Aurora mencoba tersenyum untuk menenangkan suasana. "Tia baik-baik saja sekarang, kak. kak Ian nggak perlu khawatir."
Damian tidak merespons seperti yang diharapkan Aurora. Jemari Damian terus bergerak lembut di pipinya, seolah sedang mencoba merasakan setiap bagian dari wajah Aurora, seolah dia takut kehilangan sentuhan ini. Ada sesuatu dalam tatapan Damian yang membuat Aurora merasa tak bisa bergerak. Rasanya seperti ada magnet yang mengikatnya pada sosok kakaknya,
"Kak Ian, kakak kenapa, hm?" Aurora bertanya lagi dengan nada lembut.
Dia memegang kedua pipi Damian, jari-jarinya terasa dingin saat mengelus kulit kakaknya itu. Aurora memastikan tatapannya dan Damian bertemu. Dia memandang dengan mata penuh kasih, berharap bisa menembus lapisan kebingungan dan kekhawatiran yang tampaknya menyelimuti Damian.
Alih-alih menjawab, Damian menarik napas panjang, menundukkan kepala sejenak sebelum akhirnya berbicara. "Kamu tau, Tia... semenjak kamu kecelakaan, aku terus berpikir. Apa yang akan terjadi jika kamu tidak bangun?" Ada keputusasaan yang terdengar dalam suaranya, yang membuat Aurora kaget.
Dia merasakan tangannya digenggam erat oleh Damian, seolah-olah kakaknya takut kehilangan dirinya lagi. Rasa cemas yang menggelayuti Damian tampak begitu nyata malam ini. Aurora belum pernah melihatnya seperti ini sebelumnya.
"Kak Damian, Tia di sini sekarang. Tia baik-baik saja," jawab Aurora dengan nada yang lebih tenang, Dia bangun dari tidurnya kemudian langsung memeluk sang kakak. "Tia nggak akan kemana-mana." Namun, Damian tetap terdiam, seolah kata-kata itu tidak cukup. Dia kemudian membalas pelukan Aurora tak kalah eratnya.
Max terbangun karena merasakan gerakan dari tubuh Aurora saat dia bangun. Setelah beberapa saat, ia berhasil mengumpulkan kesadarannya, sedikit terkejut oleh pemandangan yang dihadapinya. Di samping Aurora, tampak seorang pria yang tengah dipeluknya dengan penuh kasih.
Namun, setelah beberapa detik, Max merasa lega ketika menyadari bahwa pria itu adalah Damian—kembarannya sendiri. Max melirik jam dinding yang ada diruangan tempat mereka berada menunjukkan pukul 2 dini hari, menandakan betapa larutnya waktu malam ini
"Damian, lo ngapain disini jam segini?" tanya Max dengan nada sedikit kesal. "Aurora butuh istirahat."
Damian hanya melirik Max sekilas dengan tatapan dingin yang sama seperti biasanya, tanpa banyak bicara. Ia berdiri dari tempat duduknya dan menjawab dengan datar. "Gue cuma memastikan Tia baik-baik saja,"
Kemudian, Damian beralih menatap Aurora, suara dan tatapannya berubah menjadi jauh lebih lembut. "Tidur lagi, Tia," ucapnya dengan nada yang penuh perhatian, jauh berbeda dari cara dia berbicara kepada Max.
Max menghela napas. "Besok Rora sudah bisa pulang"
Damian menganguk, kemudia menatap Aurora sekali lagi sebelum akhirnya bergerak menuju sofa disudut ruangan. Ia berbaring disana dan memejamkan mata. Aurora menatap Damian dalam-dalam, tatapan Damian dan cara dia bersikap tadi... ada yang berbeda. Sesuatu yang sulit diartikan. Rasa bingung semakin menyelimuti Aurora, membuatnya merenung dan merasa semakin tidak mengerti apa yan sebenarnya terjadi.
Elusan lembut yang diberikan Max pada kepala Aurora mengalihkan perhatiannya dari Damian.
"Kamu tidur lagi ya cantik, sekarang baru jam 2" katanya dengan senyum kecil.
Aurora tersenyum lembut, merasakan kehangatan dan kenyamanan dari sentuhan Max. Dia berbaring kembali dan memejamkan mata, namun pikirannya masih dipenuhi dengan kebingungan mengenai sikap Damian tadi.
.
Keesokan paginya, sinar matahari pagi mulai menyelinap melalui tirai jendela kamar rumah saki. Aurora terbangun dengan perlahan, merasa tubuhnya lebih segar meskipun pikirannya masih dibelenggu oleh kebingungan dari malam sebelumnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Figuran
RomanceAria Seraphina Suryadinata, gadis cantik yang terbiasa mendapatkan segalanya. "I want it, I got it" adalah moto hidupnya. Namun, hidupnya berubah drastis ketika tanpa disangka, ia terbangun di dalam dunia novel yang dibacanya sebelum tidur-dan lebih...