaan aneh menyelip di dadanya.
Max menghela napas dan berjalan ke arah jendela, berdiri di samping Orion. Dia melirik temannya yang masih diam saja, matanya terpaku pada layar ponsel, meskipun Max tahu betul Orion sebenarnya tidak fokus pada apapun di ponselnya.
"Mikirin apa, bro" tanya Max tanpa menoleh.
Orion menatapnya sekilas, kemudian kembali melirik ponselnya.
Sebelum Max kembali bertanya, dia terdiam sejenak melihat temannya yang tadi berdiri sekarang sudah duduk di tepi tempat tidur dan dekat dengan Aurora.
BERSAMBUNG
Jangan lupa votenya yaaa

KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Figuran
RomansaAria Seraphina Suryadinata, gadis cantik yang terbiasa mendapatkan segalanya. "I want it, I got it" adalah moto hidupnya. Namun, hidupnya berubah drastis ketika tanpa disangka, ia terbangun di dalam dunia novel yang dibacanya sebelum tidur-dan lebih...