Creative Fest

94 14 7
                                    

Salfira mengetuk-ngetuk pelan microphone di tangannya. Tidak ada suara apapun yang keluar. Sedangkan mata dan telinganya ia pusatkan ke arah moderator yang tengah bertanya pada dirinya.

"Apa yang mendasari kamu memberi nama 'Masih Bocah Ingusan'? Karena yang saya lihat itu tidak mewakili seluruh isi konten kamu yang berisikan berbagai peribahasa, cerita rakyat, atau permainan tradisional," tanya Mas Herry, selaku moderator pada acara kali ini.

Salfira coba mengetuk kembali microphone itu dengan pelan, berusaha memberi kode ke arah petugas sehalus mungkin. Ternyata pergerakannya tak lepas dari pandangan seseorang. Zaron secara spontan melap microphone miliknya, lalu ia arahkan pada Salfira. Tentu saja hal ini membuat Salfira terkejut, tidak menyangka laki-laki di sebelahnya ini ternyata cukup peka. Salfira menerima uluran microphone itu sembari sedikit menganggukkan kepalanya, berterima kasih.

"Saat awal justru namanya bukan ini, Mas. Awalnya kita kasih nama Pengarsipan Folklor, kurang lebih satu bulan kita pakai nama itu. Syukurnya waktu awal konten kita langsung naik, hype nya sampailah. Sebagaimana yang lagi hype pasti mengundang pro kontra. Apalagi pas tahu kalau dibalik akun ini sekumpulan perempuan linglung, usia 20-an awal yang masih coba cari jati dirinya. Sampai kita baca satu komentar, kalau nggak salah isinya gini, 'Ah elah, masih bocah ingusan sok bikin konten tentang zaman dulu', komen-komen yang mendiskreditkan," tutur Salfira.

"Waktu itu kitakan masih muda semua ya, Mas. Emosinya masih menggebu-gebu. Pas baca itu lumayan buat kita sedikit tersentil sih, dengan segala pertimbangan penuh ego itu akhirnya kita putuskan buat ganti nama dari Pengarsipan Folklor ke Masih Bocah Ingusan," lanjut Salfira.

"Oh oke, tingkahnya persis kaya kelakuan anak presiden di suatu negara antah berantah ya? Menjadikan ucapan netizen itu malah jadi sesuatu yang melekat ke dirinya," ucap Moderator menanggapi penjelasan Salfira.

"Waduh! Kalau ada apa-apa tanggung sendiri ya, Mas. Aku nggak ikut-ikut," ucap Salfira terkekeh. "Wah, apalagi ada yang rekam itu, Mas. Siap-siap potong-potong fyp," imbuhnya.

"Oh kamu nggak bisa kalau nggak ikut, ini pasti kita bertiga yang masuk ke frame," ucap Moderator tertawa pelan.

"Tolong ya teman-teman kalau mau mengunggah bagian tadi di media sosial, potong jadi muka Mas Herry saja, saya nggak apa-apa kok kalau nggak masuk frame. Saya ikhlas," Salfira masih melanjutkan candaannya.

"Ayolah Fira, mana solidaritasnya ini," timpal moderator. Salfira hanya tertawa pelan. "Ya sudah, biar saya dan Zaron saja yang tanggung jawab," sambung moderator. Zaron langsung memasang ekspresi terkejut, lalu tertawa setelahnya. Perubahan ekspresi Zaron tak luput dari pandangan Salfira.

"Alasan kamu buat bikin pengarsipan folklor itu apa? Kok kepikiran? Memangnya kurang ya pengarsipan folklor di Indonesia?" tanya moderator lagi.

"Awalnya ini hanya project iseng, obrolan random di kamar kos yang tiba-tiba bahas salah satu produk folklor, peribahasa lebih tepatnya. Dari situ aku coba cari-cari, ternyata memang betul Mas, pengarsipannya kurang, bahkan nyaris tidak ada. Kalaupun ada rasanya sangat sulit untuk diakses. Bahkan untuk peribahasa saja, yang muncul itu hanya dari artikel dengan judul 100 Peribahasa Lengkap dengan Artinya, gitu-gitulah. Tidak ada satu website khusus untuk mengarsipkan folklor ini. Sedangkan, kalau di luar itu ada satu website khusus isinya poster film, lengkap dari tahun sekian sampai sekian. Pokoknya pengarsipannya rapi. Eh ada sih di sini, aku nemu di website Dinas Perpustakaan Jambi, tapi itu sulit sekali untuk diakses. Tapi memang cukup sulit sih, Mas. Mengarsipkan sesuatu yang tidak jelas siapa penciptanya. Folklor inikan kita tidak tahu siapa pencipta asalnya, bahkan nggak ada bukti fisiknya soalnya hanya disampaikan melalui lisan, bukan tulisan," Salfira menjeda ucapannya.

KALATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang