CITY LIGHT

258 21 6
                                    

Walau malam sudah cukup larut, itu bukanlah hal yang mampu meredupkan senyuman Kanae. Hatinya merasa begitu lega karena dia berhasil membujuk Sanemi untuk ikut bersamanya. Rasa khawatirnya sirna dengan cepatnya kala Sanemi menyetujui sarannya. Lega sekali. Lagi pula, niat Kanae murni menolong Sanemi. Tidak ada niatan lain. Dia hanya ingin membantu Sanemi, karena Kanae tahu, hidup sebatang kara itu bukanlah perkara mudah. Apalagi jika hidupnya di dunia yang asing tanpa mengetahui banyak hal untuk bisa bertahan hidup di dunia yang baru.

Sepanjang perjalanan, Kanae dengan aktif mengajak bicara Sanemi. Sikap ramahnya memang bisa dibilang menjadi daya tariknya. Selain cantik, Kanae juga menyenangkan jika diajak ngobrol. Banyak hal yang dia ketahui menjadikannya banyak nyambungnya dengan obrolan banyak hal.
Lampu kota yang sejak tadi menemani sepanjang perjalanan pulang mereka berdua menyala dengan syahdunya. Sejujurnya Sanemi cukup terpana, cukup indah. Ingatan samarnya tentang warna cahaya lembut dari berbagai lampu kota ini, mengingatkannya akan sesuatu hal. Namun entah apa itu. Samar namun cahayanya terlihat mirip. Ditambah dengan sosok lain muncul dalam ingatannya yang samar itu membuat hatinya berdebar. Dan saking samarnya sampai Sanemi sama sekali tak mampu melihat ke dalam ingatannya sendiri.

Mobil Kanae berhenti ketika lampu merah di perempatan itu menyala. Jalanan sudah sangat sepi, toko sudah banyak yang tutup. Hanya ada beberapa mobil yang terlihat melintas. Sepi namun tidak ada iblis yang akan muncul disini.
Kanae menotis Sanemi yang mengeratkan genggamannya pada nichirin itu. Sejak tadi memang Sanemi membawa pedang itu dalam genggamannya. Kanae ingat, Sanemi pernah bercerita bahwa dirinya adalah pemburu iblis. Walau sebenarnya tidak percaya, namun Kanae mengiyakan saja soal cerita Sanemi waktu itu.
"Tidak akan ada iblis yang muncul disini, Sanemi-san." Ucap Kanae.
Sanemi melirik Kanae sekilas, genggamannya tetap erat pada nichirinnya. Kedua tatapannya menelisik tajam disetiap sudut kota yang bisa dijangkau oleh pandangannya. Sikap waspada.
"Malam sudah sangat larut. Tidak ada salahnya jika bersiaga." Balas Sanemi.
Kanae terkikik geli mendengar jawaban Sanemi.
"Aku akan jamin 100% soal itu, Sanemi-san."

Lampu merah itu sudah berganti dengan lampu hijau yang menyala. Kanae kemudian kembali melajukan mobilnya. Memutar setirnya untuk belok ke kiri, sebentar lagi sudah sampai rumahnya. Beberapa ratus meter dari lampu merah, Kanae telah sampai di rumahnya. Bangunan tinggi mencakar langit, dengan banyak tingkat. Yap, rumah Kanae adalah sebuah apartemen yang cukup dekat dengan pusat kota. Setelah memasuki area apartemen itu, Kanae kemudian menuju ke basement, tempat mobilnya biasa terparkir.

Ckit.

Mobil Kanae berhenti. Mereka sudah sampai. Apartemen yang cukup mewah. Fasilitas lengkap dan lokasinya strategis. Hasil kerja kerasnya menghasilkan sesuatu yang sepadan untuk hidupnya.
"Kita sudah sampai, Sanemi-san."
Sebuah peningkatan, Sanemi sudah bisa keluar masuk mobil. Tanpa harus dibantu Kanae.
Mereka berdua kini masih berada di basement, namun sepertinya ada hal yang harus Kanae sembunyikan dulu sebelum masuk ke apartemennya di lantai atas.
"Umm, Sanemi-san? Sepertinya kita harus menyembunyikan ini dulu agar tidak dicurigai oleh petugas keamanan."
Sanemi melirik nichirinnya karena Kanae menunjuk itu sambil bicara barusan. Dia bingung lagi, memangnya kenapa kalau bawa nichirin? Ini kan senjata untuk perlindungan diri. Kira-kira begitulah isi kepalanya.
Kanae kemudian memberikan syal yang ada di dalam tasnya pada Sanemi. Dia lalu meminta Sanemi melilitkan syal itu untuk membungkus nichirinnya. Walau tidak terbungkus sempurna, setidaknya bisa menyamarkan bentuk pedang itu.
Setelah selesai, Kanae kemudian mengajak Sanemi untuk menuju lift.

Lagi-lagi, Sanemi dibuat kebingungan dan merasa aneh saat dia mau tak mau harus ikut masuk ke dalam lift bersama Kanae. Ketika di dalam lift pun, Sanemi merasa tak nyaman. Beberapa pertanyaan dia lontarkan pada Kanae dengan spontan. Dan dengan mudah dapat Kanae jawab, karena ya pertanyaan Sanemi itu pertanyaan basic. Malah justru terdengar seperti anak-anak yang ingin tahu banyak hal.
Lalu tak ada semenit, pintu lift itu terbuka, mereka kemudian berjalan menuju ke pintu yang ada di ujung lorong.
Kedua alis Sanemi kembali bertaut saat Kanae sedang membuka pintu apartemennya. Pakai kartu dan harus menekan beberapa angka yang ada di gagang pintu. Benar-benar semuanya terasa asing bagi Sanemi.

SWORDSMANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang