Setibanya di rumah, Max memarkir mobilnya dengan hati-hati. Setelah mematikan mesin, ia keluar dari sisi pengemudi dan berjalan ke sisi lain mobil untuk membukakan pintu bagi adiknya, Aurora. Sikap perhatian itu jelas terlihat dalam setiap gerakannya, membuat Aurora tersenyum kecil. Max kemudian menggandeng tangan Aurora dengan lembut dan membimbingnya masuk ke dalam rumah, sementara Orion, Leo, dan Evan sudah tiba lebih dulu dengan motor mereka.
Namun, Natalia tetap duduk di kursi belakang, mengepalkan tangannya dengan perasaan campur aduk. Ini pertama kalinya dia menumpang di mobil Max, dan di dalam hatinya, dia berharap mendapatkan perlakuan yang sama seperti yang Aurora dapatkan. Dibukakan pintu dan diperlakukan penuh perhatian. Tapi kenyataannya, Max bahkan tidak melihat ke arahnya. Perlakuan dingin itu menusuk hati Natalia, membuatnya benar-benar membenci hari ini. Dia merasa diabaikan, seolah-olah keberadaannya tak penting.
Saat memasuki rumah, Aurora mendapati ketiga sahabat kakaknya sudah duduk santai di ruang tamu, seakan rumah itu adalah rumah mereka sendiri. Aurora melirik ke sekeliling, namun tak menemukan tanda-tanda Damian, atau kedua orang tuanya. Hanya ada para pelayan yang sesekali melintas, melayani keperluan mereka.
Aurora memutuskan untuk duduk di samping Leo sambil meminum susu taronya yang baru dibeli di mini market.
Max, yang mengikuti Aurora dari belakang, duduk di sebelah adiknya, membuat Aurora terjebak di antara dua pria—Max di sisi kirinya dan Leo di sisi kanannya.
"Minum susu yang banyak ya, adik kecil, biar cepet tinggi," goda Leo sambil menepuk puncak kepala Aurora dengan senyum jahil di wajahnya.
Aurora hanya melirik Leo dengan ekspresi datar, tahu bahwa Leo pasti sedang menggodanya.
"Hmph," dengusnya sambil memalingkan kepala, berpura-pura marah, tapi jelas dia tidak benar-benar tersinggung.
Setelah meneguk susu taronya, Aurora menoleh ke arah Max yang duduk di sampingnya.
"Mama sama Papa pulang kapan?" tanyanya pelan.
Max menatap Aurora sejenak, lalu tersenyum kecil dan menggeleng. "Mungkin sebentar lagi, sayang."
Aurora mengangguk pelan, matanya beralih ke meja di depannya.
Tak lama setelah itu, pintu terbuka dan Natalia masuk ke ruang tamu. Dengan senyuman yang tidak pernah benar-benar menyentuh matanya, dia segera mengambil tempat duduk di sebelah Orion, seolah-olah tempat itu sudah ditandai khusus untuknya. Namun, Orion tetap menatap ke arah lain, mengabaikannya.
Melihat itu, Natalia tersenyum tipis, lalu mengalihkan pandangannya ke arah orang-orang di ruangan.
Dengan nada yang terdengar terlalu ceria, dia berkata, "Hmm, gimana kalau kita makan dulu? Pasti kalian udah lapar, kan? Apalagi tadi gak sempat makan gara-gara Aurora."
Suasana di ruangan itu mendadak hening. Mata semua orang beralih ke Natalia, sementara senyum kepuasan kecil menghiasi wajahnya. Ia tahu, perhatian kini tertuju padanya.
Aurora menyadari dengan jelas sindiran terselubung dari ucapan Natalia, tapi memilih untuk tak ambil pusing. Perutnya memang belum lapar—yang ia butuhkan saat ini hanyalah sedikit waktu untuk dirinya sendiri. Seharian ini dia sudah terlalu banyak interaksi dengan orang-orang, dan rasanya social battery-nya sudah terkuras habis.
"Rora belum lapar, Kak. Kalian makan duluan aja." Aurora menjawab dengan tenang, meski sorot matanya tetap mengarah pada Natalia.
"Rora mau ke kamar, abang," lanjut Aurora, memandang Max. "Mau bersih-bersih. Badan Rora gerah."
Max mengelus lembut rambut adiknya. "Kamu yakin gak mau makan dulu, sayang? Nanti kalau perut Rora sakit, gimana? Makan dikit aja, ya..."
Aurora baru saja hendak merespons, ketika suara Natalia tiba-tiba menyela, memotong pembicaraan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Figuran
RomanceAria Seraphina Suryadinata, gadis cantik yang terbiasa mendapatkan segalanya. "I want it, I got it" adalah moto hidupnya. Namun, hidupnya berubah drastis ketika tanpa disangka, ia terbangun di dalam dunia novel yang dibacanya sebelum tidur-dan lebih...