Bab 9

5.5K 429 51
                                    

"Dih! Mimpi! Kayaknya tuh cewek udah gila," ujar Livia tak percaya.

"Gue bakal balas cewek itu," kata Elena, tatapannya tajam memandang pintu keluar yang baru saja dilewati Aurora.

"Iya, Na! Itu cewek memang harus dikasih pelajaran. Dari awal gue udah gak suka. Mukanya sombong banget!" tambah Amara, menambah api dalam amarah Elena.

.

Aurora duduk dengan gelisah di dalam mobil, berusaha mengabaikan rasa lelah yang menjalar di seluruh tubuhnya. Setelah pertemuan yang tidak menyenangkan dengan Elena dan kawanannya, mood-nya benar-benar hancur. Bahkan tubuh Aurora, yang kini ditempati Aria, sepertinya tidak mendukung keinginannya untuk terus jalan-jalan. Padahal baru beberapa jam keluar rumah, tetapi tubuhnya sudah merasa lemah.

"Non Aurora, yakin tidak mau ke rumah sakit dulu, Non?" Pak Maman bertanya dengan nada khawatir sambil melirik luka kecil di tangan Aurora yang ditinggalkan oleh kuku Elena.

Aurora menghela napas, merasa tak perlu mempermasalahkan luka kecil seperti itu.

"Gak perlu, Pak. Cuma luka kecil, nanti Rora obati sendiri di rumah," jawabnya ringan, mencoba meyakinkan.

"Baik, Non," jawab Pak Maman walau masih tampak cemas.

Belum jauh berjalan, tiba-tiba Pak Maman mengerem mendadak hingga kepala Aurora kembali terantuk. Aurora menahan rasa kesal yang sudah naik ke ubun-ubun.

"Ada apa lagi, Pak?" tanya Aurora sambil mengusap kepalanya yang terasa berdenyut.

"Ampun, Non. Maaf, itu di jalan ada yang tidur," jawab Pak Maman tergagap karena merasa bersalah melihat Aurora kejedot untuk kedua kalinya.

Aurora menatap keluar jendela, "Tidur? Biarin aja, Pak. Jangan diganggu"

"Tapi itu tidur atau pingsan, Non? Atau jangan-jangan..." Pak Maman mencoba berspekulasi.

"Pak Maman tanya ke Rora? Mana Rora tahu, Pak. Rora udah capek banget, mau pulang aja," ucap Aurora setengah merajuk. Kepalanya yang kejedot dua kali membuatnya malas berdebat lebih jauh.

"Tapi Non..."

"Apa lagi, Pak?" Aurora memotong, mencoba menahan emosinya yang sudah hampir meluap.

"Itu motornya gak asing, Non. Seragamnya juga..." Pak Maman menunjuk ke arah anak muda yang terbaring di jalan.

"Mirip seragam tuan Cassius sama Damian."

"Huft, ya udah sekarang Pak Maman mau apa?" tanya Aurora sambil menghela napas panjang, berusaha menenangkan diri.

"Kita gak cek dulu, Non? Masih hidup atau..."

"Ya udah gih, Pak. Turun bantuin," kata Aurora sambil melambaikan tangan malas.

Pak Maman turun dan mengecek kondisi pria yang terbaring di jalan. Saat membuka kaca helm pria itu, ia terkejut karena mengenali wajahnya sebagai salah satu sahabat tuannya. Tanpa menunggu lama, Pak Maman kembali ke mobil dan mengetuk kaca jendela Aurora dengan panik.

"Masih hidup, Pak?" tanya Aurora dengan wajah datar.

"Masih, Non. Tapi itu... kayaknya temannya Tuan Cassius. Tapi Pak Maman lupa namanya," jawab Pak Maman gugup.

"Hah? Ya udah, Pak. Bawa aja masuk mobil," perintah Aurora sambil melirik ke luar, masih tak percaya dengan situasi absurd yang terjadi.

Aurora terkejut saat melihat pria yang dibawa Pak Maman adalah Orion, sahabat kakaknya

"Ini kenapa malah dia yang tidur di jalan?" pikir Aurora sambil memijat pelipisnya. "Ya udah, bawa ke rumah sakit aja, Pak."

Dalam perjalanan ke rumah sakit, Aurora memperhatikan posisi Orion yang tampak tidak nyaman. Beberapa kali tubuh Orion hampir terjatuh, hingga akhirnya Aurora memutuskan untuk membaringkan Orion dan meletakkan kepalanya di pangkuannya.

Bukan FiguranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang