Sayap Pelindung

87 17 4
                                    

Jalanan kota Bandung cukup lengang malam ini. Mobil yang dikendarai Zaron dan Pras membelah Jl. Soekarno-Hatta sebagai jalan utama sekaligus jalanan terpanjang di Kota Bandung. Jalan ini membentang sepanjang 18,3 km, mulai dari pertigaan Jalan Rajawali sampai dengan Bundaran Cibiru. Sebagai jalan utama, saat malam hari kondisi jalan terbilang cukup gelap. Banyak lampu-lampu jalan yang tidak berfungsi dengan semestinya. Para pengendara yang melintas mengandalkan lampu pada kendaraan masing-masing sebagai bantuan pencahayaan. Sisi lain dari Kota Bandung yang katanya sangat aesthetic atau romantis.

"Ck," Zaron berdecak pelan saat mobilnya harus berhenti di salah satu lampu merah. Pasalnya lampu merah ini terkenal dengan gelar lampu merah terlama di Indonesia. Tak sedikit pula yang menjuluki lampu merah ini sebagai sebagai 'lampu merah perenggut masa muda'.

"Ini gue kalau beli mie ayam dulu di sebelah terus gue makan sampai habis kayaknya masih bisa deh," ucap Pras memecah keheningan. Terlihat gerobak penjual mie ayam di trotoar jalan.

Zaron memilih diam tak menanggapi, tangannya ia ulurkan untuk menyalakan radio. Zaron fokus mencari-cari saluran yang menurutnya pas, sampai tangannya berhenti pada saluran 105.9 FM milik Ardan. Setelah beberapa saat akhirnya Zaron berkata, "Lo nggak harus sampai segitunya sih menurut gue," Zaron masih menatap ke arah jalanan di depan, menanti-nanti lampu merah itu berganti warna hijau.

"Namanya juga perumpamaan, Ron. Gue nggak akan beneran turun buat beli mie ayam," jawab Pras.

"Nggak usah pura-pura goblog!" kata Zaron santai namun laki-laki itu memberikan beberapa penekanan disetiap ucapannya.

"Loh? Bukan masalah mie ayam? Terus apaan dah, minimal konteks kalau ngomong!" sahut Pras tidak mengerti ke mana arah pembicaraan Zaron sebenarnya.

"Lo harusnya pikir dua kali kalau mau tonjok anak orang, mana di tempat umum lagi," ungkap Zaron mulai tak sabar dengan Pras yang masih menunjukkan raut bingung.

Pras mengangguk, dia tersenyum kecil sebelum menjawab, "Lo dan gue melakukan hal yang sama, bedanya cuman ditindakan yang diambil aja. Kalau lo nggak lagi di depan dan dengan title lo sebagai pembicara gue rasa lo akan melakukan tindakan yang sama bahkan bisa lebih, nggak sekadar bacot doang kaya tadi."

"Itu artinya gue nggak segegabah lo dalam bertindak. Gue bisa menahan diri buat nggak tonjok orang di keramaian kaya tadi. Gue cukup sadar kalau gue melakukan tindakan bodoh kaya yang lo lakukan, gue nggak cuman bawa nama gue, tapi bawa nama Kebun Lindung," ucap Zaron berargumen. Pras hanya mengangkat kedua bahunya.

"Gue mengerti dengan kemarahan lo, karena gue pun sama marahnya kaya lo. Siapa yang nggak marah ketika lo dengar langsung perempuan diobjektifikasi? Bahkan dia tetap dianggap objek saat dia sedang memaparkan gagasan yang dia punya. Tapi, gue rasa kemarahan lo lebih emosional kali ini, sampai lo nggak bisa pikir panjang lebih dulu. Kenapa, Pras?" sambung Zaron menoleh sekilas ke aras Pras.

"Karena itu menimpa Salfira," jawab Pras singkat.

Zaron mengernyit heran, dia mulai menduga-duga. Pras kenal Salfira? Ada hubungan apa antara Pras dengan Salfira? Zaron bertanya-tanya dalam hati. Namum, dia memilih bungkam, mengurungkan niatnya untuk bertanya lebih jauh. Bertepatan dengan itu, lampu lalu lintas kembali berwarna hijau.

***

Salfira tengah membuka bungkusan nasi kuning, menu sarapannya pagi ini. Nasi kuning pemberian tetangga sebagai wujud rasa syukur atas lunasnya cicilan motor milik tetangga Salfira. Unik sekali memang, di sini rasanya segala hal seakan berhak dirayakan, termasuk berhasilnya melunasi cicilan. Sebagai anak bungsu dari dua bersaudara, sudah pasti jatah nasi kuning ini akan masuk ke dalam perutnya. Apalagi kakak laki-lakinya itu jarang sekali ada di rumah. Baru saja Salfira hendak menyuapkan sesendok nasi kuning ke dalam mulutnya, tiba-tiba arah sendok itu berubah masuk ke dalam mulut seorang laki-laki.

KALATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang