Melawan Takut

42 8 4
                                    

Takut di hantu, terpeluk ke bangkai.

Tulisan itu menarik perhatian Salfira. Tulisan yang tertera dalam secarik kertas berwarna coklat tertempel di dinding kamar mandi. Hanya satu baris kalimat itu saja, tak ada penjelasan apapun. Salfira mengenal tulisan itu, tulisan tangan ibu. Tulisan ibu yang selalu Salfira temukan disetiap sudut rumah, di ruang tamu, di dapur, di pintu kulkas, atau di kandang burung milik ayah. Ibu Salfira terbiasa menulis dalam secarik kertas lalu ia tempel di mana pun dia mau. Tulisan yang berisikan nasihat kehidupan, catatan pekerjaan, tugas dalam rumah, atau sekadar resep masakan. Termasuk tulisan ibu kali ini, sebuah peribahasa tanpa menulis maknanya. Salfira telah menyelesaikan ritual kamar mandirinya; Buang Air Besar. Salfira mencabut kertas itu, segera melangkah keluar kamar mandi mencari keberadaan ibu.

Setelah mencari ke beberapa ruangan, Salfira menemukan Ibunya tengah duduk di ruang TV. Ibu Salfira tengah sibuk dengan tumpukan kertas di hadapannya, sebuah laptop, dan juga mesin print. Sepertinya sedang menyelesaikan beberapa pekerjaannya. Tampak begitu serius hingga tak sadar keberadaan Salfira yang tengah memerhatikannya.

"Lagi apa sih, Bu?" Tanya Salfira memecah keheningan. Ibu Salfira menoleh ke asal suara, tersenyum lembut ke arah putri satu-satunya, lalu kembali memfokuskan diri pada kertas dan bukunya.

Salfira mendudukkan dirinya di samping Ibunya, meraih satu novel yang berada di samping laptop. Sebuah novel berjudul Gentayangan karya Intan Paramadhita. "Mau buat artikel, Bu?" Tanya Salfira lagi.

"Nggak kok, ini buat bahan ajar materi sastra besok di sekolah." Jawab Ibu Dian, Ibunya Salfira. Ibu Dian merupakan seorang guru Bahasa Indonesia di salah satu sekolah negeri di Bandung.

"Mau ambil contoh dari novel ini?" Salfira mengacungkan novel dalam genggamannya. Ibu Dian mengangguk. "Kenapa Ibu pilih novel ini?"

"Menurut Ibu, novel ini menarik karena menghadirkan narasi yang berbeda dengan novel lain, di novel ini pembaca diberikan pilihan untuk menentukan jalan ceritanya sendiri dan memilih akhir ceritanya sendiri." Jelas Ibu Dian yang malah menimbulkan tatapan bingung dari Salfira. Melihat raut wajah putrinya, Ibu Dian menambahkan, "Ibu rasa, penulis novel ini mengajak pembaca berperan melalui tokoh Kau. Ketika kamu baca novel ini, itu berarti kamulah tokoh Kau itu dalam arti lain kamu jadi subjek ceritanya. Selain itu, pembaca juga diajak untuk mengalami petualangan sebagai bentuk hasratnya terhadap pencarian jati diri."

"Salfira ngerti, Ibu mau ajak murid-murid Ibu untuk bisa lebih mengenal diri sendiri lewat cerita ini ya?" Tebak Salfira.

Ibu Dian mengangguk. "Betul! Mengkaji tentang kebebasan merupakan pengalaman untuk memahami diri sendiri secara psikologis dan sosial. Ibu mau mengajarkan itu lewat sastra, karena sastra merupakan bentuk tiruan dari kehidupan."

"Ih kerennya Ibu! Pantas saja selama ini pekerjaan Ibu digajinya sama pahala dan amal saleh" Ucap Salfira terkekeh. Dia sering bercanda dengan Ibunya kalau gaji Ibunya itu langsung dari Tuhan berupa pahala. Mengingat realita yang terjadi, bahwa guru diberi upah sangat minim.

"Heh! Kamu ini." Ibu Dian mecubit pelan pipi putrinya.

"Ibu, di novel ini dijelaskan nggak yang buat tokoh Kau terbelenggu itu apa sampai tokoh Kau mempunyai hasrat kebebasan?" Tanya Salfira memandang Ibunya serius.

"Di awal digambarkan bahwa tokoh Kau merasa bosan dengan hidupnya, bingung dengan keinginannya, dan tidak merasakan keutuhan akan dirinya sendiri. Hasrat kebebasan pada tokoh Kau, nggak dijelaskan secara gamblang. Tapi, coba disampaikan penulis lewat metafora dan metanimia." Jelas Ibu Dian. "Biasanya fase ini di alami lagi oleh seseorang ketika memasuki usia 20 sampai dengan 30-an. Fase krisis identitas, berusaha kembali mencari jati dirinya. Kamu sudah mengalami fase ini?" Tanya Ibu Dian lembut.

KALATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang